Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Senin, 02 Januari 2017

K.H. Imam Badri, “Kamus KMI Berjalan”

Perjalanan hidup Pak Badri – demikian panggilan akrabnya – terutama riwayat pendidikannya, begitu lengkap. Dilahirkan di Desa Ngabar, Ponorogo, pada tanggal 20 Agustus 1929. Putra kedua dari Bapak H. Imam Buchori ini menyelesaikan pendidikan SD-nya di Ngabar, dilanjutkan mengikuti takhassus bahasa Arab dan belajar bermacam-macam kitab kuning di Tegalsari. Setahun sebelum masuk Gontor, Imam Badri remaja mengikuti kursus bahasa Inggris yang diadakan oleh Mr. Mukhtar (santri luar negeri pertama di Gontor yang berasal dari Singapura). Pada tahun 1947, barulah Imam Badri menjadi siswa KMI Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG).
Karena bekal yang telah dimiliki sebelumnya, penggemar olahraga bulu tangkis dan tenis lapangan ini langsung duduk di kelas 3 KMI, dan tamat pada tahun 1951. Usai menamatkan KMI, beliau ikut membantu mengajar. Pada awal dibukanya Perguruan Tinggi Darussalam (PTD) pada tahun 1963, yang kemudian berubah nama menjadi Institut Pendidikan Darussalam (IPD) sebelum menjadi Institut Studi Islam Darussalam (ISID), dan mulai tahun 2014 ini ISID sudah bertransformasi menjadi Universitas Darussalam Gontor, beliau menjadi salah satu mahasiswanya, namun aktivitas mengajar di KMI tetap dilakukannya. Empat tahun kemudian (1967) beliau pun menjadi salah satu Sarjana Muda pertama. Baru pada tahun 1991, sarjana lengkap diperolehnya, juga dari perguruan tinggi yang sama. Ketamakannya akan ilmu, untuk dipelajari, diamalkan, dan ditularkan/diwariskan, ditunjukkan sampai akhir hayatnya. Terbukti, gelar sarjana lengkapnya diperoleh ketika beliau telah berusia 62 tahun.
Pada awal berdirinya pondok, di masa pergolakan PKI Madiun (1948), Imam Badri remaja pernah menjadi perisai bagi kedua Pimpinan Pondok ketika itu. Beliau mengaku sebagai Kyai Gontor, demi melindungi Pak Sahal dan Pak Zarkasyi. Karenanya, beliau pernah merasakan siksaan para tokoh PKI di kawasan Ponorogo, hingga pasukan Siliwangi membebaskannya bersama kedua Pimpinan Pondok serta sejumlah santri ketika itu.
K.H. Imam Badri merupakan salah satu guru teladan dan pejuang (mujahid) sekaligus sebagai pengasuh umat yang sabar. Sikap hormat dan menghargai orang lain diwujudkannya dengan aktif mendatangi undangan; pengajian maupun walimah, besar maupun kecil; juga sering berderma, menyumbang kepada yang menghajatkan. Beliau pun dengan senang hati mengisi setiap pengajian, di manapun juga, meskipun di surau kecil yang tak tampak corak jamaahnya. Hal ini terlihat pada setiap Jum’at pagi. Beliau mengisi pengajian ba’da Shubuh di mushalla dekat kediamannya, yang jama’ahnya terdiri dari orang-orang desa yang awam. Setiap kali mengisi pengajian, beliau selalu membawakan seteko kopi dan beberapa potong kue untuk para jama’ah. Dengan sabar, beliau juga bersedia menjawab semua pertanyaan jama’ah yang terkadang aneh dan lugu. Jama’ah pun senang karenanya.
Beliau mengamalkan nasihat Pak Zar untuk selalu memiliki membuat persiapan yang matang dalam segala hal, termasuk dalam berpidato atau mengajar. Senjata Pak Badri agar tetap teliti dan mempunyai ingatan yang tajam, adalah dengan  membiasakan  menulis serapi mungkin apa saja yang akan disampaikan di buku i’dad (catatan kecil), sebagaimana yang selalu dipesankan K.H. Imam Zarkasyi, yakni “kullu syai’in la budda bi al-i’dad”.
Pengabdian K.H. Imam Badri bermula di PMDG, yakni sebagai guru KMI. Beberapa tahun kemudian, K.H. Imam Zarkasyi mengutusnya untuk mengabdi di Sekolah Guru Agama Islam di Gorontalo (1952-1954). Kecuali mengajar, beliau juga menjadi wakil direktur di sana. Setelah ditarik kembali ke PMDG, beliau tekun mengajar, hingga wafat. Karena pengalamannya dalam mengajar serta pengetahuannya yang mumpuni tentang ke-KMI-an, maka sejak tahun 1985, sepeninggal K.H. Imam Zarkasyi, beliau dipercaya oleh Badan Wakaf untuk menjadi Direktur KMI, menggantikan Pak Zar. Kemudian, sejak tahun 1999, beliau ditetapkan menjadi Pimpinan Pondok, menggantikan K.H. Shoiman Luqmanul Hakim yang wafat tidak lama sebelum itu.
Dalam mengemban amanat sebagai Pimpinan Pondok, beliau menampilkan figur yang memiliki jiwa keguruan dan keteladanan. Di samping itu, beliau juga menjadi penyeimbang dalam membangun sinergi antar-ketiga pimpinan. Memang, jika mencermati kiprah para Pimpinan Pondok saat ini, dengan sekian masalah yang kian bertambah, figur penyeimbang yang mengawasi para santri dan guru-guru, sangat diperlukan. Terlebih, seperti sering dikatakan K.H. Imam Badri, “alma’hadu la yanamu abadan” (‘pondok tak pernah tidur’). Sosok yang memiliki jiwa keguruan murni seperti beliau diharapkan akan selalu terlahir di setiap generasi kepemimpinan PMDG.
Lamanya mengajar, sabar serta toleran dalam membimbing guru dan santri, membuatnya sangat menguasai permasalahan dan seluk-beluk KMI. Semasa K.H. Imam Zarkasyi masih memegang kendali Direktur KMI, kedudukan K.H. Imam Badri adalah Ketua Majelis Guru KMI. Suatu kali, K.H. Imam Zarkasyi bertanya tentang berapa lama Pak Badri mengajar. Ketika Pak Badri menjawab bahwa beliau telah mengajar selama 28 tahun, seketika itu juga K.H. Imam Zarkasyi berucap, “Sudah lebih dari cukup untuk memimpin pondok (Gontor) ini.” Sebab, menurut K.H. Imam Zarkasyi, syarat menjadi Pimpinan Pondok adalah tamat KMI saja. Lebih baik lagi jika sudah pernah mengajar. Sosok K.H. Imam Badri yang demikian (benar-benar memahami KMI) menjadikannya digelari “Kamus Berjalan” KMI oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal.
Konsistensi beliau terhadap pentingnya pendidikan dan pengajaran selalu disampaikannya kepada santri, dan bahkan kepada guru-guru. Kepada guru-guru, Pak Badri selalu mengingatkan, “Kewajiban kalian yang paling pokok ada tiga, yang tidak boleh dipisahkan ataupun ditinggalkan salah satunya, yaitu mengajar, membantu pondok, dan belajar (kuliah)”.
Demikian juga, dari segi religius, beliau selalu bernasihat kepada guru-guru yang sudah berkeluarga agar senantiasa membaca al-Qur’an sampai khatam, terutama ketika menghadapi bulan Ramadhan. Hal ini tidak pernah luput dari pesan beliau setiap kali ada yang pindah rumah di antara guru-guru tersebut.
Beliau berpulang ke rahmatullah pada Kamis malam, pukul 19.35 WIB, 8 Juni 2006/12 Jumadal Ula 1427. Beliau menghadap Allah hanya dalam jangka 10 hari usai hingar-bingar Resepsi Kesyukuran 80 Tahun PMDG. Segenap penghuni Darussalam berduka, namun kita harus ikhlas. Insya Allah, beliau syahid dan husn al-khatimah. Sungguh, beliau meninggalkan jariyah yang amat banyak. Selamat jalan, Pak Badri!

Sumber: Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar