Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Selasa, 05 Desember 2017

Ridwan Chesae

Namanya Ridwan Chesae. Dia anak Thailand, asli Thailand. Dia menyebut tempat tinggalnya Phattani. Katanya, di daerah itu penduduknya mayoritas beragama Islam. Kami semua tahu bahwa negara yang banyak gajahnya ini dihuni mayoritas orang-orang Budha. Muslim merupakan penduduk minoritas di sana. Menurut banyak cerita, umat Islam sering mengalami diskriminasi di Thailand. Nah, sebagian besar umat Islam yang minoritas itu tinggal di Phattani tempat Ridwan berasal.
Aku mengenal Ridwan sejak kelas satu intensif di Gontor. Kami teman sekelas. Waktu itu, ada dua orang anak Thailand di kelas. Selain Ridwan, ada Makding. Aku lupa nama lengkapnya. Rasanya, namanya cuma satu kata, Makding. Kata Ridwan, Makding sudah lama meninggal karena sakit. Sejak lulus KMI, aku tidak pernah bertemu Makding lagi. Ia pulang ke Thailand hingga akhir usianya. Sedangkan Ridwan meneruskan pengabdiannya di Gontor hingga selesai sarjana.
Selama menjalani pengabdiannya di Gontor, Ridwan diberi amanah menjadi pembimbing santri-santri yang berasal dari luar negeri. Banyak suka dan duka yang ia alami selama membimbing mereka. Ia pernah bercerita harus mengganti denda visa santri-santri yang melewati batas tinggal karena belum terurus. Ia menggunakan uangnya sendiri. Jumlahnya tidaklah sedikit. Ridwan begitu ikhlas menjalaninya.
Ia seakan mengerti arti pengorbanan. Tidak banyak yang tahu tentang ini. Bahkan, kiai pun tidak tahu si Ridwan lebih banyak merogoh kantongnya untuk santri-santri yang dibimbingnya. Aku tahu ia mendapatkan banyak ilmu dan pelajaran hidup dari situ yang tidak didapatkan orang lain. Pengalamannya itu sebanding dengan pengorbanan yang ia lakukan. Pengorbanannya tidaklah sia-sia. Jika ia tidak menyadarinya sekarang, maka waktu akan memberitahunya kelak.
Kini, ia telah menikah. Beberapa bulan yang lalu ia pamit pulang ke Thailand menemui pujaan hati yang dipilih orang tuanya. Aku tahu ia pasti akan merindukan Gontor, merindukan kami, dan merindukan Indonesia yang sudah seperti negaranya sendiri. Bahkan, ia sempat berniat menikah dengan orang Indonesia. Tapi, orang tuanya keberatan. Ia diminta menikah dengan orang Thailand saja. Ridwan pun mengiyakan.
Jika kami menyebut Ridwan Chesae, kami teringat satu hal unik tentangnya. Sebanyak apapun uang yang ia miliki, ia tetap setia menggunakan telepon genggam biasa. Entah apa alasannya hingga ia tak mau menggunakan android alias telepon pintar anak zaman sekarang. Ia lebih suka menelepon kami menggunakan pulsanya daripada membeli telepon baru dan memasang aplikasi WhatsApp (WA). Ia pun rela ketinggalan berita-berita di grup-grup WA. Sampai sekarang ia masih setia dengan telepon jadulnya hingga foto-foto pernikahannya pun betapa sulit didapatkan. Jika ada orang yang tidak tertarik pada kecanggihan aplikasi-aplikasi telepon pintar, dialah Ridwan Chesae. shah wa

Kampung Damai, 5 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar