Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Jumat, 22 Desember 2017

Ayahku Haji Mursyid

Aku akan memperkenalkan ayahku tercinta. Nama ayahku adalah Mursyid bin Abdul Muthalib. Aku tidak tahu kapan ayahku menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Yang jelas, sejak aku lahir, ayahku sudah dipanggil orang Haji Mursyid. Ayah juga sering dipanggil masyarakat di kampungku dengan sebutan Haji Kopi. Katanya, dulu, ayah pernah sukses menggeluti bisnis kopi hingga dikenal di mana-mana. Namun, bisnis ayahku mengalami kerugian karena adanya orang-orang yang tidak bertanggung jawab menipu ayah.
Sebelum bertemu ibuku, ayah juga sempat menggeluti bisnis kayu gelondongan. Bisnisnya ini juga sempat sukses. Akan tetapi, karena bisnis ini terlalu beresiko, ayah pun berhenti dan mencari peruntungan selanjutnya di bisnis kopi. Rupanya, berawal dari usaha itulah yang mempertemukan ayah dengan ibuku. Mungkin, karena ayah sering masuk ke kampung-kampung membeli hasil kebun kopi dari penduduk, termasuk kampungku, maka lahirlah aku dan adik-adikku.
Ayahku lahir di Barabai, sebuah kota kabupaten di Kalimantan Selatan yang terkenal dengan kue khasnya “apam”, pada tanggal 21 Februari 1950, lima tahun setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan negeri kita tercinta ini. Ayah terlahir di lingkungan keluarga yang religius. Sejujurnya, aku tidak mengenal kakek dan nenekku dari pihak ayah karena keduanya sudah meninggal sebelum aku lahir, tapi aku tahu mereka adalah ayah dan ibu yang mendidik ayahku untuk senantiasa taat beribadah.
Didikan kakek dan nenek itulah yang ditularkan ayah kepadaku dan juga adik-adikku. Ayah selalu menasihati kami untuk dekat dengan Allah dalam kondisi apapun juga. Ayah begitu memerhatikan sejauh mana perkembangan wawasan dan pemahaman agama kami. Kata ayah, jika kita bersandar pada Allah, maka segala sesuatu itu akan terasa ringan. Tidak ada ada yang tidak mungkin di tangan Allah. Semuanya bisa diatur oleh-Nya. Ayah sering berpesan agar jangan takut menghadapi kehidupan selama kita memiliki Allah.
Dengan wawasan keilmuan yang ayah miliki di bidang keagamaan, ayah seringkali menjadi tempat bertanya orang-orang di kampung. Ia menjadi salah satu tokoh masyarakat, sering jadi imam shalat, dan juga khatib Jum‘at. Waktu kecil, aku dan adik-adikku sering diajak oleh ayah ke masjid. Dengan berpeci putih dan pakaian koko, kami mengiringinya dari belakang.
Ayahku termasuk orang yang cukup sibuk dengan usahanya. Ayah berangkat pagi ke kota dan pulang sore hari. Saat aku lahir, ayah sudah berganti usaha dari jual-beli kopi ke jual-beli bibit pohon atau tanaman. Walaupun sibuk, ayah selalu ingat kami. Pulang dari kerja, ayah tidak pernah lupa membawakan seplastik jajanan untuk kami. Isi plastik itu berbeda-beda setiap hari. Hari ini isinya bisa kue, besok bisa buah-buahan. Karena itu, kedatangan ayah selalu dinanti-nanti setiap sore. Kalau suara deru motor yang ayah kendarai sudah terdengar, kami langsung berlarian menyambut di ambang pintu.
Ayah pasti selalu mengatakan, “Nih, oleh-oleh... jangan rebutan dengan adik-adikmu, Hid.” Aku memang selalu dinasihati agar selalu mengalah sebagai anak sulung.
Di dalam plastik yang dibeli ayah selalu ada sebungkus rokok. Aku selalu mengamankannya dan langsung memberikannya pada ayah. Entah sejak kapan ayah mulai merokok. Sepertinya, merokok memang kebiasaan orang-orang tua zaman dahulu. Sehingga, merokok terasa wajar bagi orang-orang tua di sekitar kami.
Walaupun kami tahu ayah merokok, tapi ia melarang keras anak-anaknya mengikuti kebiasaan buruknya itu. Mungkin ayah ingin berhenti, tapi sulit baginya menyetop kebiasaan merokoknya. Ayah bisa menghabiskan satu-dua bungkus rokok per hari. Ini saja kebiasaan ayah yang tak kusukai sejak dulu karena aku takut rokok-rokok itu akan membahayakan kesehatannya.
Waktu yang kukhawatirkan itupun tiba. Rokok benar-benar memperlihatkan dampak buruknya. Ayah mengalami stroke ringan dan harus terbaring di rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan intensif. Ayahku harus menjalani pemulihan selama hampir setengah tahun sebelum bisa berjalan kembali. Setelah sembuh, ayah mulai mencoba berhenti merokok. Namun, ayah merokok kembali beberapa bulan setelah itu walaupun tidak sesering biasanya.
Setahun berjalan, kondisi ayah tampak baik-baik saja. Akan tetapi, tepat di usianya yang ke-66, di bulan Maret 2016 lalu, ayah tiba-tiba jatuh sakit. Ia harus dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri dan kondisi kesehatan yang memburuk. Dokter mengatakan bahwa ayah mengalami komplikasi. Aku menduga rokok-rokok itu sudah menyerang paru-paru, ginjal dan hati ayah kami. Pada hari Selasa, tanggal 29 Maret 2016, ayah mengakhiri perjuangan hidupnya. Ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. shah wa

Kampung Damai, 21 Desember 2017

Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar