Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Rabu, 27 Desember 2017

SMS Ibuku

Suatu malam, aku mendapatkan SMS dari ibu. “Nak, sedang mengerjakan apa? Bagaimana kabarmu? Ibu baru saja pulang dari toko.” Begitu bunyi pesan singkat yang terkirim dari sebuah desa di pelosok Pulau Kalimantan itu. Kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 21.00 waktu Jawa. Berarti, di Kalimantan sudah jam 10 malam.
Aku langsung membalas pesan itu dengan mengabarkan bahwa anak sulungnya ini baik-baik saja. Pesan tidak terkirim. Ternyata pulsaku habis. Aku tidak bisa membalas SMS, apalagi menelepon. Uang pun sedang tidak cukup untuk membeli pulsa. Air mataku menetes. Maafkan anakmu, Ibu. Malam ini, aku hanya bisa membalas pesanmu dengan doa dulu. Semoga besok ada rezeki untuk membalas SMS-mu walau sedikit terlambat.
Andai menyeberangi Laut Jawa semudah menyeberang jalan, malam itu juga akan kuhampiri ibu di rumah. Ia pasti sedang berkawan sepi dan sunyi meskipun di rumah masih ada nenek. Ayahku sudah tiada. Sedangkan keempat anaknya jauh dari rumah, merantau untuk merajut sukses. Aku yakin, SMS itu tidak hanya dikirim untukku, tapi juga terkirim kepada ketiga adikku di tanah Jawa yang lain.
Aku bisa merasakan kerinduannya, kerinduan seorang ibu yang sudah lama tidak mendengar celoteh anak-anaknya. Walaupun saat kami pulang ibu tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara berlebihan, tapi kami tahu ia begitu senang mendapati anak-anaknya pulang ke rumah dalam keadaan sehat dan bahagia.
Sejujurnya, ibuku bukanlah seperti ibu-ibu yang begitu emosional menampakkan kasih sayang dengan memeluk-meluk dan menciumi anak-anak mereka. Kami tidak terbiasa diperlakukan begitu. Kami pun tidak terbiasa bermanja-manja dengan orang tua. Kami adalah anak-anak yang dibesarkan dengan kasih sayang yang terpendam. Kasih sayang itu begitu besar hingga kami bisa merasakannya walau ia tak pernah menampakkannya.
Terkadang, rasa iri menghampiri saat melihat kawan-kawan yang disayang dan dimanja-manja orang tua mereka. Gelak tawa terdengar begitu renyah di keluarga itu. Mereka begitu leluasa bercerita dan berbagi kabar berita. Bahkan, mereka sering mendapat kejutan hadiah ulang tahun dari orang tua.  
Aku tersadar, kami hanya bermimpi saja mendapati orang tua kami seperti orang tua mereka. Jangankan mendapat hadiah kejutan ulang tahun, hari lahir kami saja sudah tidak diingat lagi. Kami disayang dengan cara yang berbeda, tidak dimanjakan begitu. Tidak pula disayang dengan hadiah pesta ulang tahun. Ayah dan ibu menyayangi kami ala kadarnya, tidak berlebihan. Jika kami berbuat kenakalan, maka kami layak kena marah atau omelan.
Namun, sejak kami terpisah lama, yaitu saat aku dan adik-adikku belajar di tanah Jawa, kasih sayang seorang ibu tak bisa lagi dipendam. Ibuku rela menghabiskan pulsa berpuluh ribu demi mendengar kabar anak-anaknya. Kami merasa diperlakukan seperti balita yang harus selalu mendapat perhatian. Padahal, kami sudah besar, sudah dewasa, sudah bukan anak kecil lagi. Begitulah kasih sayang seorang ibu yang dulu terpendam kini meledak-ledak keluar tanpa tertahankan lagi. shah wa

Kampung Damai, 26 Desember 2017

Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar