Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Senin, 20 November 2017

Oh, Ayahku...

Aku selalu ingin menulis tentang ayah. Aku ingin bercerita banyak tentang ayah. Ia ingin kuhadirkan di sini untuk memberiku sedikit motivasi dan melihat kehidupanku. Tapi, itu tidak mungkin lagi. Ia sudah tenang di sana. Tak perlu lagi dipusingkan oleh urusan dunia yang ruwet dan penuh masalah ini.
Betapa cepat ia meninggalkan kami, meninggalkan aku, kakak-kakak, dan adik-adikku. Bahkan, aku tak sempat mendengar kata perpisahan dari ayah. Ia pergi dengan tenang tanpa merepotkan banyak orang.
Aku masih ingat, hari itu adalah hari Senin. Pagi hari, kakak menelepon dari rumah. Ia mengabarkan bahwa ayah jatuh sakit. Kondisinya melemah. Sakitnya mendadak karena sebelum itu ia sempat beraktivitas rutin seperti berjamaah di masjid dan menyeduh kopi di warung sebagaimana biasa.
Aku pun memastikan kondisi ayah dengan mengajaknya berbicara di telepon. “Ayah baik-baik saja. Tidak usah khawatir,” katanya waktu itu. Ia seperti tidak ingin membuat kami yang sedang belajar di tanah Jawa ini merasa was-was.
Namun, sore harinya kakak menelepon lagi. Ia memberitahu keadaan ayah yang makin memburuk hingga dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri. Aku mulai khawatir. Adik-adik meneleponku dari tempat berbeda. Kami harus pulang untuk melihat langsung kondisi ayah. Alpi akan terbang dari Jakarta besok pagi. Siangnya, Dillah akan terbang dari Cirebon. Aku pun langsung mencari tiket penerbangan siang hari karena dari tempatku ke Juanda membutuhkan waktu sekitar 5-6 jam. Jika berangkat pagi, tentu pesawatnya harus jam siang. Rencananya, Nujhan tidak diajak pulang dulu karena masih mengerjakan tugas-tugas pondok.
Tidak lama kemudian kakak menelepon lagi. Katanya, ayah membutuhkan darah golongan B. Akulah salah satu putranya yang bergolongan B. Aku merasa ingin segera terbang ke sana, ingin cepat pulang dan berada di samping ayah. Namun, apalah daya. Aku hanya bisa menunggu esok sambil berdoa untuk kesembuhannya.
Sambil menunggu kedatangan kami, keempat kakakku berusaha mendapatkan beberapa kantong darah di rumah sakit. Kabarnya, saat itu cadangan darah golongan B sedang tipis, bahkan hampir tidak ada. Setelah mencari ke mana-mana dengan susah payah, beberapa kantong darah golongan B akhirnya bisa didapat.
Aku benar-benar tak sabar menunggu jadwal penerbangan esok. Koper sudah siap. Aku berencana tinggal di rumah sampai ayah sembuh. Pagi-pagi aku sudah mandi dan bersiap untuk berangkat ke bandara setelah shalat Subuh. Hatiku masih tenang saat kaki melangkah dari masjid menuju kamar. Namun, tidak lama setelah itu, telepon berdering. Dillah menelepon. Entah kenapa jantungku berdegup kencang sekali. Kuangkat telepon itu. Isak tangis adikku yang sebisa mungkin ia tahan membuat detak jantungku semakin cepat. Sebelum ia bicara, aku telah menduganya. Kami baru saja ditinggal pergi oleh ayah untuk selamanya.
Aku bergegas-gegas mencarikan tiket untuk Nujhan. Ia harus ikut pulang bersamaku. Syukurlah, tiket pesawat dengan jadwal penerbangan yang sama denganku masih tersedia. Pagi itu juga ia kujemput di pondoknya. Kami bersama-sama pergi ke bandara. Aku berharap bisa menjumpai ayah yang sudah terbaring dengan tenang di tempat tidurnya. Tapi, ayah tak bisa menunggu kami yang masih dalam perjalanan. Kami tak bisa memaksanya. Perjalanan pulang kami memakan waktu 10 jam lebih. Sungguh tak baik membiarkan ayah menunggu selama itu untuk mendapatkan rahmat Allah.
Sepanjang perjalanan menuju Juanda, aku tak mampu menahan isak tangis. Betapa menyesalnya diri ini tidak membeli tiket pesawat pagi. Andai saja... ah, tidak bisa kita berandai-andai karena waktu kematian adalah rahasia Tuhan. Andai aku tahu ayah akan pergi pagi itu. Ah, tidak bisa kita berandai-andai. Tidak ada transportasi yang lebih cepat untuk sampai ke Kalimantan selain pesawat. Andai saja jarak dari tempatku ke bandara bisa dipersingkat. Ya Rabb... kenapa jarak dari tempatku ke bandara harus ditempuh lima jam lamanya?
Alpi sangat beruntung bisa melihat ayah untuk terakhir kalinya. Ia benar-benar sangat beruntung. Sedangkan aku, Dillah, dan Nujhan hanya menyaksikan makamnya, hanya membelai nisannya, hanya melihat gundukan tanah yang masih basah di sana. Oh, Ayah! Maafkan kami bertiga yang datang terlambat untuk melepas kepergianmu. Doa kami selalu untukmu, Ayah. Aku berjanji akan mengabadikanmu dalam tulisan-tulisanku, Ayah. shah wa
Sumber foto: kompasiana.com

Kampung Damai, 20 November 2017
Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar