Kami tinggal serumah dengan nenek. Kakek sudah lama meninggal. Rumah
yang kami tempati itu adalah rumah peninggalan almarhum kakek. Kakek meninggal
sebelum kami ada di dunia ini. Entah seperti apa wajah kakek. Yang pasti,
setiap lebaran kami selalu diajak menziarahi makamnya di dekat Masjid al-Anwar,
sekitar tiga kilometer dari rumah.
Nenek memiliki lima anak. Semuanya perempuan. Ibuku adalah putri
ketiganya. Saat kami masih kecil, di rumah itu masih ada Acil Dayah dan Acil Aluh,
putri keempat dan kelimanya. Sedangkan Uwak Fathah dan Uwak Irus, putri pertama
dan keduanya, sudah tinggal dengan suami masing-masing. Entah bagaimana
ceritanya, ibuku memilih tetap tinggal di rumah itu walau setelah menikah
dengan ayah. Sehingga, sampai kami dewasa, kami hidup bersama nenek.
Di antara keempat bibi kami, bisa dibilang, Acil Dayah dan Acil
Aluh yang paling dekat. Karena, kami masih sempat hidup bersama di rumah itu.
Acil Dayah sering membantu ibu mengasuh kami. Acil Aluh juga demikian. Aku masih
ingat beberapa momen masa kecil bersama mereka.
Lalu, rumah semakin sepi setelah Acil Dayah dipinang orang
Banjarmasin. Kami jadi jarang bertemu karena jarak dari Barabai ke Banjarmasin
memakan waktu cukup lama, bisa setengah hari. Bersama suaminya, Om Mansi, ia hanya
pulang saat lebaran, baik Idul Adha maupun Idul Fitri, atau di momen tradisi
mulud alias peringatan maulid Nabi Muhammad Saw.
Namun, masih ada Acil Aluh, putri terakhir nenek. Ia masih tinggal
bersama kami hingga usia kami menginjak anak-anak SD. Kami sering merepotkan
Acil Aluh di waktu kecil. Ada saja kenakalan kami yang membuatnya gusar dan
sering mengomel. Maafkan kami, Cil. Kami memang bandel. Untuk mengurangi
kekesalannya, aku seringkali membantunya membersihkan rumah, mengepel, dan
beres-beres, serta menyapu halaman. Hingga tibalah orang yang meminangnya. Sama
seperti Acil Dayah, ia dipinang Om Emi, orang Banjarmasin juga.
Acil Aluh adalah orang yang mengetahui perkembangan masa kecil
kami. Dialah bibiku yang menyaksikan bagaimana aku dan Dillah menangis, bertengkar,
dan berebut sesuatu. Ia juga yang tahu kenapa kami dimarahi ibu. Ia pun sering
menenangkan kami saat nenek tiba-tiba memarahi salah satu di antara kami,
walaupun Acil Aluh juga tidak luput dari omelan nenek. Ya, kamilah orang-orang
yang sudah kenyang merasakan panasnya telinga mendengar “nasihat” khas orang
tua zaman dulu, yang hampir tidak pernah dirasakan saudara-saudara sepupu kami.
Kami merasa beruntung tinggal bersama nenek. Walaupun ia sering
mengomel, namun pada hakikatnya itu adalah cara orang tua menasihati kita. Kami
pun belajar bersikap baik agar tidak membuatnya marah. Sebenarnya, kamilah cucu-cucunya
yang paling disayang karena kami tumbuh di bawah asuhannya, tinggal serumah,
hidup bersama dari kecil hingga dewasa. Itu terasa sekali saat aku dan
adik-adikku harus pergi jauh menuntut ilmu. Kamilah yang paling ia rindukan. Begitu
juga sebaliknya, kami pun merindukan nenek yang sering mengomeli kami di masa
kecil itu.
Kami berempat tidak bisa lagi bertemu dengannya setiap hari. Sejak 2004,
satu per satu pergi. Aku memulainya ke Ponorogo. Dillah merantau ke Purwokerto.
Alpi mencoba bersaing di Jakarta. Sedangkan Nujhan menyusulku ke Ponorogo. Semuanya
ke luar Kalimantan, pergi ke Pulau Jawa. Hingga saat ini, kami masih
pulang-pergi Jawa-Kalimantan, namun hanya pada waktu tertentu, minimal setengah
tahun sekali.
Rumah pun menjadi sepi. Tidak ada lagi keempat cucunya yang
berlarian di rumah. Setiap kali kami datang dari perantauan, nenek tampak
seperti mau menangis. Momen emosional itu tak bisa kugambarkan. Ingin sekali
aku membawanya jalan-jalan ke tempatku, tapi nenek sudah tidak sanggup berjalan
jauh. Saat ini, ia hanya berdiam di rumah, tidak bisa ke mana-mana lagi. Ia lebih
memilih menghabiskan waktu dengan tasbih di tangannya. shah wa
Kampung Damai, 28 November 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar