Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Rabu, 27 Desember 2017

Kisah SI dan Muhammadiyah di Jintap

Ada kisah menarik di Jintap terkait dua organisasi masyarakat yang memegang kendali di sana, yaitu Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah. Kisah ini baru saja kudapatkan dari salah seorang tokohnya sekaligus penggerak Desa Jintap. Namanya Pak Fajar. Memang, ia sudah tidak berdomisili di tanah kelahirannya itu lagi sejak tahun 1985, namun perkembangan desa yang berada di Kecamatan Jetis Ponorogo tersebut selalu menjadi perhatiannya. Apalagi, bisa dikatakan, Jintap adalah warisan almarhum ayahnya.
Desa Jintap memang tampak berbeda dengan desa-desa di sekelilingnya. Mungkin, Jintap satu-satunya desa di Kecamatan Jetis yang sangat serius menghilangkan segala macam tradisi masyarakat berbau bid‘ah dan khurafat. Masyarakatnya dituntun dengan ketat untuk hidup sesuai al-Qur’an dan Sunnah. Hal itu tampak dalam setiap praktik ibadah dan isi ceramah yang disampaikan di masjid. Mengenai hal ini, kita mungkin tidak begitu terkejut karena itu tidak terlepas dari adanya peran Muhammadiyah dan SI di sana.
Ada sebuah masjid yang menjadi titik temu kisah hubungan antara Muhammadiyah dan SI di Jintap, yaitu Masjid Baiturrohmah. Masjid ini dibangun oleh keluarga besar Pak Fajar atau atas inisiatif ayahnya yang merupakan seorang tokoh besar Muhammadiyah di Desa Jintap. Selanjutnya, masjid tersebut menjadi tempat sentral untuk mendidik masyarakat Jintap. Karena dibangun oleh tokoh Muhammadiyah, maka masjid tersebut dikelola orang-orang Muhammadiyah. Walaupun demikian, orang-orang SI juga dilibatkan dalam kegiatan masjid. Sehingga, keharmonisan antara kedua organisasi masyarakat tersebut pun terjaga dengan baik.
Akan tetapi, situasi politik sedikit mengacaukan hubungan kedua organisasi ini. Kita semua tahu bahwa Muhammadiyah pasti berafiliasi ke Partai Amanat Nasional alias PAN. Sedangkan SI berafiliasi ke Parta Keadilan Sejahtera atau PKS. Kedua partai ini memiliki pandangan politik yang berbeda beberapa tahun belakangan, khususnya sejak pilpres terakhir.
Menurut Pak Fajar, hal itu tidak terlepas dari sikap para petinggi PAN yang plin-plan dalam menentukan kebijakan politiknya. Sementara PKS begitu tegas dalam bersikap, memilih A atau B. Pilihan PKS jelas dan konsisten. Jika sudah memilih A, maka A itulah pilihan yang harus diperjuangkan oleh PKS dan kader-kadernya hingga akhir.
Karena inkonsistensi PAN, Pak Fajar memilih PKS untuk tempat berjuang walaupun ia terlahir dari rahim Muhammadiyah. Di samping ketegasan partai ini dalam menentukan sikap, Pak Fajar juga melihat militansi kader-kadernya. Sayangnya, ketokohannya di Muhammadiyah harus dikorbankan karena keterlibatannya di PKS. Ia didepak dari Muhammadiyah. Ia akhirnya terjun secara total di PKS, bukan hanya di Jintap, tapi perannya mencakup seluruh wilayah Jawa Timur.
Keterlibatannya di PKS sangat menguntungkan kader-kader SI di Jintap yang memang menghuni partai binaan Hidayat Nur Wahid tersebut. Bisa dibilang, tangan Pak Fajar mampu menyulap kader-kader SI di PKS menjadi berkualitas. Sementara kader-kader Muhammadiyah Jintap mengalami kemandegan. Walaupun Muhammadiyah berperan dalam pembangunan masjid dan mushalla di Jintap, termasuk beberapa sekolah, tapi kader mereka tidak ada yang mumpuni untuk mengelolanya. Maka, turunlah kader-kader SI untuk mengisi masjid, mushalla, dan sekolah-sekolah yang sebenarnya didirikan Muhammadiyah.
Fenomena ini sangat tampak terjadi di Masjid Baiturrohmah, masjid kebanggaan warga Jintap tersebut. Muhammadiyah kehilangan tokoh-tokohnya, terutama setelah orang tua Pak Fajar meninggal. Mereka tidak punya kader yang layak untuk memimpin masjid itu. Karena itulah, kader SI turun tangan. Sayangnya, kader SI yang mengambil alih pengelolaan masjid tersebut kurang akomodatif. Kepengurusan masjid itu pun sepenuhnya milik orang-orang SI. Orang-orang Muhammadiyah harus rela tidak mendapat posisi.
Inilah yang sangat disayangkan Pak Fajar. Sebagai orang Muhammadiyah dan putra seorang tokoh Muhammadiyah, sekaligus pendiri Masjid Baiturrohmah, ia merasa sedih. Seharusnya tidak terjadi demikian. Orang-orang SI yang ia didik itu mestinya tetap melibatkan orang-orang Muhammadiyah dalam kepengurusan masjidnya. Namun, pimpinan SI saat ini seakan ingin mendominasi pengaruh di Jintap, sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan bagi orang Muhammadiyah.
Langkah kader-kader SI itu sudah terlampau jauh untuk dikendalikan Pak Fajar. Ia hanya bisa menunggu kesadaran mereka untuk mulai memahami situasi dan kondisi masyarakat Jintap. Setidaknya, mereka tahu bahwa saudara mereka dari kalangan Muhammadiyah juga memiliki hak yang sama. Hanya saja, kader-kader Muhammadiyah saat ini memang tidak sebaik kader-kader SI yang punya kualitas tinggi. shah wa

Kampung Damai, 26 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar