Hampir seminggu yang lalu terjadi gempa berskala cukup besar di
daerah Jawa Barat dan Yogyakarta. Ada yang mengatakan bahwa gempa itu
berkekuatan 7,5 SR. Ada juga yang mengatakan kekuatannya hanya berkisar pada
4,5 SR. Kami yang berada cukup jauh di Ponorogo, Jawa Timur, ikut merasakan
getarannya. Gempa itu terjadi sekitar pukul 24.00 WIB, saat orang-orang sudah
terlelap dalam tidur nyenyak mereka.
Menurut kabar, gempa yang cukup besar itu membuat beberapa rumah
warga di daerah Tasikmalaya dan Garut roboh. Gempa tersebut juga sempat
diberitakan berpotensi menimbulkan tsunami karena titik gempanya dekat dengan
pesisir pantai, tapi untunglah sampai saat ini tsunami yang ditakutkan itu
tidak sampai terjadi.
Jika sampai terjadi tsunami, bencana tahun 2004 yang menimpa Aceh
dan sekitarnya bisa terulang kembali. Musibah yang terjadi pada bulan Desember itu
menyebabkan kerusakan infrastruktur yang tak terhitung jumlahnya. Selain itu,
tentu saja jumlah korban jiwa melampaui angka 20 ribu orang. Mengerikan! Ma shaa
Allah.
Saat terjadi bencana tersebut, aku baru menjadi santri di Gontor.
Beberapa kawan dari Aceh dikumpulkan setelah shalat Subuh karena peristiwa itu
terjadi dini hari menjelang waktu subuh. Mereka ditenangkan karena siapapun
yang keluarganya berada di dekat peristiwa itu pasti mengalami kepanikan. Saat itu,
tidak ada yang yakin keluarganya selamat dari bencana karena jaringan
komunikasi dari Aceh terputus total.
Bencana tsunami yang seringkali diawali dengan gempa di dasar
lautan itu memang menakutkan. Kekuatan air laut yang menyerang daratan kita
benar-benar tidak bisa dibendung. Kalau kita melihat videonya, kita pasti
merinding. Apa saja dihantam olehnya. Kecil sekali kemungkinan selamat jika
sudah terbawa hanyut oleh tsunami, karena ia bisa membenturkan kita ke mana
saja. Sungguh, manusia tak akan berdaya menghadapinya selain lari ke tempat
yang paling tinggi.
Bencana inilah yang sangat dikhawatirkan warga Jawa Barat dan
sekitarnya pada waktu terjadi gempa kemarin, terutama warga daerah Tasikmalaya.
Daerah itu memang dekat dengan pesisir pantai, yaitu Pangandaran. Selain itu,
ada satu hal yang mendasari kekhawatiran mereka yang tinggal di daerah
Tasikmalaya, yaitu potensi azab dari Allah.
Dengar-dengar, saat ini komunitas LGBT mengalami peningkatan pesat
di Tasikmalaya. Ada yang mengatakan jumlah anggotanya mencapai ribuan orang.
Seratus saja sudah banyak, apalagi seribu. Ini benar-benar di luar nalar. Bagaimana
mungkin sebuah tempat yang dikenal agamis itu membiarkan perkembangan praktik
kaum Nabi Luth itu berkembang sejauh itu. Sungguh ironis!
Jika berkaca dari bencana tsunami di Aceh yang terjadi lebih satu
dekade yang lalu, salah satu penyebabnya tidak lain karena adanya perbuatan
maksiat yang dilakukan warga. Bagi orang yang beragama, salah penyebab bencana
memang karena maraknya maksiat hingga Allah memberi peringatan dengan azab
kecil-Nya.
Gempa kecil kemarin bisa jadi merupakan sedikit teguran dari Allah
untuk kita semua, khususnya warga Tasikmalaya. Bukan tidak mungkin teguran
kecil ini akan berubah menjadi lebih besar jika tidak digubris oleh umat
manusia. Kita semua tahu betapa dahsyatnya azab Allah untuk orang-orang yang
mempraktikkan kelakuan keji kaum Nabi Luth. Sungguh, praktik LGBT tidak bisa
dibiarkan terjadi di muka bumi ini jika kita tidak ingin bumi ini terbalik
dengan sekali hentakan. shah wa
Kampung Damai, 22 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar