Ada kisah menarik di Jintap terkait dua organisasi masyarakat yang
memegang kendali di sana, yaitu Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah. Kisah ini
baru saja kudapatkan dari salah seorang tokohnya sekaligus penggerak Desa
Jintap. Namanya Pak Fajar. Memang, ia sudah tidak berdomisili di tanah
kelahirannya itu lagi sejak tahun 1985, namun perkembangan desa yang berada di
Kecamatan Jetis Ponorogo tersebut selalu menjadi perhatiannya. Apalagi, bisa
dikatakan, Jintap adalah warisan almarhum ayahnya.
Desa Jintap memang tampak berbeda dengan desa-desa di
sekelilingnya. Mungkin, Jintap satu-satunya desa di Kecamatan Jetis yang sangat
serius menghilangkan segala macam tradisi masyarakat berbau bid‘ah dan
khurafat. Masyarakatnya dituntun dengan ketat untuk hidup sesuai al-Qur’an dan
Sunnah. Hal itu tampak dalam setiap praktik ibadah dan isi ceramah yang
disampaikan di masjid. Mengenai hal ini, kita mungkin tidak begitu terkejut
karena itu tidak terlepas dari adanya peran Muhammadiyah dan SI di sana.
Ada sebuah masjid yang menjadi titik temu kisah hubungan antara
Muhammadiyah dan SI di Jintap, yaitu Masjid Baiturrohmah. Masjid ini dibangun
oleh keluarga besar Pak Fajar atau atas inisiatif ayahnya yang merupakan
seorang tokoh besar Muhammadiyah di Desa Jintap. Selanjutnya, masjid tersebut
menjadi tempat sentral untuk mendidik masyarakat Jintap. Karena dibangun oleh
tokoh Muhammadiyah, maka masjid tersebut dikelola orang-orang Muhammadiyah.
Walaupun demikian, orang-orang SI juga dilibatkan dalam kegiatan masjid.
Sehingga, keharmonisan antara kedua organisasi masyarakat tersebut pun terjaga
dengan baik.
Akan tetapi, situasi politik sedikit mengacaukan hubungan kedua
organisasi ini. Kita semua tahu bahwa Muhammadiyah pasti berafiliasi ke Partai
Amanat Nasional alias PAN. Sedangkan SI berafiliasi ke Parta Keadilan Sejahtera
atau PKS. Kedua partai ini memiliki pandangan politik yang berbeda beberapa
tahun belakangan, khususnya sejak pilpres terakhir.
Menurut Pak Fajar, hal itu tidak terlepas dari sikap para petinggi
PAN yang plin-plan dalam menentukan kebijakan politiknya. Sementara PKS begitu
tegas dalam bersikap, memilih A atau B. Pilihan PKS jelas dan konsisten. Jika
sudah memilih A, maka A itulah pilihan yang harus diperjuangkan oleh PKS dan
kader-kadernya hingga akhir.
Karena inkonsistensi PAN, Pak Fajar memilih PKS untuk tempat
berjuang walaupun ia terlahir dari rahim Muhammadiyah. Di samping ketegasan
partai ini dalam menentukan sikap, Pak Fajar juga melihat militansi
kader-kadernya. Sayangnya, ketokohannya di Muhammadiyah harus dikorbankan
karena keterlibatannya di PKS. Ia didepak dari Muhammadiyah. Ia akhirnya terjun
secara total di PKS, bukan hanya di Jintap, tapi perannya mencakup seluruh
wilayah Jawa Timur.
Keterlibatannya di PKS sangat menguntungkan kader-kader SI di
Jintap yang memang menghuni partai binaan Hidayat Nur Wahid tersebut. Bisa
dibilang, tangan Pak Fajar mampu menyulap kader-kader SI di PKS menjadi
berkualitas. Sementara kader-kader Muhammadiyah Jintap mengalami kemandegan.
Walaupun Muhammadiyah berperan dalam pembangunan masjid dan mushalla di Jintap,
termasuk beberapa sekolah, tapi kader mereka tidak ada yang mumpuni untuk
mengelolanya. Maka, turunlah kader-kader SI untuk mengisi masjid, mushalla, dan
sekolah-sekolah yang sebenarnya didirikan Muhammadiyah.
Fenomena ini sangat tampak terjadi di Masjid Baiturrohmah, masjid
kebanggaan warga Jintap tersebut. Muhammadiyah kehilangan tokoh-tokohnya,
terutama setelah orang tua Pak Fajar meninggal. Mereka tidak punya kader yang
layak untuk memimpin masjid itu. Karena itulah, kader SI turun tangan.
Sayangnya, kader SI yang mengambil alih pengelolaan masjid tersebut kurang
akomodatif. Kepengurusan masjid itu pun sepenuhnya milik orang-orang SI.
Orang-orang Muhammadiyah harus rela tidak mendapat posisi.
Inilah yang sangat disayangkan Pak Fajar. Sebagai orang
Muhammadiyah dan putra seorang tokoh Muhammadiyah, sekaligus pendiri Masjid
Baiturrohmah, ia merasa sedih. Seharusnya tidak terjadi demikian. Orang-orang
SI yang ia didik itu mestinya tetap melibatkan orang-orang Muhammadiyah dalam
kepengurusan masjidnya. Namun, pimpinan SI saat ini seakan ingin mendominasi
pengaruh di Jintap, sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan bagi orang
Muhammadiyah.
Langkah kader-kader SI itu sudah terlampau jauh untuk dikendalikan
Pak Fajar. Ia hanya bisa menunggu kesadaran mereka untuk mulai memahami situasi
dan kondisi masyarakat Jintap. Setidaknya, mereka tahu bahwa saudara mereka
dari kalangan Muhammadiyah juga memiliki hak yang sama. Hanya saja, kader-kader
Muhammadiyah saat ini memang tidak sebaik kader-kader SI yang punya kualitas
tinggi. shah wa
Kampung Damai, 26 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar