Pagi itu aku baru saja
mempersiapkan laptop untuk mengerjakan tugas Ustadz Hamid. Besok lusa, Rabu,
beliau akan masuk kelas. Materi Islamisasi memang cukup sulit. Sebenarnya,
bukan sulitnya, tapi banyaknya tugas dari beliau yang membuat kami kelabakan.
Ini semester akhir, artinya tugas harus selesai segera agar kami fokus menulis
tesis. Membayangkan wisuda dihadiri ayah dan ibu membuatku semangat sekali pagi
itu.
Saat aku mulai duduk di depan
laptop untuk mulai mengerjakan tugas, telepon berbunyi. Kak Hifji menelepon
dari seberang, dari rumah di Barabai. “Wahid, Abah garing, kada kawa ka
mana-mana. Awak sidin lamah banar. Samalam sihat-sihat haja, nah,” ujar Kak
Hifji dengan bahasa Banjar. Nada suaranya terdengar begitu khawatir.
Kak Hifji mengabariku pagi itu
tentang kondisi ayah yang menurun drastis. Setengah tahun yang lalu ayah memang
sempat mengalami stroke ringan. Alhamdulillah, cepat sembuh. Tapi beliau tidak
berhenti merokok. Pagi ini, Kak Hifji memberi kabar mengejutkan yang membuatku
tiba-tiba khawatir.
Aku meminta Kak Hifji untuk
memberikan telepon kepada ayah. Aku ingin mendengar suara ayah.
“Abah, napa habar? Sakit napa,
Bah?”
“Sakit biasa haja. Kada usah
hawatir. Abah kawa haja,”
sahut ayah dengan suara lirih dan lemah.
“Isuk ulun izin bulik manjanguk
pian,” ujarku.
Lalu ayah menyudahi pembicaraan dengan meminta doa agar segera disehatkan.
Mengetahui ayah sakit, aku tidak
tenang mengerjakan tugas apapun. Gelisah menghampiri setiap waktu, bahkan tiap
detik. Apalagi, Kak Hifji sudah menggambarkan dengan jelas bagaimana lemahnya
kondisi ayah yang hanya terbaring di kasur.
Menjelang sore, Kak Hifji menelepon
lagi dan mengabarkan bahwa ayah dilarikan ke rumah sakit. Setelah Ashar aku
bergegas menghadap kiai untuk izin pulang, tapi beliau tidak ada. Aku terpaksa
menunggu sampai Maghrib. Beliau baru bisa ditemui setelah shalat.
Sore itu, Kak Hifji berkali-kali
mengabarkan perkembangan kondisi ayah. Katanya, ayah kekurangan darah. Golongan
darah ayah sama denganku. Ingin sekali aku memberikannya waktu itu juga, tapi
aku harus terbang dulu. Keluarga di rumah pun membeli beberapa kantung darah
untuk ayah.
Aku mendapatkan tiket penerbangan besok
siang dari Bandara Juanda, setelah membelinya hujan-hujanan di agen tiket
terdekat setelah Isya’. Di perjalanan pulang ke kamar, aku sempat terjatuh dari
motor. Beruntung, tubuhku tidak sampai cedera. hanya saja, spion motor temanku
terlepas dari tempatnya.
Aku dapat kabar, semakin malam,
kondisi ayah makin memburuk. Doa-doa terbaik kupanjatkan. Adik-adikku juga
sudah membeli tiket untuk pulang besok. Kami berangkat dari tempat yang
berbeda-beda. Si Dillah berangkat dari Cirebon. Alpi berangkat dari Jakarta.
Nujhan pulang bersamaku dari Surabaya.
Aku mencoba tidur malam itu, tapi
kegelisahan menyelimutiku.
Setelah shalat Subuh tepat, Dillah
menelepon. Dia menangis terisak-isak. Dadaku langsung berdegup kencang. Sebelum
dia bicara, aku sudah tahu apa yang mau dia katakan.
“Kak, ayah me... me... me...
ninggal.... Ayah meninggal, Kak,” katanya terbata-bata.
Air mataku langsung keluar dari
kelopak mata. Tubuhku ambruk di tempat tidur. Aku tidak sempat bertemu ayahku
untuk terakhir kalinya. shah wa
Kampung Damai, 2 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar