Aku selalu
ingin menulis tentang ayah. Aku ingin bercerita banyak tentang ayah. Ia ingin
kuhadirkan di sini untuk memberiku sedikit motivasi dan melihat kehidupanku.
Tapi, itu tidak mungkin lagi. Ia sudah tenang di sana. Tak perlu lagi
dipusingkan oleh urusan dunia yang ruwet dan penuh masalah ini.
Betapa cepat
ia meninggalkan kami, meninggalkan aku, kakak-kakak, dan adik-adikku. Bahkan,
aku tak sempat mendengar kata perpisahan dari ayah. Ia pergi dengan tenang
tanpa merepotkan banyak orang.
Aku masih
ingat, hari itu adalah hari Senin. Pagi hari, kakak menelepon dari rumah. Ia
mengabarkan bahwa ayah jatuh sakit. Kondisinya melemah. Sakitnya mendadak
karena sebelum itu ia sempat beraktivitas rutin seperti berjamaah di masjid dan
menyeduh kopi di warung sebagaimana biasa.
Aku pun
memastikan kondisi ayah dengan mengajaknya berbicara di telepon. “Ayah
baik-baik saja. Tidak usah khawatir,” katanya waktu itu. Ia seperti tidak ingin
membuat kami yang sedang belajar di tanah Jawa ini merasa was-was.
Namun, sore
harinya kakak menelepon lagi. Ia memberitahu keadaan ayah yang makin memburuk
hingga dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri. Aku mulai
khawatir. Adik-adik meneleponku dari tempat berbeda. Kami harus pulang untuk
melihat langsung kondisi ayah. Alpi akan terbang dari Jakarta besok pagi. Siangnya,
Dillah akan terbang dari Cirebon. Aku pun langsung mencari tiket penerbangan
siang hari karena dari tempatku ke Juanda membutuhkan waktu sekitar 5-6 jam.
Jika berangkat pagi, tentu pesawatnya harus jam siang. Rencananya, Nujhan tidak
diajak pulang dulu karena masih mengerjakan tugas-tugas pondok.
Tidak lama
kemudian kakak menelepon lagi. Katanya, ayah membutuhkan darah golongan B.
Akulah salah satu putranya yang bergolongan B. Aku merasa ingin segera terbang
ke sana, ingin cepat pulang dan berada di samping ayah. Namun, apalah daya. Aku
hanya bisa menunggu esok sambil berdoa untuk kesembuhannya.
Sambil
menunggu kedatangan kami, keempat kakakku berusaha mendapatkan beberapa kantong
darah di rumah sakit. Kabarnya, saat itu cadangan darah golongan B sedang
tipis, bahkan hampir tidak ada. Setelah mencari ke mana-mana dengan susah
payah, beberapa kantong darah golongan B akhirnya bisa didapat.
Aku
benar-benar tak sabar menunggu jadwal penerbangan esok. Koper sudah siap. Aku
berencana tinggal di rumah sampai ayah sembuh. Pagi-pagi aku sudah mandi dan
bersiap untuk berangkat ke bandara setelah shalat Subuh. Hatiku masih tenang
saat kaki melangkah dari masjid menuju kamar. Namun, tidak lama setelah itu,
telepon berdering. Dillah menelepon. Entah kenapa jantungku berdegup kencang
sekali. Kuangkat telepon itu. Isak tangis adikku yang sebisa mungkin ia tahan
membuat detak jantungku semakin cepat. Sebelum ia bicara, aku telah menduganya.
Kami baru saja ditinggal pergi oleh ayah untuk selamanya.
Aku bergegas-gegas
mencarikan tiket untuk Nujhan. Ia harus ikut pulang bersamaku. Syukurlah, tiket
pesawat dengan jadwal penerbangan yang sama denganku masih tersedia. Pagi itu
juga ia kujemput di pondoknya. Kami bersama-sama pergi ke bandara. Aku berharap
bisa menjumpai ayah yang sudah terbaring dengan tenang di tempat tidurnya. Tapi,
ayah tak bisa menunggu kami yang masih dalam perjalanan. Kami tak bisa
memaksanya. Perjalanan pulang kami memakan waktu 10 jam lebih. Sungguh tak baik
membiarkan ayah menunggu selama itu untuk mendapatkan rahmat Allah.
Sepanjang perjalanan
menuju Juanda, aku tak mampu menahan isak tangis. Betapa menyesalnya diri ini tidak
membeli tiket pesawat pagi. Andai saja... ah, tidak bisa kita berandai-andai
karena waktu kematian adalah rahasia Tuhan. Andai aku tahu ayah akan pergi pagi
itu. Ah, tidak bisa kita berandai-andai. Tidak ada transportasi yang lebih
cepat untuk sampai ke Kalimantan selain pesawat. Andai saja jarak dari tempatku
ke bandara bisa dipersingkat. Ya Rabb... kenapa jarak dari tempatku ke bandara
harus ditempuh lima jam lamanya?
Alpi sangat
beruntung bisa melihat ayah untuk terakhir kalinya. Ia benar-benar sangat
beruntung. Sedangkan aku, Dillah, dan Nujhan hanya menyaksikan makamnya, hanya
membelai nisannya, hanya melihat gundukan tanah yang masih basah di sana. Oh, Ayah!
Maafkan kami bertiga yang datang terlambat untuk melepas kepergianmu. Doa kami
selalu untukmu, Ayah. Aku berjanji akan mengabadikanmu dalam tulisan-tulisanku,
Ayah. shah wa
Sumber foto: kompasiana.com
Kampung Damai, 20 November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar