Ayah sudah meninggal. Tak ada lagi kesempatan mencium tangannya.
Tak ada pula kesempatan bertemu dengannya. Tak ada lagi kesempatan
membahagiakannya di dunia yang fana ini. Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan
untuk membuatnya bangga di sana, yaitu menjadi anak saleh yang selalu
mendoakannya.
Sebagai anak-anaknya, aku dan saudara-saudariku juga harus menjalin
silaturahim dan menjaga hubungan yang baik dengan sahabat-sahabat ayah. Sejak
ayah meninggal, aku mempunyai keinginan atau cita-cita memberangkatkan
sahabat-sahabat ayah di kampung ke Tanah Suci. Aku ingin membuat
sahabat-sahabat ayah itu melihat Ka’bah dan merasakan ibadah umrah.
Aku tidak tahu kapan bisa merealisasikannya. Yang pasti, aku
mempunyai tekad itu. Aku ingin memberangkatkan sahabat-sahabat ayah itu bersama
ayah-ibu mertuaku dan keempat paman-bibiku yang seringkali membantu urusan
keluarga kami. Aku yakin Allah Yang Maha Pemberi Rezeki akan membukakan pintu
rezeki kami untuk mewujudkan cita-cita ini.
Ada beberapa sahabat ayah di kampung yang layak mendapatkan
kesempatan ini. Salah satunya tetangga terdekat kami, tepat di sebelah timur
rumah kami. Beliau kami panggil dengan “Abah Ida”. Waktu terakhir kali bertemu,
Abah Ida masih tampak sehat.
Abah Ida inilah guru mengaji kami setiap hari, usai shalat Maghrib.
Beliaulah yang mengajari kami mengeja al-Qur’an dengan cara sorogan. Sampai
sekarang Abah Ida tetap konsisten mengajari anak-anak membaca al-Qur’an di
rumahnya.
Selain Abad Ida, di sebelah timur lagi ada Abah Liah. Kata Acil
Dayah, bibiku, Abah Liah adalah guru mengaji ibuku dan bibi-bibiku waktu
remaja. Abah Liah seumuran ayahku. Beliau seringkali jadi imam di langgar dekat
rumah kami. Bacaan al-Qur’an beliau memang bagus.
Ke timur lagi ada Abah Rohan. Saat bertemu beliau waktu pulang
kemarin, fisik beliau sudah melemah seiring bertambahnya usia. Aku berharap
Allah memanjangkan umur mereka semua dan senantiasa memberikan kesehatan sampai
keinginanku ini terlaksana.
Agak jauh ke timur lagi ada Abah Alan. Beliaulah yang selalu ada di
langgar. Abah Alan juga sering jadi imam jika ayahku sedang di kota dan Abah
Liah tidak ada. Ia yang menjalankan aktivitas langgar yang semakin hari semakin
sepi itu.
Satu lagi, Abah Salamat. Pemilik warung yang ada di kampung kami ini
sering pergi ke langgar. Orangnya ramah dan sering menyapa kami. Anaknya adalah
teman sebaya kami sekaligus teman sekolah waktu SD dulu. Hampir setiap pagi
kami membeli kue di warung Abah Salamat untuk sarapan sebelum berangkat
sekolah.
Merekalah kawan-kawan ayah yang ingin sekali kuberangkatkan ke
Tanah Suci bersama keluargaku. Aku ingin melakukannya atas nama ayahku. Mereka
adalah sahabat-sahabat ayah yang layak mendapatkannya. Semoga Allah mengabulkan
keinginanku ini. shah wa
Kampung Damai, 6 Desember 2017
AWM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar