Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Selasa, 05 Desember 2017

Kisah Santri: Setelah 4 Bulan “Nyantri” di Gontor

Beberapa hari yang lalu kami mendapatkan kisah menarik dari seorang wali santri dari Pontianak. Ia menyempatkan diri menjemput putrinya yang akan berlibur selama 10 hari di rumah, setelah menjadi santri selama kurang lebih empat atau lima bulan di Gontor Putri. Ia penasaran dengan perkembangan putrinya selama satu semester belajar di Gontor. Seperti apakah perubahannya?
Si putri yang tengah duduk di kelas 1 KMI Gontor Putri 2 Mantingan itu langsung dijemput di pondoknya. Selama mengurus proses perpulangannya, si Bapak memperhatikan putri kecilnya yang sebaya anak kelas 1 SMP itu. Ia menyadari beberapa perubahan pada anaknya.
Pertama, kini putrinya suka bercerita. Banyak cerita yang ia sampaikan kepada orang tuanya, tentang temannya, tentang kakak kelasnya (ukhti), serta tentang aneka prestasi yang telah ia dapat. Namun, di antara aneka cerita itu, yang paling dominan adalah cerita tentang “himar” dan “iqab”, yaitu cerita tentang hukuman yang diterima oleh teman-temannya karena telah melanggar peraturan.
Kedua, intonasi suaranya rendah. Kalau berbicara suaranya pelan. Jauh lebih pelan daripada sebelum ia mondok. Seringkali, bahkan nyaris tak terdengar. Mungkin karena di pondok banyak mata-mata bahasa, ya, jadi anak-anak terbiasa berbicara dengan bisik-bisik. Soalnya, kalau sampai ketahuan tidak menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris sesuai dengan jadwal waktunya, pasti dapat hukuman.
Ketiga, ia rajin bawa barang sendiri. Dulu, kalau sedang travelling barang-barangnya selalu minta dibawakan. Kali ini, semua barang ditenteng sendiri. Ini mungkin akibat pada saat mondok sudah terbiasa bawa ember sama centong mandi sendiri, ya.
Keempat, ia bercerita tentang cita-cita. Katanya ingin jadi ketua kelas, ingin jadi penulis, ingin kuliah di Oxford, dan sebagainya. Mantap sekali anak SMP Gontor ini, kata si Bapak dalam hatinya.
Kelima, ia suka membaca buku. Ini yang paling membuatnya orang tuanya bangga. Dulu, kalau sedang menunggu sesuatu, gadget selalu berada dalam pegangan. Sekarang tidak lagi. Sekarang pegangannya buku. Lalu isi bukunya diceritakan kepada orang tuanya.
Begitulah kisah sederhana dari seorang wali santri yang begitu bangga putrinya belajar di Gontor. Itu baru empat atau lima bulan. Tunggulah beberapa bulan lagi hingga ia lulus, maka kisahnya akan semakin panjang. shah wa

Kampung Damai, 5 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar