Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Rabu, 29 November 2017

Guru Tsanawiyahku

Beberapa waktu lalu, aku berkunjung ke sekolah yang telah membesarkan namaku selama tiga tahun, antara rentang tahun 2000–2003. Alhamdulillah, aku masih bisa bertemu sejumlah guru yang mengajar di periode itu. Tidak banyak, hanya tersisa enam orang. Guru-guru kami yang lain sudah pindah mengajar ke tempat lain, sebagian ditunjuk menjadi kepala sekolah.
Aku bertemu Bu Hana. Beliau seorang guru yang sungguh terkenal bijak dan sangat keibuan. Kami sangat menghormatinya. Ia seringkali menjadi tempat berkeluh-kesah siswa, terutama kaum perempuan. Orangnya sangat aktif menggerakkan kegiatan ekstrakurikuler sekolah dari gerakan kepramukaan, palang merah, hingga kesenian. Aku melihat beliau sebagai guru yang multitalenta.
Beliau mengajar kami pelajaran kesenian dan keterampilan di kelas. Aku masih ingat bagaimana kami diajar cara menyetrika yang baik, bagaimana menjemur pakaian yang tepat, termasuk cara mencuci baju. Cara menjahit baju dengan manual juga diajari, juga cara menambal baju yang sobek. Pelajaran-pelajaran itu masih kuingat dan sangat bermanfaat.
Aku juga bertemu Pak Safwan. Beliaulah guru bahasa Arab-ku yang handal. Ialah orang yang paling berjasa membuatku cepat menguasai bahasa al-Qur’an tersebut. Dengan segala kesabarannya mengajar di kelas, Pak Safwan mengarahkanku menguasai dasar-dasar bahasa Arab dalam waktu singkat. Ia begitu sabar menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang kuajukan. Tidak ada satupun yang tidak dijawab oleh beliau. Akhirnya, aku seperti melaju sendirian di pelajaran ini. Jasa beliau takkan kulupakan.
Selain Bu Hana dan Pak Safwan, aku juga bertemu wali kelasku waktu duduk di kelas 2B, Bu Miserah. Wali kelasku yang lain sudah tidak di sana lagi. Bu Asnayyinah, wali kelas 1A, sudah pindah ke sekolah lain. Sedangkan Bu Elina sudah pergi meninggalkan dunia fana ini menuju rahmat Allah. Beliau adalah wali kelas kami di kelas 3B. Orangnya murah senyum dan sangat ramah.
Ada satu lagi yang masih ada di sana dan kemarin sempat bertemu, yaitu Bu Fatimah, guru bahasa Inggris kami di kelas 2. Dulu, beliau masih berstatus guru honorer. Sekarang ia sudah menjadi guru tetap di sana. Rupanya, beliau masih ingat saat aku dan teman-teman sekelas berkunjung ke rumahnya dulu.
Dua orang guru lagi yang masih di sana, yaitu Pak Imansyah dan Bu Hasnah. Keduanya tidak sempat kutemui karena sedang berada di luar sekolah. Sekarang Pak Imansyah sudah menjadi kepala sekolah ini. Dulu, beliau mengajar kami pelajaran al-Qur’an dan Hadits. Kini, ia menjadi orang nomor satu di sekolah favorit warga Murakata tersebut. Di zaman kami, kepala sekolahnya adalah Pak Manan dan Pak Taufiqurrahman. Kami hanya merasakan Pak Manan di tahun pertama sebelum digantikan Pak Taufiqurrahman.
Bu Hasnah ternyata juga masih di sana. Dulu, beliau mengajar kami bahasa Inggris di kelas 1. Mungkin sekarang juga masih mengajar pelajaran yang sama.
Aku ingin bercerita banyak tentang sekolahku yang satu ini di kesempatan yang lain. Sungguh banyak momen tak terlupakan terkait prestasi belajarku di sekolah ini. Aku berutang budi padanya. Semoga kelak aku bisa datang lagi ke sini memberikan sesuatu yang berharga untuk sekolah dan guru-guruku. shah wa

Kampung Damai, 28 November 2017

Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar