Aku akan memperkenalkan ayahku tercinta. Nama ayahku adalah Mursyid
bin Abdul Muthalib. Aku tidak tahu kapan ayahku menunaikan ibadah haji ke Tanah
Suci. Yang jelas, sejak aku lahir, ayahku sudah dipanggil orang Haji Mursyid. Ayah
juga sering dipanggil masyarakat di kampungku dengan sebutan Haji Kopi.
Katanya, dulu, ayah pernah sukses menggeluti bisnis kopi hingga dikenal di
mana-mana. Namun, bisnis ayahku mengalami kerugian karena adanya orang-orang
yang tidak bertanggung jawab menipu ayah.
Sebelum bertemu ibuku, ayah juga sempat menggeluti bisnis kayu
gelondongan. Bisnisnya ini juga sempat sukses. Akan tetapi, karena bisnis ini
terlalu beresiko, ayah pun berhenti dan mencari peruntungan selanjutnya di
bisnis kopi. Rupanya, berawal dari usaha itulah yang mempertemukan ayah dengan ibuku.
Mungkin, karena ayah sering masuk ke kampung-kampung membeli hasil kebun kopi
dari penduduk, termasuk kampungku, maka lahirlah aku dan adik-adikku.
Ayahku lahir di Barabai, sebuah kota kabupaten di Kalimantan
Selatan yang terkenal dengan kue khasnya “apam”, pada tanggal 21 Februari 1950,
lima tahun setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan negeri kita tercinta ini. Ayah
terlahir di lingkungan keluarga yang religius. Sejujurnya, aku tidak mengenal
kakek dan nenekku dari pihak ayah karena keduanya sudah meninggal sebelum aku
lahir, tapi aku tahu mereka adalah ayah dan ibu yang mendidik ayahku untuk
senantiasa taat beribadah.
Didikan kakek dan nenek itulah yang ditularkan ayah kepadaku dan
juga adik-adikku. Ayah selalu menasihati kami untuk dekat dengan Allah dalam
kondisi apapun juga. Ayah begitu memerhatikan sejauh mana perkembangan wawasan
dan pemahaman agama kami. Kata ayah, jika kita bersandar pada Allah, maka
segala sesuatu itu akan terasa ringan. Tidak ada ada yang tidak mungkin di
tangan Allah. Semuanya bisa diatur oleh-Nya. Ayah sering berpesan agar jangan takut
menghadapi kehidupan selama kita memiliki Allah.
Dengan wawasan keilmuan yang ayah miliki di bidang keagamaan, ayah
seringkali menjadi tempat bertanya orang-orang di kampung. Ia menjadi salah
satu tokoh masyarakat, sering jadi imam shalat, dan juga khatib Jum‘at. Waktu
kecil, aku dan adik-adikku sering diajak oleh ayah ke masjid. Dengan berpeci
putih dan pakaian koko, kami mengiringinya dari belakang.
Ayahku termasuk orang yang cukup sibuk dengan usahanya. Ayah berangkat
pagi ke kota dan pulang sore hari. Saat aku lahir, ayah sudah berganti usaha
dari jual-beli kopi ke jual-beli bibit pohon atau tanaman. Walaupun sibuk, ayah
selalu ingat kami. Pulang dari kerja, ayah tidak pernah lupa membawakan
seplastik jajanan untuk kami. Isi plastik itu berbeda-beda setiap hari. Hari
ini isinya bisa kue, besok bisa buah-buahan. Karena itu, kedatangan ayah selalu
dinanti-nanti setiap sore. Kalau suara deru motor yang ayah kendarai sudah
terdengar, kami langsung berlarian menyambut di ambang pintu.
Ayah pasti selalu mengatakan, “Nih, oleh-oleh... jangan rebutan
dengan adik-adikmu, Hid.” Aku memang selalu dinasihati agar selalu mengalah
sebagai anak sulung.
Di dalam plastik yang dibeli ayah selalu ada sebungkus rokok. Aku
selalu mengamankannya dan langsung memberikannya pada ayah. Entah sejak kapan
ayah mulai merokok. Sepertinya, merokok memang kebiasaan orang-orang tua zaman
dahulu. Sehingga, merokok terasa wajar bagi orang-orang tua di sekitar kami.
Walaupun kami tahu ayah merokok, tapi ia melarang keras
anak-anaknya mengikuti kebiasaan buruknya itu. Mungkin ayah ingin berhenti,
tapi sulit baginya menyetop kebiasaan merokoknya. Ayah bisa menghabiskan
satu-dua bungkus rokok per hari. Ini saja kebiasaan ayah yang tak kusukai sejak
dulu karena aku takut rokok-rokok itu akan membahayakan kesehatannya.
Waktu yang kukhawatirkan itupun tiba. Rokok benar-benar memperlihatkan
dampak buruknya. Ayah mengalami stroke ringan dan harus terbaring di
rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan intensif. Ayahku harus menjalani
pemulihan selama hampir setengah tahun sebelum bisa berjalan kembali. Setelah
sembuh, ayah mulai mencoba berhenti merokok. Namun, ayah merokok kembali
beberapa bulan setelah itu walaupun tidak sesering biasanya.
Setahun berjalan, kondisi ayah tampak baik-baik saja. Akan tetapi,
tepat di usianya yang ke-66, di bulan Maret 2016 lalu, ayah tiba-tiba jatuh
sakit. Ia harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri dan
kondisi kesehatan yang memburuk. Dokter mengatakan bahwa ayah mengalami
komplikasi. Aku menduga rokok-rokok itu sudah menyerang paru-paru, ginjal dan
hati ayah kami. Pada hari Selasa, tanggal 29 Maret 2016, ayah mengakhiri
perjuangan hidupnya. Ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. shah wa
Kampung Damai, 21 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar