Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Kamis, 14 Desember 2017

Cita-citaku untuk Ayah

Ayah sudah meninggal. Tak ada lagi kesempatan mencium tangannya. Tak ada pula kesempatan bertemu dengannya. Tak ada lagi kesempatan membahagiakannya di dunia yang fana ini. Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan untuk membuatnya bangga di sana, yaitu menjadi anak saleh yang selalu mendoakannya.
Sebagai anak-anaknya, aku dan saudara-saudariku juga harus menjalin silaturahim dan menjaga hubungan yang baik dengan sahabat-sahabat ayah. Sejak ayah meninggal, aku mempunyai keinginan atau cita-cita memberangkatkan sahabat-sahabat ayah di kampung ke Tanah Suci. Aku ingin membuat sahabat-sahabat ayah itu melihat Ka’bah dan merasakan ibadah umrah.
Aku tidak tahu kapan bisa merealisasikannya. Yang pasti, aku mempunyai tekad itu. Aku ingin memberangkatkan sahabat-sahabat ayah itu bersama ayah-ibu mertuaku dan keempat paman-bibiku yang seringkali membantu urusan keluarga kami. Aku yakin Allah Yang Maha Pemberi Rezeki akan membukakan pintu rezeki kami untuk mewujudkan cita-cita ini.
Ada beberapa sahabat ayah di kampung yang layak mendapatkan kesempatan ini. Salah satunya tetangga terdekat kami, tepat di sebelah timur rumah kami. Beliau kami panggil dengan “Abah Ida”. Waktu terakhir kali bertemu, Abah Ida masih tampak sehat.
Abah Ida inilah guru mengaji kami setiap hari, usai shalat Maghrib. Beliaulah yang mengajari kami mengeja al-Qur’an dengan cara sorogan. Sampai sekarang Abah Ida tetap konsisten mengajari anak-anak membaca al-Qur’an di rumahnya.
Selain Abad Ida, di sebelah timur lagi ada Abah Liah. Kata Acil Dayah, bibiku, Abah Liah adalah guru mengaji ibuku dan bibi-bibiku waktu remaja. Abah Liah seumuran ayahku. Beliau seringkali jadi imam di langgar dekat rumah kami. Bacaan al-Qur’an beliau memang bagus.
Ke timur lagi ada Abah Rohan. Saat bertemu beliau waktu pulang kemarin, fisik beliau sudah melemah seiring bertambahnya usia. Aku berharap Allah memanjangkan umur mereka semua dan senantiasa memberikan kesehatan sampai keinginanku ini terlaksana.
Agak jauh ke timur lagi ada Abah Alan. Beliaulah yang selalu ada di langgar. Abah Alan juga sering jadi imam jika ayahku sedang di kota dan Abah Liah tidak ada. Ia yang menjalankan aktivitas langgar yang semakin hari semakin sepi itu.
Satu lagi, Abah Salamat. Pemilik warung yang ada di kampung kami ini sering pergi ke langgar. Orangnya ramah dan sering menyapa kami. Anaknya adalah teman sebaya kami sekaligus teman sekolah waktu SD dulu. Hampir setiap pagi kami membeli kue di warung Abah Salamat untuk sarapan sebelum berangkat sekolah.
Merekalah kawan-kawan ayah yang ingin sekali kuberangkatkan ke Tanah Suci bersama keluargaku. Aku ingin melakukannya atas nama ayahku. Mereka adalah sahabat-sahabat ayah yang layak mendapatkannya. Semoga Allah mengabulkan keinginanku ini. shah wa

Kampung Damai, 6 Desember 2017
AWM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar