Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Minggu, 26 November 2017

Hari Istimewaku

Setahun lalu, hari Senin, tanggal 21 November 2016, merupakan hari bersejarah yang tak terlupakan. Pada hari itu, aku melangkah mantap ditemani Mama, Uwak, Kak Hijfi dan suaminya, beserta si Dillah, adik pertamaku, ke tempat lamaran di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hanya mereka anggota keluargaku yang bisa datang dari Kalimantan untuk mendampingiku melamar seorang gadis cantik dan salihah yang berasal dari tempat lahir Ki Hajar Dewantara itu. Ada dua orang yang juga ikut mendampingi, yaitu si Reza dari Nganjuk dan si anak Yogyakarta asli, Taqiyuddin.
Namun, di hari bahagia itu terselip kesedihan. Ayahku tak bisa ikut meramaikan rombongan. Betapa sedihnya hati saat tidak mendapati ayah di sisiku. Mestinya, ia ada bersama kami dan melihat calon menantunya yang kupilih melalui jalan yang diridhai Allah. Aku ingin sekali memperkenalkan gadis itu kepadanya. Ia pasti sangat menyetujui pilihanku. Ayah, kutahu engkau tersenyum di “sana” dan turut berbahagia bersama kami saat itu.
Ayah, namanya adalah Nur Kamilah Habibah binti Muhammad Yanuarridhan. Nama yang sangat indah, bukan? Begitulah kata Mama. Iya, namanya sangat indah seindah orangnya, seindah hatinya, dan seindah akhlaknya. Saat pertama kali kuberitahu, Mama langsung menyukainya. Dia lahir di tahun 1995, tepatnya pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 1995. Lebih muda delapan tahun dariku.
Dari pihak ayahnya yang berasal dari Bangka, ia punya kakek berdarah Arab dan nenek berdarah Cina. Jadi, menantu Ayah ini dikaruniai hafalan kuat yang dimiliki bangsa Arab dan memiliki etos kerjanya orang-orang Cina. Dia bertipe pejuang dan penyayang. Ibunya asli Yogyakarta. Karena itulah dia punya kelembutan hati dan kehalusan bertutur khas Yogyakarta. Dia juga punya darah seni, pintar melukis dan menulis kaligrafi atau khat. Lebih penting lagi, ia dididik agama dengan baik di pesantren dan juga oleh kedua orang tuanya. 
Dialah istri salihah yang didambakan putramu, Ayah. Kelak, dia bisa menjadi teladan bagi istri-istri ketiga putramu yang lain, Dillah, Alpi, dan Nujhan, in syaa’ Allah. Dengan doa Ayah, aku sudah menemukannya walau sedikit terlambat karena ia tidak sempat bertemu Ayah. Semoga kita bisa berkumpul di surga nanti, ya. Amin.
Sebagaimana namanya, aku mendapati “cahaya” Allah di dalam dirinya. Cahaya itu begitu terang hingga menerangi relung kalbu putramu ini. Terangnya menyilaukan mata sampai tak bisa dipandangi sembarang mata. Aku beruntung bisa “melihatnya” dengan hati karena nurani selalu jujur dan tak pernah salah membaca. Segala puji bagi Allah yang telah mengabulkan setiap doa. Aku meminta cahaya dan Allah benar-benar memberiku cahaya itu. Aku menemukannya saat senja tiba dan mulai malam, buah dari tawakkal dan kesabaran. Tidak ada cahaya yang tidak datang dari Tuhan, maka kita tak perlu ragu untuk mendatanginya.
Banyak persamaan yang kami miliki. Tentunya, kita juga memiliki banyak perbedaan. Jangan kuatir dengan perbedaan. Lelaki dan perempuan merupakan dua jenis makhluk Allah yang sangat berbeda, namun ditakdirkan bersama menjadi pasangan hidup seiya sekata. Pastilah Allah sudah mengatur segalanya agar perbedaan itu bisa disatukan setelah terikat tali pernikahan. Karena itu, perbedaan adalah rahmat untuk saling melengkapi.
Setiap yang berpasangan itu pastilah selalu berbeda. Bukankah berpasangan itu artinya bertemunya dua perbedaan? Allah menciptakan keindahan dari perbedaan. Timur berpasangan dengan barat. Apakah timur dan barat sama? Jelas berbeda. Timur menyuguhkan matahari terbit, sedangkan barat menyuguhkan senja di ufuk langit. Segala yang berpasangan di bagian tubuh kita juga berbeda. Tapi, dengan bagian tubuh kanan-kirinya itu, Allah menjadikan manusia disebut ahsanu taqwim.
Aku memang sempat mempertanyakan bagaimana kami mengatasi perbedaan budaya dan menyatukan jarak antara Kalimantan dan Jawa. Tapi, dia memberikan jawaban luar biasa yang menyejukkan hati. Katanya, “Kalimantan dan Jawa memang jauh, tapi bukankah bumi ini hanyalah butiran debu tak berjarak di alam semesta?” Tak disangka, aku mendengar jawaban bijak dari calon istriku waktu pertanyaan itu terlontarkan melalui perantaraku.
Ya, betul sekali. Mestinya, janganlah membatasi jodohmu dengan jarak, harta, tahta, jabatan, dan embel-embel dunia lainnya. Cukuplah kau batasi dengan aqidah, dengan agama yang dianutnya. Inilah syarat mutlak yang tak bisa ditawar. Jadi, sejak itu, tak ada keraguan sama sekali di hati untuk meminangnya menjadi teman hidup sejati.
Enam bulan sebelum lamaran aku mendatangi orang tuanya, Abah dan Umi, tepatnya pada tanggal 30 Mei 2016 silam. Saat itu, aku sudah meyakinkan hati dan memberanikan diri datang sendiri dengan niat suci. Entah dari mana datangnya keyakinan dan keberanian itu. Padahal, aku baru seminggu mengenalnya, tapi sudah berani datang ke orang tuanya. Mengenalnya pun melalui perantaraan seseorang. Aku juga belum pernah bertemu anaknya, hanya melihat fotonya. Aku juga belum pernah mendengar suaranya karena dia tak mau ditelepon dan tak mau memberi nomor telepon. Kami hanya saling bertanya melalui si perantara, dan sempat berbincang melalui media sosial tiga atau empat kali sebelum aku menyatakan maksud bertemu orang tuanya.
Yang pasti, aku sudah mendapatkan restu mamaku. Bahkan, sepanjang perjalanan dari Ponorogo menuju Yogyakarta Mama terus menelepon dan memastikan anaknya selamat sampai ke tujuan, serta mendapat kemudahan dalam urusan besar ini.
Apakah ini namanya nekat? Tidak, kawan. Ini bukan nekat, tapi mantap. Nekat cenderung jauh dari tawakkal. Mantap lebih dekat kepada tawakkal karena ia berdasarkan keyakinan dan keimanan. Aku tidak memutuskannya begitu saja, tapi sudah berkonsultasi dengan Allah. Ini adalah urusan besar yang tak boleh lepas dari campur tangan Tuhan. Allah harus terlibat di dalamnya. Apalagi, ini urusan dunia-akhirat, teman hidup di dunia dan teman hidup di akhirat. Jika Allah telah memberikan petunjuknya untuk suatu pilihan, ikutilah. Jangan takut salah karena itu adalah pilihan yang sangat tepat dan kau harus mensyukurinya.
Aku sangat merasakan campur tangan-Nya. Prosesnya begitu cepat dan terasa mudah. Aku pun sangat menyukai prosesnya yang langka ini. Sebulan setelah ayah meninggal pada tanggal 29 Maret 2016 silam, Mama mulai memintaku untuk berikhtiar mencari jodoh karena usiaku sudah mendekati kepala tiga. Ia sangat ingin punya menantu. Begitu juga nenekku yang kini sudah tak bisa bebas ke sana kemari karena dimakan usia. Belum lagi, adanya keinginan adikku, Dillah, yang usianya hanya berjarak setahun dariku. Ia ingin menikah, tapi tidak mau mendahuluiku. Tentu saja aku tak ingin menjadi penghalang jodoh saudaraku.
Aku sempat bingung. Mungkinkah kita mendapatkan jodoh terbaik kita dalam waktu singkat tanpa pernah mengenalnya sama sekali, tanpa pernah bertemu orangnya langsung sambil bertatap muka dan saling bertukar pandangan? Ternyata, itu sangat mungkin, kawan! Aku tidak menyangka bisa menjadi bagian dari kisah unik namun berkah ini. Dua orang berjodoh akan disatukan Allah walau tanpa pernah bertemu, tanpa pernah saling mengenal atau bertegur sapa. Rupanya, mempertemukan dua orang berjodoh itu sangat mudah bagi Allah walaupun keduanya belum pernah bertemu sama sekali, walaupun mereka belum saling mengenal, walaupun mereka terpisah jarak antara timur dan barat. Memang, Allah pemilik skenario terbaik segala peristiwa di dunia ini.
Hanya dalam waktu seminggu berkenalan melalui perantaraan seorang teman, hati pun mantap mengatakan, “Aku menemukannya! Bismillah, inilah jodoh yang dipilihkan Allah untukku, jodoh yang kucari-cari dan menjadi idaman hati.”
Sebuah foto dan informasi yang cukup dari orang-orang terpercaya ditambah petunjuk Allah membuatku merasa tak perlu bertemu orangnya. Kami pun berkomitmen untuk tidak saling bertemu hingga waktu lamaran tiba. Jadi, setelah setengah tahun saling mengenal, pertemuan pertama adalah saat aku melamarnya pada tanggal 21 November 2016 itu. Di situlah kami dipermukan. Aku duduk diapit Uwak dan Mama dan dia di duduk di samping ayahnya. Pada kedatanganku yang pertama saat menemui orang tuanya, ia sedang sibuk dengan KKN-nya. Selain bertemu Abah dan Umi-nya, aku hanya bertemu kakak ipar dan adik kandungnya.
Sampai-sampai, sebagian orang di ruangan itu tidak percaya bahwa itulah pertemuan pertama kami secara langsung dan disengaja. Indah sekali. Puas rasanya hati ini menjalani proses yang unik dan tak pernah terbayangkan olehku. Kukira, peristiwa ini hanya ada di novel-novel. Nyatanya, aku bisa mengalaminya sendiri. Allah benar-benar menjagaku dan menjaganya. Alhamdulillah.
Ternyata, ujian setelah lamaran atau khitbah itu memang benar adanya. Karena itulah, kita sering mendengar banyak saran agar akad nikah segera dilaksanakan setelah khitbah. Kami tidak bisa mempercepatnya karena terikat peraturan pondok untuk menyelesaikan pengabdian setengah tahun lagi sekaligus menyelesaikan tugas akhir kuliah sarjananya alias skripsi. Maka, ujian menjelang akad pun harus dijalani dengan sabar. Setengah tahun lebih kami bersabar menjaga batas-batas dan kesucian diri menjelang akad. Aku merasa tenang karena dia dibentengi pesantren. Berkah pesantren sangat terasa menjaga komitmen kami.
Ujian itupun terlewati dengan baik. Maka, pada tanggal 2 Juli 2017, kami menikah. Aku menggenggam tangan ayahnya yang bertindak sebagai wali. Kuucap akad dengan mantap sekali ucap. Hatiku lega saat mendengar “sah” dari dua orang saksi di kanan-kiriku, yaitu Prof. Dr. Muhammad Chirzin dan Prof. Dr. Soffian Effendi. Mataku pun berkaca-kaca. Ayah, aku telah resmi menjadi seorang suami. Kini, cahaya itu telah sah menjadi bagian dari hidupku.
Acara lamaran itu sudah setahun berlalu, sementara pernikahan kami baru berjalan kurang lebih empat bulan. Bahtera telah berlayar. Aku menjadi nakhodanya. Kami berdua telah siap mengarungi samudera kehidupan ini bersama-sama. Jika ombak menghantam, kami eratkan genggaman untuk menghadapinya bersama. shah wa

Kampung Damai, 21 November 2017
Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar