Suatu malam, aku mendapatkan SMS dari ibu. “Nak, sedang mengerjakan
apa? Bagaimana kabarmu? Ibu baru saja pulang dari toko.” Begitu bunyi pesan
singkat yang terkirim dari sebuah desa di pelosok Pulau Kalimantan itu. Kulihat
jam di dinding sudah menunjukkan pukul 21.00 waktu Jawa. Berarti, di Kalimantan
sudah jam 10 malam.
Aku langsung membalas pesan itu dengan mengabarkan bahwa anak
sulungnya ini baik-baik saja. Pesan tidak terkirim. Ternyata pulsaku
habis. Aku tidak bisa membalas SMS, apalagi menelepon. Uang pun sedang tidak
cukup untuk membeli pulsa. Air mataku menetes. Maafkan anakmu, Ibu. Malam ini,
aku hanya bisa membalas pesanmu dengan doa dulu. Semoga besok ada rezeki untuk
membalas SMS-mu walau sedikit terlambat.
Andai menyeberangi Laut Jawa semudah menyeberang jalan, malam itu
juga akan kuhampiri ibu di rumah. Ia pasti sedang berkawan sepi dan sunyi
meskipun di rumah masih ada nenek. Ayahku sudah tiada. Sedangkan keempat anaknya
jauh dari rumah, merantau untuk merajut sukses. Aku yakin, SMS itu tidak hanya
dikirim untukku, tapi juga terkirim kepada ketiga adikku di tanah Jawa yang
lain.
Aku bisa merasakan kerinduannya, kerinduan seorang ibu yang sudah
lama tidak mendengar celoteh anak-anaknya. Walaupun saat kami pulang ibu tidak
pernah mengungkapkan perasaannya secara berlebihan, tapi kami tahu ia begitu
senang mendapati anak-anaknya pulang ke rumah dalam keadaan sehat dan bahagia.
Sejujurnya, ibuku bukanlah seperti ibu-ibu yang begitu emosional
menampakkan kasih sayang dengan memeluk-meluk dan menciumi anak-anak mereka.
Kami tidak terbiasa diperlakukan begitu. Kami pun tidak terbiasa bermanja-manja
dengan orang tua. Kami adalah anak-anak yang dibesarkan dengan kasih sayang
yang terpendam. Kasih sayang itu begitu besar hingga kami bisa merasakannya
walau ia tak pernah menampakkannya.
Terkadang, rasa iri menghampiri saat melihat kawan-kawan yang
disayang dan dimanja-manja orang tua mereka. Gelak tawa terdengar begitu renyah
di keluarga itu. Mereka begitu leluasa bercerita dan berbagi kabar berita.
Bahkan, mereka sering mendapat kejutan hadiah ulang tahun dari orang tua.
Aku tersadar, kami hanya bermimpi saja mendapati orang tua kami seperti
orang tua mereka. Jangankan mendapat hadiah kejutan ulang tahun, hari lahir
kami saja sudah tidak diingat lagi. Kami disayang dengan cara yang berbeda,
tidak dimanjakan begitu. Tidak pula disayang dengan hadiah pesta ulang tahun.
Ayah dan ibu menyayangi kami ala kadarnya, tidak berlebihan. Jika kami berbuat
kenakalan, maka kami layak kena marah atau omelan.
Namun, sejak kami terpisah lama, yaitu saat aku dan adik-adikku
belajar di tanah Jawa, kasih sayang seorang ibu tak bisa lagi dipendam. Ibuku
rela menghabiskan pulsa berpuluh ribu demi mendengar kabar anak-anaknya. Kami
merasa diperlakukan seperti balita yang harus selalu mendapat perhatian.
Padahal, kami sudah besar, sudah dewasa, sudah bukan anak kecil lagi. Begitulah
kasih sayang seorang ibu yang dulu terpendam kini meledak-ledak keluar tanpa
tertahankan lagi. shah wa
Kampung Damai, 26 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar