Ada sekian banyak orang yang tertarik menonton
sepakbola gara-gara Pep Guardiola. Aku adalah salah satunya. Sejujurnya,
sebelum mengenal Barcelona di bawah asuhan pelatih berkebangsaan Spanyol
tersebut, aku tidak tertarik sama sekali dengan sepakbola. Aku sering berkata
di dalam hati apa serunya sepakbola ketika orang-orang di sekitarku
bercerita dengan penuh semangat tentang kehebatan klub sepakbola kesayangan
mereka yang baru saja menjuarai kompetisi.
Saat itu, aku merasa pertandingan sepakbola
tampak membosankan sama seperti menonton pertandingan tinju. Tidak ada serunya,
apalagi kalau hasilnya seri dengan skor kacamat alias 0-0. Benar-benar
membosankan melihat orang-orang berlarian di atas lapangan berebut bola kayak
rebutan permen. Baru menyentuh bola beberapa kali direbut lagi. Terus, belum
sempat menendang bola ke gawang lawan, bola udah berbalik arah ke gawang
sendiri, atau bola ditendang ke luar lapangan.
Namun, sejak tahun 2009, pandanganku tentang
sepakbola berubah total. Pada tahun itu, final Liga Champion mempertemukan klub
Inggris dan klub Spanyol, yaitu Manchester United dan Barcelona di Roma.
Awalnya, aku tidak mengerti kompetisi apa itu. Aku juga tidak tahu menahu
tentang Manchester United atau Barcelona, hanya sekadar tahu kalau keduanya
adalah dua klub sepakbola terkenal di Eropa. Nah, ada dua senior kami di
panitia ujian yang tiap hari berdebat tentang kehebatan United atau kehebatan
Barcelona yang satu per satu mengalahkan lawannya untuk sampai ke final. Ustadz
Riki mendukung United, sedangkan Ustadz Miftah mendukung Barcelona. Keduanya
bisa dikatakan fans fanatik klubnya masing-masing dan menjagokan timnya menjadi
juara Liga Champion tahun itu.
Lama kelamaan, seru juga mengikuti perdebatan
Ustadz Miftah dan Ustadz Riki. Aku jadi penasaran mana yang lebih hebat antara
United dan Barcelona. Siapa yang akhir menepuk dada setelah kompetisi Liga
Champion itu usai? Apakah Ustadz Miftah ataukah Ustadz Riki. Aku benar-benar
ingin mengetahuinya. Sayang seribu sayang, perdebatan di kamar panitia ujian
itu tak bisa kuikuti hingga akhir karena kepanitiaan kami berakhir sebelum laga
final digelar. Kami pun berpisah pulang ke kamar masing-masing karena
tugas-tugas panitia ujian sudah selesai dilaksanakan.
Aku sempat melupakan rencana mengikuti nasib
kedua kesebelasan yang akan bertanding di final Liga Champion tersebut.
Pasalnya, seminggu setelah tugas-tugas kepanitiaan kami rampungkan, aku
diangkat menjadi Sekretaris Pimpinan. Aku pindah kamar dari Majalah Himmah di
Gedung Sudan ke Gedung Madrasah, kamarnya para Sekretaris Pimpinan Pondok.
Ternyata, orang-orang di Gedung Madrasah ini penggemar sepakbola semua. Salah
satunya Ustadz Faqih Helmi yang mengidolakan Barcelona. Di gedung baru ini pula
aku bertemu kembali dengan Ustadz Riki, rivalnya Ustadz Miftah waktu di panitia
ujian.
Saat final Liga Champion tiba, kami menonton
pertandingan Barcelona vs Manchester United bersama-sama. Kebetulan Gedung
Madrasah mempunyai televisi. Aku ikut menonton bukan karena sudah menyukai
sepakbola, tapi hanya ingin tahu siapa yang akan menang. Jadi, waktu itu aku
belum mendukung siapa-siapa alias netral. Ustadz Faqih Helmi satu-satunya
pendukung Barcelona waktu itu. Sedangkan United tidak hanya didukung Ustadz
Riki, tapi juga didukung sejumlah anggota Gedung Madrasah lainnya. Kasihan
Ustadz Faqih Helmi sendirian menjagokan klubnya. Aku bersimpati dan sok ikutan
mendukung Barcelona padahal belum mengerti apa-apa tentang persepakbolaan.
Pertandingannya berjalan seru. Barcelona
bermain sangat baik, tapi United juga tidak kalah baiknya. Hanya saja,
Barcelona terlihat lebih kompak. Mereka bermain dengan penuh irama yang membuat
pertandingan itu begitu indah disaksikan dan enak ditonton. Ketika itu, Aku
belum paham kalau pelatih Barcelona adalah Pep Guardiola yang baru saja
direkrut pada awal musim lalu.
Menariknya, Guardiola bukanlah pelatih
berpengalaman yang sudah melatih klub besar selama bertahun-tahun layaknya Sir
Alex Ferguson si pelatih Manchester United yang tengah dihadapinya. Pep hanya
sempat melatih tim junior Barcelona sebelum diangkat menjadi pelatih kepala
menggantikan Frank Rijkard. Walaupun masih dianggap anak bawang, Pep nyatanya
berhasil membawa Barcelona ke final Liga Champion setelah menjuarai Liga
Spanyol dan Copa Del Rey. Hebatnya lagi, pada pertandingan final tersebut,
United seperti klub kecil yang tengah diajari anak-anak asuh Pep. Akhirnya,
Barcelona pun menang dengan skor 2-0. Dengan kemenangan itu, mereka masuk
jajaran klub elit peraih predikat treble winner.
Dengan menangnya Barcelona, Ustadz Riki dan
para pendukung United lainnya hanya bisa gigit jari. Sedangkan Ustadz Faqih
Helmi bersorak kegirangan. Aku ikut merasakan momen bahagia itu. Tidak ada rasa
bosan waktu menyaksikan pertandingan final kemarin. Aku melihat keindahan
permainan Barcelona. Mereka menang dengan penuh gaya, yaitu menguasai bola,
bekerjasama membangun serangan, kompak menghalau bola dari daerah sendiri, dan
yang terpenting mereka mencetak gol dengan skema serangan yang begitu apik dan
memukau.
Sejak itulah aku mulai tertarik pada sepakbola,
khususnya klub dari Spanyol pemenang treble winner waktu itu, Barcelona.
Berita-berita tentangnya kugali sedalam-dalamnya hingga aku mengetahui adanya
akademi sepakbola mereka yang bernama La Masia, tempat terasahnya bakat
sepakbola seorang Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan Lionel Messi. Ternyata,
untuk meraih prestasi hebat itu, Barcelona sudah memulainya sejak lama. Mereka
tidak mendapatkannya secara instan, tapi melalui proses panjang.
Sejak ditangani Pep Guardiola, Barcelona
memperlihatkan identitasnya. Sebagai pemain Barcelona tahun 90-an, Pep memahami
dengan baik filosofi klubnya itu sebagaimana yang ditanamkan pelatihnya dahulu,
Johan Cruyf. Klub yang adibangun dengan filosofi cara bertahan yang baik
adalah menyerang, diadopsi dari gaya total football milik timnas
Belanda. Para pemainnya diinstruksikan untuk menyerang bersama dan bertahan
bersama. Kebersamaan dan kekompakan menjadi ciri khas gaya permainan ini. Cruyf
menerapkannya di Barcelona. Pelan tapi pasti, filosofi total football itu
disempurnakan Pep Guardiola, muridnya Cruyf, menjadi tiki-taka.
Gaya tiki-taka tidak jauh berbeda dengan
total football yang mengagungkan penguasaan bola dan menyerang total.
Hanya saja, permainan tiki-taka lebih taktis dengan umpan satu-duanya.
Penyerangannya juga lebih rapi dan terkoordinasi dengan baik sehingga membuat
lawan-lawan seakan terkesima saat bertanding melawan Barcelona. Akibatnya,
gawang mereka dibobol dengan skor yang mencengangkan pula. Real Madrid saja
pernah dibobol lima gol tanpa balas oleh pasukan Pep Guardiola. Hebat, kan?
Tiki-taka pun
mendunia, terutama setelah Barcelona menjuarai Liga Champion di tahun 2009 itu.
Guardiola pun tak lepas dari pemberitaan media. Karirnya melejit drastis. Ia
mendapatkan pujian dari berbagai pihak, termasuk Sir Alex Ferguson yang
merasakan pahitnya dikalahkan Barcelona dengan tiki-taka mereka di final
Liga Champion.
Petualangan Pep tidak berhenti di Spanyol saja.
Ia berhasil pula menaklukkan Jerman dengan menukangi Bayern Munchen. Taktik dan
ramuannya makin hebat. Kejeniusannya sebagai pelatih makin terasah. Manchester
City pun menjadi klub yang beruntung mendapatkannya kemudian. Saat ini, di
bawah arahannya, City berada di puncak klasemen. Mereka baru saja mengalahkan
musuh bebuyutan sekaligus peringkat kedua di klasemen sementara Liga Inggris,
Manchester United, di Old Trafford. Sehingga, jarak mereka melebar menjadi 11
poin yang memperbesar peluang City menjuarai Liga Inggris musim 2017/2018. shah
wa
Kampung Damai, 12 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar