Beberapa hari lalu, Selasa (4/4), Parlemen Eropa mengajukan sebuah
resolusi pelarangan sawit yang kemudian disahkan melalui pemungutan suara pada
sesi pleno di Strasbourg. Tindakan ini disinyalir oleh para pengamat akibat
produsen minyak jenis soft oils di Eropa tidak bisa bersaing dengan
minyak sawit yang dihasilkan negara penghasil sawit seperti Indonesia.
Resolusi ini tentu saja berdampak buruk terhadap para petani sawit,
khususnya di Indonesia. Karena itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik
Indonesia memberikan tanggapan serius terhadap resolusi sawit ini. Tentu saja,
sebagai produsen minyak sawit terbesar, Indonesia seakan dilecehkan dengan
resolusi tersebut.
Ada beberapa tanggapan yang disampaikan pemerintah Indonesia
melalui Kemenlu RI sebagaimana tercantum di website resminya kemlu.co.id.
Pemerintah Indonesia merasa mendapat perlakuan diskriminatif dari Parlemen
Eropa. Padahal, Eropa berstatus sebagai champion of open, rules based free,
and fair trade. Seharusnya, tidak ada pelarangan perdagangan minyak
kelapa sawit di Eropa. Jika resolusi tersebut diberlakukan, artinya Eropa telah melanggar
aturan sendiri.
Selain itu, tuduhan terhadap sawit sebagai penyebab utama
deforestasi atau penebangan hutan juga tidak sepenuhnya benar. Menurut Kemenlu
RI, berdasarkan hasil kajian Komisi Eropa tahun 2013, penyebab terbesar
deforestasi berasal dari sektor peternakan, bukan dari pembukaan lahan kelapa
sawit.
Di samping itu, Eropa juga mencoba mengingkari peran minyak sawit
dalam mengatasi permasalahan emisi gas rumah kaca. Kemenlu RI menegaskan bahwa
minyak sawit menjadi bagian dari solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
dan berkontribusi positif pada peningkatan permintaan global biofuel sebagai
pengganti bahan bakar fosil. Itu artinya minyak sawit sangat dibutuhkan oleh
dunia. Tapi, kenapa produksinya tidak didukung Uni Eropa?
Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan, Siti Nurbaya, menyayangkan
adanya resolusi sawit tersebut. Ia menyatakan segala alasan Parlemen Eropa di
dalam resolusi tidak berdasarkan fakta yang sebenarnya. Lebih dari itu,
resolusi ini jelas-jelas merupakan bentuk penghinaan terhadap Indonesia.
Maka, pemerintah Indonesia merasa perlu mempertanyakan resolusi
ini, bahkan kalau bisa ditarik kembali atau dicabut. shah wa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar