Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Selasa, 12 Desember 2017

Gontor Minder Peradaban?

Belakangan ini beredar ceramah seorang ustadz yang menghina Gontor. Di video yang tersebar melalui saluran youtube tersebut, dengan lantang dia mengatakan bahwa Gontor mengalami minder peradaban. Kiainya, guru-guru, dan juga santri-santrinya mengikuti gaya hidup orang Barat yang kafir dengan mengenakan jas dan dasi. Menurutnya, berjas dan berdasi itu kebarat-baratan alias mengikuti tingkah laku orang-orang kafir Amerika, Inggris, Prancis, dan Jerman.
Seharusnya, menurut dia, orang-orang yang mengaku Muslim itu mengikuti gaya berbusana Rasulullah Saw. Bagaimana gaya berbusana Rasulullah Saw yang dia maksud itu? Katanya, kita mesti bergamis seperti beliau karena itu tanda kesalehan seseorang. Selain menyebut orang-orang Gontor minder peradaban karena suka berjas dan berdasi, ia juga menuduh Gontor dan santri-santrinya tidak menyukai saudara Muslim yang memakai gamis dan membenci orang-orang berjenggot. Sejak kapan kami para santri Gontor diajari membenci orang karena pakaian yang dia pakai atau dari penampilannya? Terus, dengan alasan apa pula kami membenci orang-orang yang memelihara jenggotnya?
“.... Tapi di Gontor, mereka... ustadznya, santrinya pakai dasi, kan? Pakai jas. Jadi, apa? Minder peradaban. Malu memakai busana rasulnya, gengsi memakan makanan rasulnya. Aneh, kan, Pak? Dikritisi kita berjenggot, dikritisi kita pakai gamis. Saya bilang, itu busana orang soleh. Jas itu busana orang-orang kafir di Amerika, Inggris, Prancis, Jerman. Kenapa kita lebih bangga busana orang kafir daripada busana para nabi? Coba, Pak, coba deh ke Gontor. Tuh, pesantren di Pasar Rebo sebelah kiri, semua ustadznya berdasi, berjas. Siswanya semua pakai jas, dasi. Dianggap simbol modern dasi dengan jas. Betul? Sekarang terbalik, Pak, di Turki. Dulu jas, kembali sekarang pakai gamis. Coba Bapak lihat, 70 tahun tidak pernah muncul jilbab, sekarang istri Presiden Turki, Erdogan, malah berjilbab. Tujuh puluh tahun Turki tidak boleh tentara shalat jamaah, kemari sudah shalat jamaah. Makanya diserang habis oleh Barat karena Erdogan ini ingin kembali ke al-Qur’an. Itu orang cerdas. Istrinya berjilbab. Presiden pertama, Pak. Tujuh puluh tahun baru dia muncul. Indonesia? Tujuh presiden Muslim tidak pernah beristri jilbab, negara Islam terbesar di dunia...,” demikian kata sang ustadz dalam potongan video berdurasi satu setengah menit tersebut. Potongan video tersebut menyebar luas melalui aplikasi WhatsApp (WA).   
Ustadz ini harus mampir ke Gontor dulu agar tahu bahwa sejak kelas satu kami sudah diajari untuk tidak menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya. Kami tahu bunyi hadisnya. Bahkan, kami disuruh menghafalnya dan mengamalkannya. Kami juga belajar mahfuzat tentang itu. Kesalehan seseorang tidak dilihat dari pakaiannya. Anda mestinya tahu hal ini. Orang saleh itu dilihat dari amal perbuatannya, yaitu ketakwaannya kepada Allah.
Sejak kapan gamis menjadi ukuran kesalehan seseorang? Berarti, secara tidak langsung Anda mengakui bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab yang terkenal memusuhi Rasulullah Saw itu termasuk orang saleh, karena busana mereka berdua semasa hidupnya tidak berbeda dengan busana yang dikenakan Rasulullah Saw. Sebagai bangsa Arab, tentu saja gamis menjadi pakaian keseharian mereka, bukan? Nyatanya, Abu Jahal dan Abu Lahab adalah dua orang kafir Quraisy yang dijanjikan Allah akan menerima siksa api neraka di akhirat kelak.  
Ketahuilah, kami tidak malu bergamis. Di antara kami banyak yang mengenakannya di rumah. Tidak ada larangan dari kiai ataupun guru-guru kami di Gontor untuk memakainya. Hanya saja, padatnya aktivitas di Gontor dengan dinamisasinya, yang perlu Anda saksikan sendiri secara langsung, membuat gamis tidak efektif untuk dipakai sehari-hari. Ketahuilah, kiai kami juga sering mengenakan gamis tiap hari Jum’at lengkap dengan sorban yang menutupi kepalanya. Beliau juga berjenggot. Bahkan, jenggot beliau tampak lebih panjang daripada jenggot Anda. Karena itu, tidak ada alasan mengatakan Gontor dan santri-santrinya membenci orang-orang bergamis dan berjenggot. Sungguh, tuduhannya tidak berdasar sama sekali alias fitnah tanpa bukti.
Terkait jas dan dasi, kami memang sering mengenakannya. Bahkan, santri yang sudah duduk di kelas 5 dan 6 hampir memakainya setiap hari. Pada waktu menyambut tamu, kami berjas dan berdasi. Dalam acara-acara resmi pondok pun demikian. Bahkan, guru-guru kami diwajibkan menggunakan dasi saat mengajar. Santri-santri juga mengenakannya saat mendapat giliran berpidato setiap Kamis dan Ahad. Ya, jas dan dasi memang telah menjadi ciri khas anak-anak Gontor. Kami tidak memungkirinya. Kami sudah terbiasa berpakaian rapi seperti itu sebagaimana arahan kiai dan guru-guru kami.
Di samping itu, dengan membiasakan santri-santri dan guru-guru berjas plus berdasi, Gontor menanamkan kepercayaan diri. Dengan kata lain, sejak dini santri-santri Gontor diajari untuk tidak minder berhadapan dengan orang-orang berjas dan berdasi saat mereka sudah di luar nanti. Kelak, saat mereka tidak mengenakan jas atau dasi sekalipun, rasa percaya diri itu tidak akan hilang. Itu artinya, kami memakainya bukan karena minder peradaban, tapi merupakan salah satu upaya Gontor untuk menumbuhkan kepercayaan diri santri-santrinya.  
Lantas, apakah kami tidak mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan menjadi pengikut orang-orang kafir? Anda tidak bisa menilai keimanan seseorang dari pakaian yang dikenakannya kecuali pakaian yang dipakai itu tidak sesuai syariat Allah. Bukankah pakaian yang kami kenakan sesuai petunjuk al-Qur’an? Yaitu harus menutup aurat. Apakah Anda tidak tahu batasan aurat dalam Islam? Orang-orang kafir dihukumi kafir bukan karena mereka berjas dan berdasi, tapi karena mereka tidak beriman kepada Allah. Apakah Anda juga ingin mengatakan bahwa orang-orang bersarung itu tidak mengikuti gaya berbusana Rasulullah Saw karena beliau tidak pernah mengenakannya sama sekali semasa hidupnya? Terus, mereka mengikuti siapa?
Lucunya, Anda mengaku kagum kepada Presiden Erdogan. Orang yang Anda katakan sebagai contoh Muslim yang cerdas itu juga selalu tampil dengan jas dan dasinya. Sungguh ironis. Anda membenci Gontor karena jas dan dasi, sebaliknya Anda menyukai Erdogan padahal ia juga berjas dan berdasi. Bukankah Presiden Erdogan yang cerdas itu juga patut dikatakan minder peradaban karena ia juga sering mengenakan jas dan dasi? Anda tidak berani menyebut Erdogan demikian?
Anda juga menuduh kami malu memakan makanan Rasulullah Saw. Makanan yang seperti apa? Kurma? Kami sering memakannya. Makanan seperti apa yang Anda maksud itu? Allah dan Rasul-Nya tidak pernah melarang kita memakan apapun selama makanan itu halal dan baik untuk tubuh kita. Apakah karena kami memakan tahu dan tempe yang tidak pernah dimakan Rasulullah Saw, hingga dikatakan kami tidak menyukai makanan beliau? Kami jadi penasaran apa saja yang Anda makan setiap hari.
Orang ini berbicara seakan dialah manusia paling benar di dunia. Ia tidak merasa bahwa kata-katanya itu memperlihatkan kebodohannya sendiri. Entah apa tujuannya memfitnah dan menjelek-jelekkan Gontor beserta santri-santrinya. Semoga ia segera menyadari kekhilafannya dan meminta maaf kepada Gontor dan segenap alumninya. shah wa

Kampung Damai, 12 Desember 2017

AWM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar