Namun, di hari bahagia itu terselip kesedihan. Ayahku tak bisa ikut
meramaikan rombongan. Betapa sedihnya hati saat tidak mendapati ayah di sisiku.
Mestinya, ia ada bersama kami dan melihat calon menantunya yang kupilih melalui
jalan yang diridhai Allah. Aku ingin sekali memperkenalkan gadis itu kepadanya.
Ia pasti sangat menyetujui pilihanku. Ayah, kutahu engkau tersenyum di “sana”
dan turut berbahagia bersama kami saat itu.
Ayah, namanya adalah Nur Kamilah Habibah binti Muhammad
Yanuarridhan. Nama yang sangat indah, bukan? Begitulah kata Mama. Iya, namanya
sangat indah seindah orangnya, seindah hatinya, dan seindah akhlaknya. Saat
pertama kali kuberitahu, Mama langsung menyukainya. Dia lahir di tahun 1995,
tepatnya pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 1995. Lebih muda delapan tahun
dariku.
Dari pihak ayahnya yang berasal dari Bangka, ia punya kakek berdarah
Arab dan nenek berdarah Cina. Jadi, menantu Ayah ini dikaruniai hafalan kuat
yang dimiliki bangsa Arab dan memiliki etos kerjanya orang-orang Cina. Dia
bertipe pejuang dan penyayang. Ibunya asli Yogyakarta. Karena itulah dia punya
kelembutan hati dan kehalusan bertutur khas Yogyakarta. Dia juga punya darah
seni, pintar melukis dan menulis kaligrafi atau khat. Lebih penting lagi, ia
dididik agama dengan baik di pesantren dan juga oleh kedua orang tuanya.
Dialah istri salihah yang didambakan putramu, Ayah. Kelak, dia bisa
menjadi teladan bagi istri-istri ketiga putramu yang lain, Dillah, Alpi, dan
Nujhan, in syaa’ Allah. Dengan doa Ayah, aku sudah menemukannya walau
sedikit terlambat karena ia tidak sempat bertemu Ayah. Semoga kita bisa
berkumpul di surga nanti, ya. Amin.
Sebagaimana namanya, aku mendapati “cahaya” Allah di dalam dirinya.
Cahaya itu begitu terang hingga menerangi relung kalbu putramu ini. Terangnya
menyilaukan mata sampai tak bisa dipandangi sembarang mata. Aku beruntung bisa
“melihatnya” dengan hati karena nurani selalu jujur dan tak pernah salah
membaca. Segala puji bagi Allah yang telah mengabulkan setiap doa. Aku meminta
cahaya dan Allah benar-benar memberiku cahaya itu. Aku menemukannya saat senja
tiba dan mulai malam, buah dari tawakkal dan kesabaran. Tidak ada cahaya yang
tidak datang dari Tuhan, maka kita tak perlu ragu untuk mendatanginya.
Banyak persamaan yang kami miliki. Tentunya, kita juga memiliki banyak
perbedaan. Jangan kuatir dengan perbedaan. Lelaki dan perempuan merupakan dua
jenis makhluk Allah yang sangat berbeda, namun ditakdirkan bersama menjadi
pasangan hidup seiya sekata. Pastilah Allah sudah mengatur segalanya agar
perbedaan itu bisa disatukan setelah terikat tali pernikahan. Karena itu,
perbedaan adalah rahmat untuk saling melengkapi.
Setiap yang berpasangan itu pastilah selalu berbeda. Bukankah
berpasangan itu artinya bertemunya dua perbedaan? Allah menciptakan keindahan
dari perbedaan. Timur berpasangan dengan barat. Apakah timur dan barat sama?
Jelas berbeda. Timur menyuguhkan matahari terbit, sedangkan barat menyuguhkan
senja di ufuk langit. Segala yang berpasangan di bagian tubuh kita juga
berbeda. Tapi, dengan bagian tubuh kanan-kirinya itu, Allah menjadikan manusia disebut
ahsanu taqwim.
Aku memang sempat mempertanyakan bagaimana kami mengatasi perbedaan
budaya dan menyatukan jarak antara Kalimantan dan Jawa. Tapi, dia memberikan
jawaban luar biasa yang menyejukkan hati. Katanya, “Kalimantan dan Jawa memang
jauh, tapi bukankah bumi ini hanyalah butiran debu tak berjarak di alam
semesta?” Tak disangka, aku mendengar jawaban bijak dari calon istriku waktu pertanyaan
itu terlontarkan melalui perantaraku.
Ya, betul sekali. Mestinya, janganlah membatasi jodohmu dengan
jarak, harta, tahta, jabatan, dan embel-embel dunia lainnya. Cukuplah kau
batasi dengan aqidah, dengan agama yang dianutnya. Inilah syarat mutlak yang
tak bisa ditawar. Jadi, sejak itu, tak ada keraguan sama sekali di hati untuk
meminangnya menjadi teman hidup sejati.
Enam bulan sebelum lamaran aku mendatangi orang tuanya, Abah dan
Umi, tepatnya pada tanggal 30 Mei 2016 silam. Saat itu, aku sudah meyakinkan
hati dan memberanikan diri datang sendiri dengan niat suci. Entah dari mana
datangnya keyakinan dan keberanian itu. Padahal, aku baru seminggu mengenalnya,
tapi sudah berani datang ke orang tuanya. Mengenalnya pun melalui perantaraan
seseorang. Aku juga belum pernah bertemu anaknya, hanya melihat fotonya. Aku
juga belum pernah mendengar suaranya karena dia tak mau ditelepon dan tak mau
memberi nomor telepon. Kami hanya saling bertanya melalui si perantara, dan
sempat berbincang melalui media sosial tiga atau empat kali sebelum aku
menyatakan maksud bertemu orang tuanya.
Yang pasti, aku sudah mendapatkan restu mamaku. Bahkan, sepanjang
perjalanan dari Ponorogo menuju Yogyakarta Mama terus menelepon dan memastikan
anaknya selamat sampai ke tujuan, serta mendapat kemudahan dalam urusan besar
ini.
Apakah ini namanya nekat? Tidak, kawan. Ini bukan nekat, tapi
mantap. Nekat cenderung jauh dari tawakkal. Mantap lebih dekat kepada tawakkal
karena ia berdasarkan keyakinan dan keimanan. Aku tidak memutuskannya begitu
saja, tapi sudah berkonsultasi dengan Allah. Ini adalah urusan besar yang tak
boleh lepas dari campur tangan Tuhan. Allah harus terlibat di dalamnya.
Apalagi, ini urusan dunia-akhirat, teman hidup di dunia dan teman hidup di
akhirat. Jika Allah telah memberikan petunjuknya untuk suatu pilihan, ikutilah.
Jangan takut salah karena itu adalah pilihan yang sangat tepat dan kau harus
mensyukurinya.
Aku sangat merasakan campur tangan-Nya. Prosesnya begitu cepat dan
terasa mudah. Aku pun sangat menyukai prosesnya yang langka ini. Sebulan
setelah ayah meninggal pada tanggal 29 Maret 2016 silam, Mama mulai memintaku
untuk berikhtiar mencari jodoh karena usiaku sudah mendekati kepala tiga. Ia
sangat ingin punya menantu. Begitu juga nenekku yang kini sudah tak bisa bebas
ke sana kemari karena dimakan usia. Belum lagi, adanya keinginan adikku,
Dillah, yang usianya hanya berjarak setahun dariku. Ia ingin menikah, tapi
tidak mau mendahuluiku. Tentu saja aku tak ingin menjadi penghalang jodoh
saudaraku.
Aku sempat bingung. Mungkinkah kita mendapatkan jodoh terbaik kita
dalam waktu singkat tanpa pernah mengenalnya sama sekali, tanpa pernah bertemu
orangnya langsung sambil bertatap muka dan saling bertukar pandangan? Ternyata,
itu sangat mungkin, kawan! Aku tidak menyangka bisa menjadi bagian dari kisah unik
namun berkah ini. Dua orang berjodoh akan disatukan Allah walau tanpa pernah
bertemu, tanpa pernah saling mengenal atau bertegur sapa. Rupanya, mempertemukan
dua orang berjodoh itu sangat mudah bagi Allah walaupun keduanya belum pernah
bertemu sama sekali, walaupun mereka belum saling mengenal, walaupun mereka
terpisah jarak antara timur dan barat. Memang, Allah pemilik skenario terbaik
segala peristiwa di dunia ini.
Hanya dalam waktu seminggu berkenalan melalui perantaraan seorang
teman, hati pun mantap mengatakan, “Aku menemukannya! Bismillah, inilah
jodoh yang dipilihkan Allah untukku, jodoh yang kucari-cari dan menjadi idaman
hati.”
Sebuah foto dan informasi yang cukup dari orang-orang terpercaya
ditambah petunjuk Allah membuatku merasa tak perlu bertemu orangnya. Kami pun
berkomitmen untuk tidak saling bertemu hingga waktu lamaran tiba. Jadi, setelah
setengah tahun saling mengenal, pertemuan pertama adalah saat aku melamarnya
pada tanggal 21 November 2016 itu. Di situlah kami dipermukan. Aku duduk diapit
Uwak dan Mama dan dia di duduk di samping ayahnya. Pada kedatanganku yang
pertama saat menemui orang tuanya, ia sedang sibuk dengan KKN-nya. Selain
bertemu Abah dan Umi-nya, aku hanya bertemu kakak ipar dan adik kandungnya.
Sampai-sampai, sebagian orang di ruangan itu tidak percaya bahwa
itulah pertemuan pertama kami secara langsung dan disengaja. Indah sekali. Puas
rasanya hati ini menjalani proses yang unik dan tak pernah terbayangkan olehku.
Kukira, peristiwa ini hanya ada di novel-novel. Nyatanya, aku bisa mengalaminya
sendiri. Allah benar-benar menjagaku dan menjaganya. Alhamdulillah.
Ternyata, ujian setelah lamaran atau khitbah itu memang
benar adanya. Karena itulah, kita sering mendengar banyak saran agar akad nikah
segera dilaksanakan setelah khitbah. Kami tidak bisa mempercepatnya
karena terikat peraturan pondok untuk menyelesaikan pengabdian setengah tahun
lagi sekaligus menyelesaikan tugas akhir kuliah sarjananya alias skripsi. Maka,
ujian menjelang akad pun harus dijalani dengan sabar. Setengah tahun lebih kami
bersabar menjaga batas-batas dan kesucian diri menjelang akad. Aku merasa
tenang karena dia dibentengi pesantren. Berkah pesantren sangat terasa menjaga
komitmen kami.
Ujian itupun terlewati dengan baik. Maka, pada tanggal 2 Juli 2017,
kami menikah. Aku menggenggam tangan ayahnya yang bertindak sebagai wali.
Kuucap akad dengan mantap sekali ucap. Hatiku lega saat mendengar “sah”
dari dua orang saksi di kanan-kiriku, yaitu Prof. Dr. Muhammad Chirzin dan
Prof. Dr. Soffian Effendi. Mataku pun berkaca-kaca. Ayah, aku telah resmi
menjadi seorang suami. Kini, cahaya itu telah sah menjadi bagian dari hidupku.
Acara lamaran itu sudah setahun berlalu, sementara pernikahan kami
baru berjalan kurang lebih empat bulan. Bahtera telah berlayar. Aku menjadi
nakhodanya. Kami berdua telah siap mengarungi samudera kehidupan ini bersama-sama.
Jika ombak menghantam, kami eratkan genggaman untuk menghadapinya bersama. shah
wa
Kampung Damai, 21 November 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar