Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Selasa, 28 November 2017

Kurindu Nenek

Kami tinggal serumah dengan nenek. Kakek sudah lama meninggal. Rumah yang kami tempati itu adalah rumah peninggalan almarhum kakek. Kakek meninggal sebelum kami ada di dunia ini. Entah seperti apa wajah kakek. Yang pasti, setiap lebaran kami selalu diajak menziarahi makamnya di dekat Masjid al-Anwar, sekitar tiga kilometer dari rumah.
Nenek memiliki lima anak. Semuanya perempuan. Ibuku adalah putri ketiganya. Saat kami masih kecil, di rumah itu masih ada Acil Dayah dan Acil Aluh, putri keempat dan kelimanya. Sedangkan Uwak Fathah dan Uwak Irus, putri pertama dan keduanya, sudah tinggal dengan suami masing-masing. Entah bagaimana ceritanya, ibuku memilih tetap tinggal di rumah itu walau setelah menikah dengan ayah. Sehingga, sampai kami dewasa, kami hidup bersama nenek.
Di antara keempat bibi kami, bisa dibilang, Acil Dayah dan Acil Aluh yang paling dekat. Karena, kami masih sempat hidup bersama di rumah itu. Acil Dayah sering membantu ibu mengasuh kami. Acil Aluh juga demikian. Aku masih ingat beberapa momen masa kecil bersama mereka.
Lalu, rumah semakin sepi setelah Acil Dayah dipinang orang Banjarmasin. Kami jadi jarang bertemu karena jarak dari Barabai ke Banjarmasin memakan waktu cukup lama, bisa setengah hari. Bersama suaminya, Om Mansi, ia hanya pulang saat lebaran, baik Idul Adha maupun Idul Fitri, atau di momen tradisi mulud alias peringatan maulid Nabi Muhammad Saw.
Namun, masih ada Acil Aluh, putri terakhir nenek. Ia masih tinggal bersama kami hingga usia kami menginjak anak-anak SD. Kami sering merepotkan Acil Aluh di waktu kecil. Ada saja kenakalan kami yang membuatnya gusar dan sering mengomel. Maafkan kami, Cil. Kami memang bandel. Untuk mengurangi kekesalannya, aku seringkali membantunya membersihkan rumah, mengepel, dan beres-beres, serta menyapu halaman. Hingga tibalah orang yang meminangnya. Sama seperti Acil Dayah, ia dipinang Om Emi, orang Banjarmasin juga.
Acil Aluh adalah orang yang mengetahui perkembangan masa kecil kami. Dialah bibiku yang menyaksikan bagaimana aku dan Dillah menangis, bertengkar, dan berebut sesuatu. Ia juga yang tahu kenapa kami dimarahi ibu. Ia pun sering menenangkan kami saat nenek tiba-tiba memarahi salah satu di antara kami, walaupun Acil Aluh juga tidak luput dari omelan nenek. Ya, kamilah orang-orang yang sudah kenyang merasakan panasnya telinga mendengar “nasihat” khas orang tua zaman dulu, yang hampir tidak pernah dirasakan saudara-saudara sepupu kami.
Kami merasa beruntung tinggal bersama nenek. Walaupun ia sering mengomel, namun pada hakikatnya itu adalah cara orang tua menasihati kita. Kami pun belajar bersikap baik agar tidak membuatnya marah. Sebenarnya, kamilah cucu-cucunya yang paling disayang karena kami tumbuh di bawah asuhannya, tinggal serumah, hidup bersama dari kecil hingga dewasa. Itu terasa sekali saat aku dan adik-adikku harus pergi jauh menuntut ilmu. Kamilah yang paling ia rindukan. Begitu juga sebaliknya, kami pun merindukan nenek yang sering mengomeli kami di masa kecil itu.
Kami berempat tidak bisa lagi bertemu dengannya setiap hari. Sejak 2004, satu per satu pergi. Aku memulainya ke Ponorogo. Dillah merantau ke Purwokerto. Alpi mencoba bersaing di Jakarta. Sedangkan Nujhan menyusulku ke Ponorogo. Semuanya ke luar Kalimantan, pergi ke Pulau Jawa. Hingga saat ini, kami masih pulang-pergi Jawa-Kalimantan, namun hanya pada waktu tertentu, minimal setengah tahun sekali.
Rumah pun menjadi sepi. Tidak ada lagi keempat cucunya yang berlarian di rumah. Setiap kali kami datang dari perantauan, nenek tampak seperti mau menangis. Momen emosional itu tak bisa kugambarkan. Ingin sekali aku membawanya jalan-jalan ke tempatku, tapi nenek sudah tidak sanggup berjalan jauh. Saat ini, ia hanya berdiam di rumah, tidak bisa ke mana-mana lagi. Ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan tasbih di tangannya. shah wa

Kampung Damai, 28 November 2017
Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar