Jika ada seorang ustadz yang patut dikagumi selama kami menjadi
santri Gontor selain ketiga kiai kami, maka beliau adalah almarhum Ustadz Ali
Sarkowi. Kami sedih beliau meninggal dalam usia muda. Namun, itu sudah kehendak
Allah. Mungkin karena Allah sangat menyayangi beliau, maka beliau segera
dipanggil untuk kembali ke pangkuan-Nya.
Sebelum meninggal, Ustadz Ali diberi amanat memegang kendali KMI
sejak Ustadz Syamsul diangkat menjadi Pimpinan Pondok menggantikan Kiai Imam
Badri yang meninggal pada tahun 2006. Waktu Ustadz Ali resmi menjadi Direktur
KMI, kami baru duduk di kelas 5. Beliau memimpin KMI hanya dalam jangka waktu
dua tahun hingga kami lulus kelas 6. Tidak lama setelah beliau mewisuda kami di
bulan Ramadhan, kami mendengar kabar dari rumah bahwa beliau pergi meninggalkan
dunia ini untuk selama-lamanya.
Peristiwa duka itu terjadi hanya beberapa hari menjelang Idul Fitri
di tahun 2007. Pondok sudah sepi karena ditinggal liburan santri-santri. Di
pondok hanya tersisa santri kelas 5 yang baru saja naik ke kelas 6. Itu adalah
minggu terakhir bulan Ramadhan. Guru-guru juga sudah pulang berlibur ke rumah
masing-masing. Memang masih ada sejumlah guru pembimbing kelas 6 yang menetap,
tapi jumlahnya tidak banyak.
Lebih sedih lagi, saat itu tidak ada Kiai Hasan dan Kiai Syukri di
pondok. Setelah wisuda kelulusan kami pada pertengahan Ramadhan, Kiai Hasan
mendapat undangan ceramah di Amerika, sedangkan Kiai Syukri berangkat
melaksanakan ibadah umrah bersama rombongan guru-guru senior. Hanya ada Kiai
Syamsul bersama beberapa orang guru yang masih bermukim di pondok disertai
santri kelas 6. Beliau dimakamkan dalam damainya suasana pondok di akhir bulan
Ramadhan.
Meninggalnya Ustadz Ali benar-benar membuat sedih seluruh penghuni
pondok. Beliau adalah kader muda yang paling potensial dan digadang-gadang
mampu memimpin pondok di masa yang akan datang. Kami pun melihatnya demikian. Karisma
dan wibawa Ustadz Ali benar-benar tampak di mata kami. Keikhlasan beliau pun
terpancar begitu jelas di wajahnya. Pandangannya tajam, tapi sangat
menyejukkan.
Dalam beberapa kesempatan, Kiai Syukri sering memuji Ustadz Ali
setelah beliau meninggal. Tidak ada yang lebih memahami KMI selain Ustadz Ali,
kata beliau. Memang, menurut cerita, setelah mendapat gelar Lc dari Universitas
al-Azhar Mesir, Ustadz Ali langsung terjun menangani KMI. Beliau bertahun-tahun
menjadi wakilnya Kiai Syamsul di KMI. Setelah menjadi Direktur KMI, nilai
santri mengalami kenaikan drastis di tahun 2007. Tahun itu adalah tahun
prestasinya Ustadz Ali.
Kami sangat bangga menjadi santrinya Ustadz Ali. Beliau adalah guru
Nahwu kami di kelas 5B dan kelas 6B. Selain tegas, Ustadz juga humoris. Suatu
ketika saat beliau pertama kali masuk kelas kami, beliau meminta salah seorang
anggota kelas untuk membaca sebuah kalimat yang beliau tulis tanpa harakat di
papan tulis. Kebetulan ketua kelas kami mendapatkan kesempatan itu.
Saat kami mengetahui siapa yang terpilih itu, kami langsung merasa
was-was. Kami semua tahu bahwa ketua kelas kami termasuk orang yang kesulitan
memahami pelajaran Nahwu. Orangnya memang pintar dan memiliki kemampuan
menghafal pelajaran yang luar biasa. Tapi, khusus untuk pelajaran Nahwu atau
kaidah bahasa Arab yang memerlukan pemahaman tingkat tinggi itu ia angkat
tangan. Anak-anak kelas B memang terkenal memilik potensi bagus dalam hal
akademis. Namun, ada di antara anak-anak itu yang hafalannya sangat dominan
dibandingkan kemampuan memahami pelajaran. Salah satunya ketua kelas kami.
Saat diminta membaca kalimat bahasa Arab yang ditulis Ustadz Ali,
harakatnya jadi berantakan. Waktu itu kami tak sanggup menahan tawa sambil
memperkirakan apa yang akan dilakukan Ustadz Ali.
Setelah kelas sunyi, beliau pun geleng-geleng kepala sambil
berkata, “Akhta’tu fi wadh’ika hadza al-fashl.”
Mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Ustadz Ali itu, kami
kembali tertawa terbahak-bahak. Ternyata, Ustadz Ali humoris juga. shah
wa
Kampung Damai, 7 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar