Tidak mudah memahami watak almarhum Ustadz H. Ahmad Tauhid Sahal.
Sosok yang kadang akrab, penuh canda, namun terkadang juga bisa marah tiba-tiba.
Namun, sebenarnya, di balik wataknya itu, beliau berhati lembut, ramah, penuh
persaudaraan. Keramahannya kepada semua orang membuatnya seolah menjadi seorang
yang ingin dekat dengan kita.
Kerendahan hatinya muncul jika bertemu dengan alumnus Gontor yang
sudah cukup lama tidak ditemuinya. Maka, beliau selalu mengatakan dengan kata
khasnya, “Masih ingat sama saya?” Padahal jelas, sosok beliau yang sangat khas
tidak mudah dilupakan oleh siapapun. Ingatannya kepada teman, alumni, murid,
atau saudara jauhnya sangat kuat, hampir tiada tanding. Akan karakternya yang
unik itu, Emha Ainun Nadjib, budayawan yang juga teman seangkatannya pernah
berkata, “Ustadz Tauhid-lah satu-satunya santri yang menangisi kepulangan saya,
ketika diusir dulu.”
Beberapa bulan sebelum wafat, beliau acap mengeluhkan sakit asam
urat, penyakit degeneratif yang diderita umumnya orang seusia beliau. Cara
berjalannya serta gerakan tangannya mulai lamban dan sedikit gemetar. Namun, karena
semangat pengabdiannya yang tinggi, baik
ada jadwal mengajar atau tidak, Ustadz Tauhid selalu datang
ke Kantor KMI, ngantor. Sungguh, tidak
mudah melakukan hal seperti itu, jika tanpa azam yang kuat.
Rabu, 16 Oktober 2013, di hadapan saudaranya, K.H. Hasan Abdullah,
Ibu Siti Aminah Sahal dan Pak Imam Budiono Sahal, Ustadz H. Ahmad Tauhid Sahal
menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan keluarga, saudara, dan pondok untuk
selama-lamanya, dalam usia 62 tahun. Inna
lillahi wa inna ilaihi raji‘un. Satu lagi, pondok kehilangan sosok yang
mengenal baik Trimurti. Beliau meninggalkan seorang istri, 4 orang anak, dan 2
orang cucu.
***
Membicarakan sosok Ustadz Ahmad Tauhid seperti membaca sebuah hikayat tersendiri, panjang dan
penuh warna. Beliau tak pernah absen di hampir semua perhelatan pondok, seperti
pramuka, olahraga, pentas seni Panggung Gembira, dan Drama Arena. Keinginannya
terlibat dalam segala aktivitas pondok begitu tinggi, meskipun hanya
melihat-lihat, atau sambil sesekali bertanya ini dan itu.
Di lain kesempatan, seperti dalam pertemuan guru, Pak Tauhid
—demikian beliau akrab dipanggil di kalangan guru— tiba-tiba datang dan
membentak guru-guru muda agar segera memenuhi bangku yang kosong; begitu pula
di masjid, acap meneriaki santri, menyuruh mereka agar memenuhi saf di depannya
yang masih kosong. Untuk hal ini, suatu kali, kakaknya, K.H. Hasan Abdullah
Sahal mengatakan, “Itulah Ustadz Ahmad Tauhid. Dia memang memiliki kelemahan,
kekurangan, tetapi juga keunikan. Itu adalah juga kelebihannya. Kemarahannya,
sebenarnya, adalah kemarahan Pak Zar. Persis seperti marahnya Pak Zarkasyi
ketika melihat ketidakberesan. Itu dilakukan dengan ikhlas, jujur.”
Wataknya yang tegas bahkan keras adalah perpaduan dari watak K.H.
Ahmad Sahal, ayahnya, dan K.H. Imam Zarkasyi, pamannya. Hal itu ditandai dengan
nada keras dan, terkadang, ayunan tangan yang muncul spontan.
Keberaniannya menyatakan kebenaran ia tunjukkan dalam suatu kesempatan. Ketika sowan ke rumah mertuanya di Lasem,
Rembang, ada seorang kiai yang sedang mengisi pengajian. Saat itu, Sang kiai kurang tepat dalam
menuturkan lafazh sebuah Hadits, Ustadz Tauhid langsung meng-islah. Sang
kiai
bertanya-tanya, siapa sebenarnya orang tersebut, begitu berani membenarkan
penuturan seorang kiai.
Sehari-hari, selama puluhan tahun, beliau memegang materi pelajaran
Imla’ dan Hadits, khususnya dalam kitab Bulughul
Maram, di Kulliyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyyah (KMI). Hafalan Hadits-nya sangat banyak, hal
yang kemudian mengantarkannya meraih gelar Sarjana Pendidikan Islam. Demikian pula
hafalan dan bacaan al-Qur’annya, banyak, sangat bagus, dan fasih. Orang yang
pernah mendengarkannya tak bisa membedakan, itu suara Pak Tauhid atau suara Pak
Hasan (K.H. Hasan Abdullah Sahal), kakaknya.
Anak kedelapan dari 9 orang bersaudara ini sangat ta‘zhim
kepada orangtuanya. “Setamat KMI tahun 1974, K.H. Ahmad Sahal berpesan agar Ustadz Ahmad Tauhid mengajar di
Gontor saja, tidak usah kemana-mana, tidak usah kuliah. Beliau pun manut.” Begitu Ustadz H. Imam Shobari, Ketua YPPWPM pernah berkisah.
Yang mengharukan, dan tidak banyak orang mengetahui, ada amalan yang
istiqamah dijalankan hingga ajal menjemput. Membaca al-Qur’an-nya, shalat
Fajar-nya, dan shalat Qiyamullail-nya tidak pernah putus. Tidak semua orang
mampu melakukannya.
Kini, tidak ada lagi Ustadz Ahmad Tauhid Sahal; kini tidak akan ada lagi guru yang tiba-tiba
datang dan membentak-bentak, tidak akan ada lagi Mas Amad yang rajin menegur
dan mendoakan saudaranya dengan ramah dan tulus. Wataknya, cara bicaranya, dan
candanya akan menjadi kenangan selamanya. Tidak ada dendam, rasa benci, sumpah
serapah. Semuanya akan tergantikan dengan do‘a-do‘a untuk kebaikan beliau di
alam Barzakh.
Manusia hanya bisa melihat, pandai berkomentar, atau menganalisis, namun
tidak ada yang benar-benar mampu melihat dengan mata batin yang bersih, ikhlas.
Ustadz Ahmad
Tauhid Sahal adalah contoh ujian bagi orang-orang yang merasa tahu. Allahummaghfirlahu,
warhamhu.
Sumber: Warta Dunia Pondok Modern Darussalam
Gontor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar