Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Sabtu, 23 Desember 2017

Ana Insan ‘Depe’

Ana Insan DP”. Tiga kata tersebut tertulis dengan jelas di bagian depan kaos berwarna dasar merah tua itu. Di bawahnya ada tulisan kecil berbunyi “The Show Must Go On”. Sedangkan di bagian belakang tepat di bawah kerahnya tampak sebuah logo kombinasi angka 30 dan ujung mata pena. Kaos apa itu? itulah kaos reuni yang dibuat untuk memperingati 30 tahun usia Warta Mingguan Darussalam Pos yang disingkat menjadi DP, dan penyebutannya sering ditulis dengan ‘depe’.
Warta Mingguan Darussalam Pos merupakan “rumah” santri-santri Gontor yang gemar menulis dan tertarik pada dunia jurnalistik. Dari sinilah terlahir jurnalis-jurnalis pondok  yang menyajikan berita-berita segar tentang beragam peristiwa di pondok mereka setiap minggu. Warta Mingguan Darussalam Pos terbit tiap Jum‘at pagi di etalase khusus yang berada di tengah-tengah pondok, tepatnya di sebelah barat Gedung Saudi atau di sebelah timur Kantor Pimpinan Pondok.
Seminggu yang lalu, Darussalam Pos baru saja menggelar reuni alumninya selama dua hari, Sabtu–Ahad, 16–17 Desember 2017. Reuni ini diadakan dalam rangka memperingati usianya yang ke-30 tahun. Sejak tahun 1987, Darussalam Pos telah berkontribusi membentuk budaya tulis menulis di pondok. Anak-anak depe juga menggalakkannya secara rutin tiap tahun melalui acara bertajuk kursus pers dan jurnalistik dengan menghadirkan tokoh-tokoh penulis nasional. Dari sinilah mereka mencoba menyuntikkan motivasi menulis kepada teman-teman santri yang lain. 
Sepanjang tiga dekade ini, Darussalam Pos sudah melahirkan ratusan alumni. Walaupun tidak semuanya terjun di dunia literasi, jiwa jurnalisme mereka tidak pernah luntur. Begitu juga nilai-nilai yang diajarkan depe. Bahkan, semangat kekeluargaan mereka semakin kuat. Idealisme mereka juga semakin tajam. Itulah yang mendasari terlaksananya reuni di 30 tahun Darussalam Pos ini. Generasi tua dan muda saling bertemu, besinergi, dan berbagi pengalaman dan ide, hingga menyatukan tekad membangun umat bersama-sama melalui Ikatan Keluarga Darussalam Pos (IKDP).
Anak-anak depe memang kompak. Tiga kata yang terpampang di kaos reuni mereka itu juga menunjukkan sebuah kebanggaan yang dimiliki anak-anak depe. Memang, anak-anak depe memang tampak bangga memperlihatkan ke-depe-an mereka. Bersama kebanggaan itu hadirlah sebuah kekompakan. Rasa bangga dan kekompakan mereka tentu dihasilkan melalui proses yang luar biasa selama mereka berjuang bersama di Darussalam Pos. Proses itulah yang memupuk kebanggaan dan kebersamaan anak-anak depe. Mereka benar-benar menyatu menjadi sebuah keluarga besar yang terlahir dari ibu kandung yang sama.
Maka, tidak heran jika anak-anak depe sering mengatakan bahwa Darussalam Pos tempat mereka bernaung dan berjuang itu adalah ibu kandung di dalam ibu kandung. Gontor, pondok yang mereka cintai ibarat ibu kandung yang melahirkan mereka sebagai santri, yang terkenal dengan keunggulan mentalitas dan kehebatan disiplinnya. Sedangkan Darussalam Pos ibarat ibu kandung di dalam rahim Gontor yang membuat mereka terlahir kembali menjadi santri-santri yang idealis, bercita-cita tinggi, dan pantang menyerah.
Idealisme dan semangat anak-anak depe bisa kita lihat dari motto mereka yang juga tertulis di kaos reuni tersebut, yaitu “the show must go on”. Demi memuaskan para pembaca yang menanti-nanti berita mereka setiap Jum‘at, anak-anak depe berjibaku hingga larut malam. Mereka ingin memastikan berita bisa terbit tepat waktu. Saat santri yang lain tidur dengan nyenyaknya, mereka masih sibuk menyunting tulisan, melakukan lay-outing, dan lain sebagainya. Pengalaman ini pasti dirasakan semua alumni Darussalam Pos. Tapi, lelah mereka hilang saat menyaksikan santri-santri berkerumun membaca tulisan mereka di etalase Darussalam Pos.
Motto itu juga menggambarkan tipikal anak depe yang pantang menyerah untuk mewujudkan sebuah ide menjadi aksi, untuk mewujudkan mimpi menjadi nyata. Jika mereka sudah merencanakan sesuatu, maka dengan segala cara rencana itu harus terlaksana.
Tidak hanya penerbitan saja yang harus terbit jika sudah dijadwalkan, tapi acara lain yang sudah mereka programkan juga mesti terlaksana. Misalnya, saat mereka sudah sepakat akan mengadakan seminar atau bedah buku dengan mengundang penulis kondang tingkat nasional. Mereka tahu tak ada dana dari pondok yang menyokong acara itu. Satu hal yang paling penting bagi mereka, yaitu dapat izin terlebih dahulu untuk mengadakan acara tersebut. Jika sudah dapat izin, mereka akan mulai berpikir bersama mencari dana.
Di sinilah militansi, dedikasi, dan etos kerja anak-anak depe berbicara. Upaya anak-anak depe itu adalah wujud nyata dari pengamalan idzaa shadaqa al-‘azmu wadhaha as-sabiil, yaitu di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan.    
Ada satu lagi motto anak-anak depe yang menggambarkan cita-cita tinggi mereka, yaitu “Now Go Out and Change the World”. Tentu saja motto itu memperlihatkan kehebatan tulisan yang bisa memengaruhi orang sedunia, dan mungkin bisa mengubah wajah dunia seluruhnya. Itulah cita-cita tertinggi Darussalam Pos, yakni melahirkan orang-orang yang tulisannya bisa mengubah dunia.
Pada perkembangannya, anak-anak depe tidak harus berjuang lewat tulisan untuk bisa mengubah dunia ini. Tapi, mereka tetap punya semangat itu, semangat yang selalu muncul setiap kali mereka melihat lambang Darussalam Pos. Lambang itu merupakan kombinasi huruf “d” dan huruf “p” yang membentuk bola dunia dengan warna dasar biru. Kata para pendiri depe, jika anak-anak depe tidak punya tekad untuk menaklukkan dunia, maka ganti saja lambang depe dengan gambar kacang mete. Semangatlah, anak-anak depe! Teruslah menulis dan mulailah taklukkan duniamu. shah wa

Kampung Damai, 23 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar