Belakangan ini beredar ceramah seorang ustadz yang menghina Gontor.
Di video yang tersebar melalui saluran youtube tersebut, dengan lantang
dia mengatakan bahwa Gontor mengalami minder peradaban. Kiainya, guru-guru, dan
juga santri-santrinya mengikuti gaya hidup orang Barat yang kafir dengan
mengenakan jas dan dasi. Menurutnya, berjas dan berdasi itu kebarat-baratan
alias mengikuti tingkah laku orang-orang kafir Amerika, Inggris, Prancis, dan Jerman.
Seharusnya, menurut dia, orang-orang yang mengaku Muslim itu mengikuti
gaya berbusana Rasulullah Saw. Bagaimana gaya berbusana Rasulullah Saw yang dia
maksud itu? Katanya, kita mesti bergamis seperti beliau karena itu tanda
kesalehan seseorang. Selain menyebut orang-orang Gontor minder peradaban karena
suka berjas dan berdasi, ia juga menuduh Gontor dan santri-santrinya tidak
menyukai saudara Muslim yang memakai gamis dan membenci orang-orang berjenggot.
Sejak kapan kami para santri Gontor diajari membenci orang karena pakaian yang
dia pakai atau dari penampilannya? Terus, dengan alasan apa pula kami membenci
orang-orang yang memelihara jenggotnya?
“.... Tapi di Gontor, mereka... ustadznya, santrinya pakai dasi,
kan? Pakai jas. Jadi, apa? Minder peradaban. Malu memakai busana rasulnya,
gengsi memakan makanan rasulnya. Aneh, kan, Pak? Dikritisi kita berjenggot,
dikritisi kita pakai gamis. Saya bilang, itu busana orang soleh. Jas itu busana
orang-orang kafir di Amerika, Inggris, Prancis, Jerman. Kenapa kita lebih
bangga busana orang kafir daripada busana para nabi? Coba, Pak, coba deh ke
Gontor. Tuh, pesantren di Pasar Rebo sebelah kiri, semua ustadznya berdasi,
berjas. Siswanya semua pakai jas, dasi. Dianggap simbol modern dasi dengan jas.
Betul? Sekarang terbalik, Pak, di Turki. Dulu jas, kembali sekarang pakai
gamis. Coba Bapak lihat, 70 tahun tidak pernah muncul jilbab, sekarang istri
Presiden Turki, Erdogan, malah berjilbab. Tujuh puluh tahun Turki tidak boleh
tentara shalat jamaah, kemari sudah shalat jamaah. Makanya diserang habis oleh
Barat karena Erdogan ini ingin kembali ke al-Qur’an. Itu orang cerdas. Istrinya
berjilbab. Presiden pertama, Pak. Tujuh puluh tahun baru dia muncul. Indonesia?
Tujuh presiden Muslim tidak pernah beristri jilbab, negara Islam terbesar di
dunia...,” demikian kata sang ustadz dalam potongan
video berdurasi satu setengah menit tersebut. Potongan video tersebut menyebar
luas melalui aplikasi WhatsApp (WA).
Ustadz ini harus mampir ke Gontor dulu agar tahu bahwa sejak kelas
satu kami sudah diajari untuk tidak menilai seseorang hanya dari penampilan
luarnya. Kami tahu bunyi hadisnya. Bahkan, kami disuruh menghafalnya dan
mengamalkannya. Kami juga belajar mahfuzat tentang itu. Kesalehan
seseorang tidak dilihat dari pakaiannya. Anda mestinya tahu hal ini. Orang
saleh itu dilihat dari amal perbuatannya, yaitu ketakwaannya kepada Allah.
Sejak kapan gamis menjadi ukuran kesalehan seseorang? Berarti,
secara tidak langsung Anda mengakui bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab yang terkenal
memusuhi Rasulullah Saw itu termasuk orang saleh, karena busana mereka berdua
semasa hidupnya tidak berbeda dengan busana yang dikenakan Rasulullah Saw.
Sebagai bangsa Arab, tentu saja gamis menjadi pakaian keseharian mereka, bukan?
Nyatanya, Abu Jahal dan Abu Lahab adalah dua orang kafir Quraisy yang
dijanjikan Allah akan menerima siksa api neraka di akhirat kelak.
Ketahuilah, kami tidak malu bergamis. Di antara kami banyak yang mengenakannya
di rumah. Tidak ada larangan dari kiai ataupun guru-guru kami di Gontor untuk
memakainya. Hanya saja, padatnya aktivitas di Gontor dengan dinamisasinya, yang
perlu Anda saksikan sendiri secara langsung, membuat gamis tidak efektif untuk
dipakai sehari-hari. Ketahuilah, kiai kami juga sering mengenakan gamis tiap
hari Jum’at lengkap dengan sorban yang menutupi kepalanya. Beliau juga
berjenggot. Bahkan, jenggot beliau tampak lebih panjang daripada jenggot Anda. Karena
itu, tidak ada alasan mengatakan Gontor dan santri-santrinya membenci
orang-orang bergamis dan berjenggot. Sungguh, tuduhannya tidak berdasar sama sekali
alias fitnah tanpa bukti.
Terkait jas dan dasi, kami memang sering mengenakannya. Bahkan,
santri yang sudah duduk di kelas 5 dan 6 hampir memakainya setiap hari. Pada waktu
menyambut tamu, kami berjas dan berdasi. Dalam acara-acara resmi pondok pun
demikian. Bahkan, guru-guru kami diwajibkan menggunakan dasi saat mengajar. Santri-santri
juga mengenakannya saat mendapat giliran berpidato setiap Kamis dan Ahad. Ya, jas
dan dasi memang telah menjadi ciri khas anak-anak Gontor. Kami tidak
memungkirinya. Kami sudah terbiasa berpakaian rapi seperti itu sebagaimana
arahan kiai dan guru-guru kami.
Di samping itu, dengan membiasakan santri-santri dan guru-guru
berjas plus berdasi, Gontor menanamkan kepercayaan diri. Dengan kata lain,
sejak dini santri-santri Gontor diajari untuk tidak minder berhadapan dengan
orang-orang berjas dan berdasi saat mereka sudah di luar nanti. Kelak, saat
mereka tidak mengenakan jas atau dasi sekalipun, rasa percaya diri itu tidak
akan hilang. Itu artinya, kami memakainya bukan karena minder peradaban, tapi merupakan
salah satu upaya Gontor untuk menumbuhkan kepercayaan diri santri-santrinya.
Lantas, apakah kami tidak mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan
menjadi pengikut orang-orang kafir? Anda tidak bisa menilai keimanan seseorang
dari pakaian yang dikenakannya kecuali pakaian yang dipakai itu tidak sesuai
syariat Allah. Bukankah pakaian yang kami kenakan sesuai petunjuk al-Qur’an?
Yaitu harus menutup aurat. Apakah Anda tidak tahu batasan aurat dalam Islam?
Orang-orang kafir dihukumi kafir bukan karena mereka berjas dan berdasi, tapi
karena mereka tidak beriman kepada Allah. Apakah Anda juga ingin mengatakan
bahwa orang-orang bersarung itu tidak mengikuti gaya berbusana Rasulullah Saw
karena beliau tidak pernah mengenakannya sama sekali semasa hidupnya? Terus,
mereka mengikuti siapa?
Lucunya, Anda mengaku kagum kepada Presiden Erdogan. Orang yang
Anda katakan sebagai contoh Muslim yang cerdas itu juga selalu tampil dengan
jas dan dasinya. Sungguh ironis. Anda membenci Gontor karena jas dan dasi,
sebaliknya Anda menyukai Erdogan padahal ia juga berjas dan berdasi. Bukankah Presiden
Erdogan yang cerdas itu juga patut dikatakan minder peradaban karena ia juga
sering mengenakan jas dan dasi? Anda tidak berani menyebut Erdogan demikian?
Anda juga menuduh kami malu memakan makanan Rasulullah Saw. Makanan
yang seperti apa? Kurma? Kami sering memakannya. Makanan seperti apa yang Anda
maksud itu? Allah dan Rasul-Nya tidak pernah melarang kita memakan apapun
selama makanan itu halal dan baik untuk tubuh kita. Apakah karena kami memakan
tahu dan tempe yang tidak pernah dimakan Rasulullah Saw, hingga dikatakan kami
tidak menyukai makanan beliau? Kami jadi penasaran apa saja yang Anda makan
setiap hari.
Orang ini berbicara seakan dialah manusia paling benar di dunia. Ia
tidak merasa bahwa kata-katanya itu memperlihatkan kebodohannya sendiri. Entah
apa tujuannya memfitnah dan menjelek-jelekkan Gontor beserta santri-santrinya. Semoga
ia segera menyadari kekhilafannya dan meminta maaf kepada Gontor dan segenap
alumninya. shah wa
Kampung Damai, 12 Desember 2017
AWM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar