Beberapa hari yang lalu kami mendapatkan kisah menarik dari seorang
wali santri dari Pontianak. Ia menyempatkan diri menjemput putrinya yang akan
berlibur selama 10 hari di rumah, setelah menjadi santri selama kurang lebih
empat atau lima bulan di Gontor Putri. Ia penasaran dengan perkembangan
putrinya selama satu semester belajar di Gontor. Seperti apakah perubahannya?
Si putri yang tengah duduk di kelas 1 KMI Gontor Putri 2 Mantingan itu
langsung dijemput di pondoknya. Selama mengurus proses perpulangannya, si Bapak
memperhatikan putri kecilnya yang sebaya anak kelas 1 SMP itu. Ia menyadari
beberapa perubahan pada anaknya.
Pertama, kini putrinya suka bercerita. Banyak cerita yang ia
sampaikan kepada orang tuanya, tentang temannya, tentang kakak kelasnya (ukhti),
serta tentang aneka prestasi yang telah ia dapat. Namun, di antara aneka cerita
itu, yang paling dominan adalah cerita tentang “himar” dan “iqab”,
yaitu cerita tentang hukuman yang diterima oleh teman-temannya karena telah
melanggar peraturan.
Kedua, intonasi suaranya rendah. Kalau berbicara suaranya pelan.
Jauh lebih pelan daripada sebelum ia mondok. Seringkali, bahkan nyaris
tak terdengar. Mungkin karena di pondok banyak mata-mata bahasa, ya, jadi anak-anak
terbiasa berbicara dengan bisik-bisik. Soalnya, kalau sampai ketahuan tidak
menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris sesuai dengan jadwal waktunya,
pasti dapat hukuman.
Ketiga, ia rajin bawa barang sendiri. Dulu, kalau sedang travelling
barang-barangnya selalu minta dibawakan. Kali ini, semua barang ditenteng
sendiri. Ini mungkin akibat pada saat mondok sudah terbiasa bawa ember
sama centong mandi sendiri, ya.
Keempat, ia bercerita tentang cita-cita. Katanya ingin jadi ketua
kelas, ingin jadi penulis, ingin kuliah di Oxford, dan sebagainya. Mantap
sekali anak SMP Gontor ini, kata si Bapak dalam hatinya.
Kelima, ia suka membaca buku. Ini yang paling membuatnya orang
tuanya bangga. Dulu, kalau sedang menunggu sesuatu, gadget selalu berada
dalam pegangan. Sekarang tidak lagi. Sekarang pegangannya buku. Lalu isi
bukunya diceritakan kepada orang tuanya.
Begitulah kisah sederhana dari seorang wali santri yang begitu
bangga putrinya belajar di Gontor. Itu baru empat atau lima bulan. Tunggulah beberapa
bulan lagi hingga ia lulus, maka kisahnya akan semakin panjang. shah wa
Kampung Damai, 5 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar