Perjalanan hidup Pak Badri – demikian panggilan
akrabnya – terutama riwayat pendidikannya, begitu lengkap. Dilahirkan di Desa Ngabar, Ponorogo, pada tanggal 20 Agustus 1929. Putra kedua dari Bapak H.
Imam Buchori ini menyelesaikan pendidikan SD-nya di Ngabar, dilanjutkan
mengikuti takhassus bahasa Arab dan belajar bermacam-macam kitab kuning
di Tegalsari. Setahun sebelum masuk Gontor, Imam Badri remaja mengikuti kursus
bahasa Inggris yang diadakan oleh Mr. Mukhtar (santri luar negeri pertama di
Gontor yang berasal
dari Singapura). Pada tahun
1947, barulah Imam Badri menjadi siswa KMI Pondok
Modern Darussalam Gontor (PMDG).
Karena bekal yang telah dimiliki sebelumnya, penggemar
olahraga bulu tangkis dan tenis lapangan ini langsung duduk di kelas 3 KMI, dan tamat pada
tahun 1951. Usai menamatkan KMI, beliau ikut membantu mengajar. Pada awal
dibukanya Perguruan Tinggi Darussalam (PTD)
pada tahun 1963, yang kemudian berubah nama menjadi Institut Pendidikan
Darussalam (IPD) sebelum menjadi Institut Studi Islam
Darussalam (ISID), dan mulai tahun 2014 ini ISID sudah bertransformasi
menjadi Universitas Darussalam Gontor, beliau menjadi
salah satu mahasiswanya, namun aktivitas mengajar di KMI tetap dilakukannya.
Empat tahun kemudian (1967) beliau pun menjadi salah satu Sarjana Muda pertama.
Baru pada tahun 1991, sarjana lengkap diperolehnya, juga dari perguruan tinggi
yang sama. Ketamakannya akan ilmu, untuk dipelajari, diamalkan, dan
ditularkan/diwariskan, ditunjukkan sampai akhir hayatnya. Terbukti, gelar
sarjana lengkapnya diperoleh ketika beliau telah berusia 62 tahun.
Pada awal berdirinya pondok, di masa pergolakan PKI
Madiun (1948), Imam Badri remaja pernah menjadi perisai bagi kedua Pimpinan
Pondok ketika itu. Beliau mengaku sebagai Kyai Gontor, demi melindungi
Pak Sahal dan Pak Zarkasyi. Karenanya, beliau pernah merasakan siksaan para
tokoh PKI di kawasan Ponorogo, hingga pasukan Siliwangi membebaskannya bersama
kedua Pimpinan Pondok serta sejumlah santri ketika itu.
K.H. Imam Badri merupakan salah satu guru teladan dan
pejuang (mujahid) sekaligus sebagai pengasuh umat yang sabar. Sikap
hormat dan menghargai orang lain diwujudkannya
dengan aktif mendatangi undangan; pengajian maupun walimah, besar maupun kecil;
juga sering berderma, menyumbang kepada yang menghajatkan. Beliau pun dengan senang hati
mengisi setiap pengajian, di manapun juga, meskipun di surau kecil
yang tak tampak corak
jamaahnya. Hal ini terlihat pada setiap
Jum’at pagi. Beliau mengisi pengajian ba’da
Shubuh di mushalla dekat kediamannya, yang jama’ahnya terdiri dari orang-orang
desa yang awam. Setiap kali mengisi pengajian, beliau
selalu membawakan seteko kopi dan beberapa potong kue untuk para jama’ah.
Dengan sabar, beliau juga bersedia menjawab semua pertanyaan jama’ah yang
terkadang aneh dan lugu. Jama’ah pun senang karenanya.
Beliau mengamalkan nasihat Pak Zar untuk selalu memiliki
membuat persiapan yang matang dalam segala hal, termasuk dalam berpidato atau
mengajar. Senjata Pak Badri agar tetap teliti dan mempunyai ingatan yang tajam,
adalah dengan membiasakan menulis serapi mungkin apa saja yang akan
disampaikan di buku i’dad (catatan kecil), sebagaimana yang selalu dipesankan
K.H. Imam Zarkasyi, yakni “kullu syai’in la budda bi al-i’dad”.
Pengabdian K.H. Imam Badri bermula di PMDG, yakni
sebagai guru KMI. Beberapa tahun kemudian, K.H. Imam Zarkasyi mengutusnya untuk mengabdi di Sekolah Guru
Agama Islam di Gorontalo (1952-1954). Kecuali mengajar, beliau juga menjadi
wakil direktur di sana.
Setelah ditarik kembali ke PMDG, beliau tekun mengajar, hingga wafat. Karena
pengalamannya dalam mengajar serta pengetahuannya yang mumpuni tentang
ke-KMI-an, maka sejak
tahun 1985, sepeninggal K.H. Imam Zarkasyi, beliau dipercaya oleh Badan Wakaf
untuk menjadi Direktur KMI, menggantikan Pak Zar.
Kemudian, sejak tahun 1999, beliau ditetapkan
menjadi Pimpinan Pondok, menggantikan K.H. Shoiman Luqmanul Hakim yang wafat
tidak lama sebelum itu.
Dalam
mengemban amanat sebagai Pimpinan
Pondok, beliau menampilkan figur yang memiliki
jiwa keguruan dan keteladanan. Di samping itu, beliau juga menjadi penyeimbang dalam membangun
sinergi antar-ketiga pimpinan. Memang,
jika mencermati kiprah para Pimpinan Pondok saat ini, dengan sekian masalah
yang kian bertambah, figur penyeimbang yang mengawasi para santri dan
guru-guru, sangat diperlukan. Terlebih, seperti sering dikatakan K.H. Imam
Badri, “alma’hadu la yanamu abadan” (‘pondok
tak pernah tidur’).
Sosok yang memiliki jiwa keguruan murni seperti
beliau diharapkan akan selalu terlahir di setiap generasi kepemimpinan PMDG.
Lamanya mengajar, sabar serta toleran dalam membimbing
guru dan santri, membuatnya sangat menguasai permasalahan dan seluk-beluk KMI. Semasa K.H. Imam
Zarkasyi masih memegang kendali Direktur
KMI, kedudukan K.H. Imam Badri
adalah Ketua Majelis Guru KMI. Suatu kali, K.H. Imam Zarkasyi bertanya tentang
berapa lama Pak Badri mengajar. Ketika Pak Badri menjawab bahwa beliau telah mengajar selama
28 tahun, seketika itu juga K.H.
Imam Zarkasyi berucap, “Sudah lebih dari cukup untuk memimpin pondok (Gontor)
ini.” Sebab, menurut K.H. Imam Zarkasyi, syarat menjadi Pimpinan Pondok adalah
tamat KMI saja. Lebih baik lagi jika sudah pernah mengajar. Sosok K.H. Imam Badri yang demikian (benar-benar memahami KMI)
menjadikannya digelari “Kamus Berjalan” KMI oleh K.H. Hasan Abdullah
Sahal.
Konsistensi beliau terhadap pentingnya pendidikan dan
pengajaran selalu disampaikannya kepada santri, dan bahkan kepada guru-guru.
Kepada guru-guru, Pak Badri selalu mengingatkan, “Kewajiban kalian yang paling pokok ada
tiga, yang tidak boleh dipisahkan ataupun ditinggalkan salah satunya, yaitu mengajar, membantu
pondok, dan belajar (kuliah)”.
Demikian juga, dari
segi religius, beliau selalu bernasihat kepada guru-guru yang sudah berkeluarga
agar senantiasa membaca al-Qur’an sampai khatam, terutama ketika menghadapi
bulan Ramadhan. Hal ini tidak pernah
luput dari pesan beliau setiap kali ada yang pindah rumah di antara guru-guru
tersebut.
Beliau berpulang ke rahmatullah pada Kamis malam, pukul
19.35 WIB, 8 Juni 2006/12 Jumadal Ula 1427. Beliau
menghadap Allah hanya dalam jangka 10 hari usai
hingar-bingar Resepsi Kesyukuran 80 Tahun PMDG. Segenap penghuni Darussalam berduka, namun kita harus ikhlas. Insya Allah, beliau syahid dan husn al-khatimah. Sungguh, beliau meninggalkan jariyah
yang amat banyak. Selamat
jalan, Pak Badri!
Sumber: Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar