Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Kamis, 02 Februari 2017

Pengawal Panca Jiwa, H. Ahmad Tauhid Sahal

Tidak mudah memahami watak almarhum Ustadz H. Ahmad Tauhid Sahal. Sosok yang kadang akrab, penuh canda, namun terkadang juga bisa marah tiba-tiba. Namun, sebenarnya, di balik wataknya itu, beliau berhati lembut, ramah, penuh persaudaraan. Keramahannya kepada semua orang membuatnya seolah menjadi seorang yang ingin dekat dengan kita.
Kerendahan hatinya muncul jika bertemu dengan alumnus Gontor yang sudah cukup lama tidak ditemuinya. Maka, beliau selalu mengatakan dengan kata khasnya, “Masih ingat sama saya?” Padahal jelas, sosok beliau yang sangat khas tidak mudah dilupakan oleh siapapun. Ingatannya kepada teman, alumni, murid, atau saudara jauhnya sangat kuat, hampir tiada tanding. Akan karakternya yang unik itu, Emha Ainun Nadjib, budayawan yang juga teman seangkatannya pernah berkata, “Ustadz Tauhid-lah satu-satunya santri yang menangisi kepulangan saya, ketika diusir dulu.”
Beberapa bulan sebelum wafat, beliau acap mengeluhkan sakit asam urat, penyakit degeneratif yang diderita umumnya orang seusia beliau. Cara berjalannya serta gerakan tangannya mulai lamban dan sedikit gemetar. Namun, karena semangat pengabdiannya yang tinggi, baik ada jadwal mengajar atau tidak, Ustadz Tauhid selalu datang ke Kantor KMI, ngantor. Sungguh, tidak mudah melakukan hal seperti itu, jika tanpa azam yang kuat.
Rabu, 16 Oktober 2013, di hadapan saudaranya, K.H. Hasan Abdullah, Ibu Siti Aminah Sahal dan Pak Imam Budiono Sahal, Ustadz H. Ahmad Tauhid Sahal menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan keluarga, saudara, dan pondok untuk selama-lamanya, dalam usia 62 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un. Satu lagi, pondok kehilangan sosok yang mengenal baik Trimurti. Beliau meninggalkan seorang istri, 4 orang anak, dan 2 orang cucu.
***
Membicarakan sosok Ustadz Ahmad Tauhid seperti membaca sebuah hikayat tersendiri, panjang dan penuh warna. Beliau tak pernah absen di hampir semua perhelatan pondok, seperti pramuka, olahraga, pentas seni Panggung Gembira, dan Drama Arena. Keinginannya terlibat dalam segala aktivitas pondok begitu tinggi, meskipun hanya melihat-lihat, atau sambil sesekali bertanya ini dan itu.
Di lain kesempatan, seperti dalam pertemuan guru, Pak Tauhid —demikian beliau akrab dipanggil di kalangan guru— tiba-tiba datang dan membentak guru-guru muda agar segera memenuhi bangku yang kosong; begitu pula di masjid, acap meneriaki santri, menyuruh mereka agar memenuhi saf di depannya yang masih kosong. Untuk hal ini, suatu kali, kakaknya, K.H. Hasan Abdullah Sahal mengatakan, “Itulah Ustadz Ahmad Tauhid. Dia memang memiliki kelemahan, kekurangan, tetapi juga keunikan. Itu adalah juga kelebihannya. Kemarahannya, sebenarnya, adalah kemarahan Pak Zar. Persis seperti marahnya Pak Zarkasyi ketika melihat ketidakberesan. Itu dilakukan dengan ikhlas, jujur.”
Wataknya yang tegas bahkan keras adalah perpaduan dari watak K.H. Ahmad Sahal, ayahnya, dan K.H. Imam Zarkasyi, pamannya. Hal itu ditandai dengan nada keras dan, terkadang, ayunan tangan yang muncul spontan.
Keberaniannya menyatakan kebenaran ia tunjukkan dalam suatu kesempatan. Ketika sowan ke rumah mertuanya di Lasem, Rembang, ada seorang kiai yang sedang mengisi pengajian. Saat itu, Sang kiai kurang tepat dalam menuturkan lafazh sebuah Hadits, Ustadz Tauhid langsung meng-islah. Sang kiai bertanya-tanya, siapa sebenarnya orang tersebut, begitu berani membenarkan penuturan seorang kiai.
Sehari-hari, selama puluhan tahun, beliau memegang materi pelajaran Imla’ dan Hadits, khususnya dalam kitab Bulughul Maram, di Kulliyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI). Hafalan Hadits-nya sangat banyak, hal yang kemudian mengantarkannya meraih gelar Sarjana Pendidikan Islam. Demikian pula hafalan dan bacaan al-Qur’annya, banyak, sangat bagus, dan fasih. Orang yang pernah mendengarkannya tak bisa membedakan, itu suara Pak Tauhid atau suara Pak Hasan (K.H. Hasan Abdullah Sahal), kakaknya.
Anak kedelapan dari 9 orang bersaudara ini sangat ta‘zhim kepada orangtuanya. “Setamat KMI tahun 1974, K.H. Ahmad Sahal berpesan agar Ustadz Ahmad Tauhid mengajar di Gontor saja, tidak usah kemana-mana, tidak usah kuliah. Beliau pun manut.” Begitu Ustadz H. Imam Shobari, Ketua YPPWPM pernah berkisah.
Yang mengharukan, dan tidak banyak orang mengetahui, ada amalan yang istiqamah dijalankan hingga ajal menjemput. Membaca al-Qur’an-nya, shalat Fajar-nya, dan shalat Qiyamullail-nya tidak pernah putus. Tidak semua orang mampu melakukannya.
Kini, tidak ada lagi Ustadz Ahmad Tauhid Sahal; kini tidak akan ada lagi guru yang tiba-tiba datang dan membentak-bentak, tidak akan ada lagi Mas Amad yang rajin menegur dan mendoakan saudaranya dengan ramah dan tulus. Wataknya, cara bicaranya, dan candanya akan menjadi kenangan selamanya. Tidak ada dendam, rasa benci, sumpah serapah. Semuanya akan tergantikan dengan do‘a-do‘a untuk kebaikan beliau di alam Barzakh.
Manusia hanya bisa melihat, pandai berkomentar, atau menganalisis, namun tidak ada yang benar-benar mampu melihat dengan mata batin yang bersih, ikhlas. Ustadz Ahmad Tauhid Sahal adalah contoh ujian bagi orang-orang yang merasa tahu. Allahummaghfirlahu, warhamhu.


Sumber: Warta Dunia Pondok Modern Darussalam Gontor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar