“Ana Insan DP”. Tiga kata tersebut tertulis dengan jelas di
bagian depan kaos berwarna dasar merah tua itu. Di bawahnya ada tulisan kecil
berbunyi “The Show Must Go On”. Sedangkan di bagian belakang tepat di
bawah kerahnya tampak sebuah logo kombinasi angka 30 dan ujung mata pena. Kaos
apa itu? itulah kaos reuni yang dibuat untuk memperingati 30 tahun usia Warta
Mingguan Darussalam Pos yang disingkat menjadi DP, dan penyebutannya
sering ditulis dengan ‘depe’.
Warta Mingguan Darussalam Pos merupakan “rumah”
santri-santri Gontor yang gemar menulis dan tertarik pada dunia jurnalistik.
Dari sinilah terlahir jurnalis-jurnalis pondok
yang menyajikan berita-berita segar tentang beragam peristiwa di pondok
mereka setiap minggu. Warta Mingguan Darussalam Pos terbit tiap Jum‘at
pagi di etalase khusus yang berada di tengah-tengah pondok, tepatnya di sebelah
barat Gedung Saudi atau di sebelah timur Kantor Pimpinan Pondok.
Seminggu yang lalu, Darussalam Pos baru saja menggelar reuni
alumninya selama dua hari, Sabtu–Ahad, 16–17 Desember 2017. Reuni ini diadakan
dalam rangka memperingati usianya yang ke-30 tahun. Sejak tahun 1987, Darussalam
Pos telah berkontribusi membentuk budaya tulis menulis di pondok. Anak-anak
depe juga menggalakkannya secara rutin tiap tahun melalui acara bertajuk
kursus pers dan jurnalistik dengan menghadirkan tokoh-tokoh penulis nasional.
Dari sinilah mereka mencoba menyuntikkan motivasi menulis kepada teman-teman
santri yang lain.
Sepanjang tiga dekade ini, Darussalam Pos sudah melahirkan
ratusan alumni. Walaupun tidak semuanya terjun di dunia literasi, jiwa
jurnalisme mereka tidak pernah luntur. Begitu juga nilai-nilai yang diajarkan depe.
Bahkan, semangat kekeluargaan mereka semakin kuat. Idealisme mereka juga
semakin tajam. Itulah yang mendasari terlaksananya reuni di 30 tahun Darussalam
Pos ini. Generasi tua dan muda saling bertemu, besinergi, dan berbagi
pengalaman dan ide, hingga menyatukan tekad membangun umat bersama-sama melalui
Ikatan Keluarga Darussalam Pos (IKDP).
Anak-anak depe memang kompak. Tiga kata yang terpampang di
kaos reuni mereka itu juga menunjukkan sebuah kebanggaan yang dimiliki
anak-anak depe. Memang, anak-anak depe memang tampak bangga memperlihatkan
ke-depe-an mereka. Bersama kebanggaan itu hadirlah sebuah kekompakan.
Rasa bangga dan kekompakan mereka tentu dihasilkan melalui proses yang luar
biasa selama mereka berjuang bersama di Darussalam Pos. Proses itulah
yang memupuk kebanggaan dan kebersamaan anak-anak depe. Mereka
benar-benar menyatu menjadi sebuah keluarga besar yang terlahir dari ibu
kandung yang sama.
Maka, tidak heran jika anak-anak depe sering mengatakan
bahwa Darussalam Pos tempat mereka bernaung dan berjuang itu adalah ibu kandung
di dalam ibu kandung. Gontor, pondok yang mereka cintai ibarat ibu kandung yang
melahirkan mereka sebagai santri, yang terkenal dengan keunggulan mentalitas
dan kehebatan disiplinnya. Sedangkan Darussalam Pos ibarat ibu kandung
di dalam rahim Gontor yang membuat mereka terlahir kembali menjadi
santri-santri yang idealis, bercita-cita tinggi, dan pantang menyerah.
Idealisme dan semangat anak-anak depe bisa kita lihat dari
motto mereka yang juga tertulis di kaos reuni tersebut, yaitu “the show must
go on”. Demi memuaskan para pembaca yang menanti-nanti berita mereka setiap
Jum‘at, anak-anak depe berjibaku hingga larut malam. Mereka ingin
memastikan berita bisa terbit tepat waktu. Saat santri yang lain tidur dengan
nyenyaknya, mereka masih sibuk menyunting tulisan, melakukan lay-outing,
dan lain sebagainya. Pengalaman ini pasti dirasakan semua alumni Darussalam
Pos. Tapi, lelah mereka hilang saat menyaksikan santri-santri berkerumun
membaca tulisan mereka di etalase Darussalam Pos.
Motto itu juga menggambarkan tipikal anak depe yang pantang
menyerah untuk mewujudkan sebuah ide menjadi aksi, untuk mewujudkan mimpi
menjadi nyata. Jika mereka sudah merencanakan sesuatu, maka dengan segala cara
rencana itu harus terlaksana.
Tidak hanya penerbitan saja yang harus terbit jika sudah
dijadwalkan, tapi acara lain yang sudah mereka programkan juga mesti
terlaksana. Misalnya, saat mereka sudah sepakat akan mengadakan seminar atau
bedah buku dengan mengundang penulis kondang tingkat nasional. Mereka tahu tak
ada dana dari pondok yang menyokong acara itu. Satu hal yang paling penting
bagi mereka, yaitu dapat izin terlebih dahulu untuk mengadakan acara tersebut.
Jika sudah dapat izin, mereka akan mulai berpikir bersama mencari dana.
Di sinilah militansi, dedikasi, dan etos kerja anak-anak depe
berbicara. Upaya anak-anak depe itu adalah wujud nyata dari pengamalan idzaa
shadaqa al-‘azmu wadhaha as-sabiil, yaitu di mana ada kemauan, di
situ pasti ada jalan.
Ada satu lagi motto anak-anak depe yang menggambarkan
cita-cita tinggi mereka, yaitu “Now Go Out and Change the World”. Tentu saja
motto itu memperlihatkan kehebatan tulisan yang bisa memengaruhi orang sedunia,
dan mungkin bisa mengubah wajah dunia seluruhnya. Itulah cita-cita tertinggi Darussalam
Pos, yakni melahirkan orang-orang yang tulisannya bisa mengubah dunia.
Pada perkembangannya, anak-anak depe tidak harus berjuang
lewat tulisan untuk bisa mengubah dunia ini. Tapi, mereka tetap punya semangat
itu, semangat yang selalu muncul setiap kali mereka melihat lambang Darussalam
Pos. Lambang itu merupakan kombinasi huruf “d” dan huruf “p”
yang membentuk bola dunia dengan warna dasar biru. Kata para pendiri depe,
jika anak-anak depe tidak punya tekad untuk menaklukkan dunia, maka
ganti saja lambang depe dengan gambar kacang mete. Semangatlah,
anak-anak depe! Teruslah menulis dan mulailah taklukkan duniamu. shah
wa
Kampung Damai, 23 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar