Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Selasa, 28 November 2017

Hujan dan Banjir

Akhir bulan ini hujan seakan tak berhenti. Aku ingat kejadian ini mirip tahun 2008 silam. Hujan tak berhenti dari pagi hingga pagi lagi, dan berlangsung berhari-hari. Hujannya kadang deras, kadang gerimis ringan, terus gerimis sedang. Air dari langit terus menetes, sedikit atau banyak, namun tak berhenti. Sepuluh tahun yang lalu, hujan seperti ini menyebabkan Gontor kebanjiran setinggi dada.
Walaupun sudah lewat satu dekade, peristiwa itu masih segar dalam ingatan. Saat itu, aku masih berkamar di Majalah Himmah, Lantai 1 Gedung Sudan, bersama Pak Faiq, Pak Fazlur, dan Pak Muttaqin. Kami mulai diserang banjir pada jam dua malam. Untungnya, saat itu kami terbangun. Rupanya, air sudah mulai masuk ke dalam.
Kami bergerak cepat mengamankan komputer dan peralatan elektronik lainnya. Kabel-kabel segera dibereskan. Komputer dinaikkan ke atas meja. Beberapa majalah di lantai juga harus diamankan. Air sudah tak terbendung. Kami beruntung daerah Gedung Sudan termasuk berada di dataran agak tinggi dibandingkan tempat lainnya. Dengan lantai yang cukup tinggi, kamar kami hanya terendam air setinggi 15-30 sentimeter.
Beres-beres kamar memakan waktu cukup lama. Kami yakin kamar-kamar lain yang berada di lantai satu juga melakukan hal yang sama. Menjelang Subuh air terus naik. Saat matahari terbit tampaklah air deras mengalir di depan kamar menggenangi jalan utama pondok. Orang-orang sudah beramai-ramai keluar kamar menyaksikannya. Katanya, banjir ini terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
Bagi santri, bahkan bagi para guru, banjir menjadi hiburan tersendiri. Posisi Gontor memang tidak membahayakan jika terjadi banjir karena lokasinya sudah terbentengi gedung-gedung dan rumah-rumah warga. Jadi, air limpahan ini hanya mampir saja, tidak sampai menjadi bencana. Gontor pun akhirnya menjadi wahana bermain gratis santri-santri. Secara otomatis kelas pun diliburkan.
Genangan air yang cukup tinggi itu berlangsung hingga siang. Sepanjang waktu itulah santri-santri bermain air. Tidak terkecuali guru-guru. Bahkan, Ustadz Hasan sendiri ikut menikmatinya dengan berjalan mengarungi air setinggi perut hingga dada itu, diiringi sejumlah guru. Lucunya, sebagian guru ada yang main perang-perangan air di salah satu jalan utama pondok. Mereka berkelompok sehingga tidak malu-malu melakukannya. Boleh juga untuk menghilangkan beban pikiran sejenak. Toh, banjir hanya datang sekali seumur hidup mereka di pondok.
Banjir 2008 itu tidak membahayakan pondok dan santri-santri. Tapi, bisa dibilang cukup merepotkan. Pasalnya, banjir pasti meninggalkan jejak, yaitu lumpur dan sampah-sampah. Kelas-kelas dan asrama santri pun terkotori. Demikian pula kantor-kantor dan rumah-rumah guru.
Pembersihan total pun akhirnya dilakukan. Di pondok, hal ini tidak sulit karena kita memiliki pasukan pembersih yang handal. Setelah Zuhur dilakukan operasi bersih-bersih. Santri-santri yang sudah puas bermain air tadi pagi bersemangat membersihkan kelas-kelas dan asrama mereka. Menjelang sore, pembersihan selesai. Besok pagi, kelas sudah bisa dipakai seperti biasa.
Setelah sepuluh tahun berlalu, banjir sebesar itu tidak pernah terjadi lagi. Hanya pernah sesekali terjadi genangan air setinggi mata kaki. Itupun tidak lama. Tahun ini, curah hujan cukup banyak. Berita banjir sudah terdengar di daerah Pacitan, diikuti longsor di sejumlah titik dan tanggul jebol. Semoga tidak sampai memakan korban dan menimbulkan kerugian besar. shah wa

Kampung Damai, 28 November 2017
Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar