Akhir bulan ini hujan seakan tak berhenti. Aku ingat kejadian ini
mirip tahun 2008 silam. Hujan tak berhenti dari pagi hingga pagi lagi, dan
berlangsung berhari-hari. Hujannya kadang deras, kadang gerimis ringan, terus
gerimis sedang. Air dari langit terus menetes, sedikit atau banyak, namun tak
berhenti. Sepuluh tahun yang lalu, hujan seperti ini menyebabkan Gontor
kebanjiran setinggi dada.
Walaupun sudah lewat satu dekade, peristiwa itu masih segar dalam
ingatan. Saat itu, aku masih berkamar di Majalah Himmah, Lantai 1 Gedung Sudan,
bersama Pak Faiq, Pak Fazlur, dan Pak Muttaqin. Kami mulai diserang banjir pada
jam dua malam. Untungnya, saat itu kami terbangun. Rupanya, air sudah mulai
masuk ke dalam.
Kami bergerak cepat mengamankan komputer dan peralatan elektronik
lainnya. Kabel-kabel segera dibereskan. Komputer dinaikkan ke atas meja. Beberapa
majalah di lantai juga harus diamankan. Air sudah tak terbendung. Kami beruntung
daerah Gedung Sudan termasuk berada di dataran agak tinggi dibandingkan tempat
lainnya. Dengan lantai yang cukup tinggi, kamar kami hanya terendam air
setinggi 15-30 sentimeter.
Beres-beres kamar memakan waktu cukup lama. Kami yakin kamar-kamar
lain yang berada di lantai satu juga melakukan hal yang sama. Menjelang Subuh
air terus naik. Saat matahari terbit tampaklah air deras mengalir di depan
kamar menggenangi jalan utama pondok. Orang-orang sudah beramai-ramai keluar kamar
menyaksikannya. Katanya, banjir ini terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
Bagi santri, bahkan bagi para guru, banjir menjadi hiburan
tersendiri. Posisi Gontor memang tidak membahayakan jika terjadi banjir karena lokasinya
sudah terbentengi gedung-gedung dan rumah-rumah warga. Jadi, air limpahan ini
hanya mampir saja, tidak sampai menjadi bencana. Gontor pun akhirnya menjadi
wahana bermain gratis santri-santri. Secara otomatis kelas pun diliburkan.
Genangan air yang cukup tinggi itu berlangsung hingga siang.
Sepanjang waktu itulah santri-santri bermain air. Tidak terkecuali guru-guru. Bahkan,
Ustadz Hasan sendiri ikut menikmatinya dengan berjalan mengarungi air setinggi
perut hingga dada itu, diiringi sejumlah guru. Lucunya, sebagian guru ada yang
main perang-perangan air di salah satu jalan utama pondok. Mereka berkelompok
sehingga tidak malu-malu melakukannya. Boleh juga untuk menghilangkan beban
pikiran sejenak. Toh, banjir hanya datang sekali seumur hidup mereka di pondok.
Banjir 2008 itu tidak membahayakan pondok dan santri-santri. Tapi,
bisa dibilang cukup merepotkan. Pasalnya, banjir pasti meninggalkan jejak,
yaitu lumpur dan sampah-sampah. Kelas-kelas dan asrama santri pun terkotori. Demikian
pula kantor-kantor dan rumah-rumah guru.
Pembersihan total pun akhirnya dilakukan. Di pondok, hal ini tidak
sulit karena kita memiliki pasukan pembersih yang handal. Setelah Zuhur
dilakukan operasi bersih-bersih. Santri-santri yang sudah puas bermain air tadi
pagi bersemangat membersihkan kelas-kelas dan asrama mereka. Menjelang sore,
pembersihan selesai. Besok pagi, kelas sudah bisa dipakai seperti biasa.
Setelah sepuluh tahun berlalu, banjir sebesar itu tidak pernah
terjadi lagi. Hanya pernah sesekali terjadi genangan air setinggi mata kaki. Itupun
tidak lama. Tahun ini, curah hujan cukup banyak. Berita banjir sudah terdengar
di daerah Pacitan, diikuti longsor di sejumlah titik dan tanggul jebol. Semoga tidak
sampai memakan korban dan menimbulkan kerugian besar. shah wa
Kampung Damai, 28 November 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar