Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Kamis, 14 Desember 2017

Ustadz Ali Sarkowi

Jika ada seorang ustadz yang patut dikagumi selama kami menjadi santri Gontor selain ketiga kiai kami, maka beliau adalah almarhum Ustadz Ali Sarkowi. Kami sedih beliau meninggal dalam usia muda. Namun, itu sudah kehendak Allah. Mungkin karena Allah sangat menyayangi beliau, maka beliau segera dipanggil untuk kembali ke pangkuan-Nya.
Sebelum meninggal, Ustadz Ali diberi amanat memegang kendali KMI sejak Ustadz Syamsul diangkat menjadi Pimpinan Pondok menggantikan Kiai Imam Badri yang meninggal pada tahun 2006. Waktu Ustadz Ali resmi menjadi Direktur KMI, kami baru duduk di kelas 5. Beliau memimpin KMI hanya dalam jangka waktu dua tahun hingga kami lulus kelas 6. Tidak lama setelah beliau mewisuda kami di bulan Ramadhan, kami mendengar kabar dari rumah bahwa beliau pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.
Peristiwa duka itu terjadi hanya beberapa hari menjelang Idul Fitri di tahun 2007. Pondok sudah sepi karena ditinggal liburan santri-santri. Di pondok hanya tersisa santri kelas 5 yang baru saja naik ke kelas 6. Itu adalah minggu terakhir bulan Ramadhan. Guru-guru juga sudah pulang berlibur ke rumah masing-masing. Memang masih ada sejumlah guru pembimbing kelas 6 yang menetap, tapi jumlahnya tidak banyak.
Lebih sedih lagi, saat itu tidak ada Kiai Hasan dan Kiai Syukri di pondok. Setelah wisuda kelulusan kami pada pertengahan Ramadhan, Kiai Hasan mendapat undangan ceramah di Amerika, sedangkan Kiai Syukri berangkat melaksanakan ibadah umrah bersama rombongan guru-guru senior. Hanya ada Kiai Syamsul bersama beberapa orang guru yang masih bermukim di pondok disertai santri kelas 6. Beliau dimakamkan dalam damainya suasana pondok di akhir bulan Ramadhan.
Meninggalnya Ustadz Ali benar-benar membuat sedih seluruh penghuni pondok. Beliau adalah kader muda yang paling potensial dan digadang-gadang mampu memimpin pondok di masa yang akan datang. Kami pun melihatnya demikian. Karisma dan wibawa Ustadz Ali benar-benar tampak di mata kami. Keikhlasan beliau pun terpancar begitu jelas di wajahnya. Pandangannya tajam, tapi sangat menyejukkan.
Dalam beberapa kesempatan, Kiai Syukri sering memuji Ustadz Ali setelah beliau meninggal. Tidak ada yang lebih memahami KMI selain Ustadz Ali, kata beliau. Memang, menurut cerita, setelah mendapat gelar Lc dari Universitas al-Azhar Mesir, Ustadz Ali langsung terjun menangani KMI. Beliau bertahun-tahun menjadi wakilnya Kiai Syamsul di KMI. Setelah menjadi Direktur KMI, nilai santri mengalami kenaikan drastis di tahun 2007. Tahun itu adalah tahun prestasinya Ustadz Ali.
Kami sangat bangga menjadi santrinya Ustadz Ali. Beliau adalah guru Nahwu kami di kelas 5B dan kelas 6B. Selain tegas, Ustadz juga humoris. Suatu ketika saat beliau pertama kali masuk kelas kami, beliau meminta salah seorang anggota kelas untuk membaca sebuah kalimat yang beliau tulis tanpa harakat di papan tulis. Kebetulan ketua kelas kami mendapatkan kesempatan itu.
Saat kami mengetahui siapa yang terpilih itu, kami langsung merasa was-was. Kami semua tahu bahwa ketua kelas kami termasuk orang yang kesulitan memahami pelajaran Nahwu. Orangnya memang pintar dan memiliki kemampuan menghafal pelajaran yang luar biasa. Tapi, khusus untuk pelajaran Nahwu atau kaidah bahasa Arab yang memerlukan pemahaman tingkat tinggi itu ia angkat tangan. Anak-anak kelas B memang terkenal memilik potensi bagus dalam hal akademis. Namun, ada di antara anak-anak itu yang hafalannya sangat dominan dibandingkan kemampuan memahami pelajaran. Salah satunya ketua kelas kami.
Saat diminta membaca kalimat bahasa Arab yang ditulis Ustadz Ali, harakatnya jadi berantakan. Waktu itu kami tak sanggup menahan tawa sambil memperkirakan apa yang akan dilakukan Ustadz Ali.
Setelah kelas sunyi, beliau pun geleng-geleng kepala sambil berkata, “Akhta’tu fi wadh’ika hadza al-fashl.”
Mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Ustadz Ali itu, kami kembali tertawa terbahak-bahak. Ternyata, Ustadz Ali humoris juga. shah wa

Kampung Damai, 7 Desember 2017

Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar