Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Jumat, 22 Desember 2017

LGBT dan Gempa

Hampir seminggu yang lalu terjadi gempa berskala cukup besar di daerah Jawa Barat dan Yogyakarta. Ada yang mengatakan bahwa gempa itu berkekuatan 7,5 SR. Ada juga yang mengatakan kekuatannya hanya berkisar pada 4,5 SR. Kami yang berada cukup jauh di Ponorogo, Jawa Timur, ikut merasakan getarannya. Gempa itu terjadi sekitar pukul 24.00 WIB, saat orang-orang sudah terlelap dalam tidur nyenyak mereka.
Menurut kabar, gempa yang cukup besar itu membuat beberapa rumah warga di daerah Tasikmalaya dan Garut roboh. Gempa tersebut juga sempat diberitakan berpotensi menimbulkan tsunami karena titik gempanya dekat dengan pesisir pantai, tapi untunglah sampai saat ini tsunami yang ditakutkan itu tidak sampai terjadi.
Jika sampai terjadi tsunami, bencana tahun 2004 yang menimpa Aceh dan sekitarnya bisa terulang kembali. Musibah yang terjadi pada bulan Desember itu menyebabkan kerusakan infrastruktur yang tak terhitung jumlahnya. Selain itu, tentu saja jumlah korban jiwa melampaui angka 20 ribu orang. Mengerikan! Ma shaa Allah.
Saat terjadi bencana tersebut, aku baru menjadi santri di Gontor. Beberapa kawan dari Aceh dikumpulkan setelah shalat Subuh karena peristiwa itu terjadi dini hari menjelang waktu subuh. Mereka ditenangkan karena siapapun yang keluarganya berada di dekat peristiwa itu pasti mengalami kepanikan. Saat itu, tidak ada yang yakin keluarganya selamat dari bencana karena jaringan komunikasi dari Aceh terputus total.
Bencana tsunami yang seringkali diawali dengan gempa di dasar lautan itu memang menakutkan. Kekuatan air laut yang menyerang daratan kita benar-benar tidak bisa dibendung. Kalau kita melihat videonya, kita pasti merinding. Apa saja dihantam olehnya. Kecil sekali kemungkinan selamat jika sudah terbawa hanyut oleh tsunami, karena ia bisa membenturkan kita ke mana saja. Sungguh, manusia tak akan berdaya menghadapinya selain lari ke tempat yang paling tinggi.
Bencana inilah yang sangat dikhawatirkan warga Jawa Barat dan sekitarnya pada waktu terjadi gempa kemarin, terutama warga daerah Tasikmalaya. Daerah itu memang dekat dengan pesisir pantai, yaitu Pangandaran. Selain itu, ada satu hal yang mendasari kekhawatiran mereka yang tinggal di daerah Tasikmalaya, yaitu potensi azab dari Allah.
Dengar-dengar, saat ini komunitas LGBT mengalami peningkatan pesat di Tasikmalaya. Ada yang mengatakan jumlah anggotanya mencapai ribuan orang. Seratus saja sudah banyak, apalagi seribu. Ini benar-benar di luar nalar. Bagaimana mungkin sebuah tempat yang dikenal agamis itu membiarkan perkembangan praktik kaum Nabi Luth itu berkembang sejauh itu. Sungguh ironis!
Jika berkaca dari bencana tsunami di Aceh yang terjadi lebih satu dekade yang lalu, salah satu penyebabnya tidak lain karena adanya perbuatan maksiat yang dilakukan warga. Bagi orang yang beragama, salah penyebab bencana memang karena maraknya maksiat hingga Allah memberi peringatan dengan azab kecil-Nya.
Gempa kecil kemarin bisa jadi merupakan sedikit teguran dari Allah untuk kita semua, khususnya warga Tasikmalaya. Bukan tidak mungkin teguran kecil ini akan berubah menjadi lebih besar jika tidak digubris oleh umat manusia. Kita semua tahu betapa dahsyatnya azab Allah untuk orang-orang yang mempraktikkan kelakuan keji kaum Nabi Luth. Sungguh, praktik LGBT tidak bisa dibiarkan terjadi di muka bumi ini jika kita tidak ingin bumi ini terbalik dengan sekali hentakan. shah wa

Kampung Damai, 22 Desember 2017

Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar