Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Senin, 04 Desember 2017

Makam Ayah

Pagi itu aku baru saja mempersiapkan laptop untuk mengerjakan tugas Ustadz Hamid. Besok lusa, Rabu, beliau akan masuk kelas. Materi Islamisasi memang cukup sulit. Sebenarnya, bukan sulitnya, tapi banyaknya tugas dari beliau yang membuat kami kelabakan. Ini semester akhir, artinya tugas harus selesai segera agar kami fokus menulis tesis. Membayangkan wisuda dihadiri ayah dan ibu membuatku semangat sekali pagi itu.
Saat aku mulai duduk di depan laptop untuk mulai mengerjakan tugas, telepon berbunyi. Kak Hifji menelepon dari seberang, dari rumah di Barabai. “Wahid, Abah garing, kada kawa ka mana-mana. Awak sidin lamah banar. Samalam sihat-sihat haja, nah,” ujar Kak Hifji dengan bahasa Banjar. Nada suaranya terdengar begitu khawatir.
Kak Hifji mengabariku pagi itu tentang kondisi ayah yang menurun drastis. Setengah tahun yang lalu ayah memang sempat mengalami stroke ringan. Alhamdulillah, cepat sembuh. Tapi beliau tidak berhenti merokok. Pagi ini, Kak Hifji memberi kabar mengejutkan yang membuatku tiba-tiba khawatir.
Aku meminta Kak Hifji untuk memberikan telepon kepada ayah. Aku ingin mendengar suara ayah.
Abah, napa habar? Sakit napa, Bah?”
“Sakit biasa haja. Kada usah hawatir. Abah kawa haja,” sahut ayah dengan suara lirih dan lemah.
“Isuk ulun izin bulik manjanguk pian,” ujarku. Lalu ayah menyudahi pembicaraan dengan meminta doa agar segera disehatkan.
Mengetahui ayah sakit, aku tidak tenang mengerjakan tugas apapun. Gelisah menghampiri setiap waktu, bahkan tiap detik. Apalagi, Kak Hifji sudah menggambarkan dengan jelas bagaimana lemahnya kondisi ayah yang hanya terbaring di kasur.
Menjelang sore, Kak Hifji menelepon lagi dan mengabarkan bahwa ayah dilarikan ke rumah sakit. Setelah Ashar aku bergegas menghadap kiai untuk izin pulang, tapi beliau tidak ada. Aku terpaksa menunggu sampai Maghrib. Beliau baru bisa ditemui setelah shalat.
Sore itu, Kak Hifji berkali-kali mengabarkan perkembangan kondisi ayah. Katanya, ayah kekurangan darah. Golongan darah ayah sama denganku. Ingin sekali aku memberikannya waktu itu juga, tapi aku harus terbang dulu. Keluarga di rumah pun membeli beberapa kantung darah untuk ayah.
Aku mendapatkan tiket penerbangan besok siang dari Bandara Juanda, setelah membelinya hujan-hujanan di agen tiket terdekat setelah Isya’. Di perjalanan pulang ke kamar, aku sempat terjatuh dari motor. Beruntung, tubuhku tidak sampai cedera. hanya saja, spion motor temanku terlepas dari tempatnya.
Aku dapat kabar, semakin malam, kondisi ayah makin memburuk. Doa-doa terbaik kupanjatkan. Adik-adikku juga sudah membeli tiket untuk pulang besok. Kami berangkat dari tempat yang berbeda-beda. Si Dillah berangkat dari Cirebon. Alpi berangkat dari Jakarta. Nujhan pulang bersamaku dari Surabaya.
Aku mencoba tidur malam itu, tapi kegelisahan menyelimutiku.
Setelah shalat Subuh tepat, Dillah menelepon. Dia menangis terisak-isak. Dadaku langsung berdegup kencang. Sebelum dia bicara, aku sudah tahu apa yang mau dia katakan.
“Kak, ayah me... me... me... ninggal.... Ayah meninggal, Kak,” katanya terbata-bata.  
Air mataku langsung keluar dari kelopak mata. Tubuhku ambruk di tempat tidur. Aku tidak sempat bertemu ayahku untuk terakhir kalinya. shah wa

Kampung Damai, 2 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar