Aku adalah orang yang sedang belajar bersabar. Hasilnya, sebagian teman
mengenalku sebagai seorang penyabar, sebagian lagi mengenalku sebagai orang
yang kadang-kadang mudah tersulut emosi. Memang, aku bisa bersabar dalam beberapa
hal dan bisa kehilangan kesabaran dalam hal-hal yang lain. Sejujurnya, aku
ingin tumbuh menjadi orang yang sabar dalam segala hal karena aku tahu bahwa
Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar.
Menjadi orang sabar itu memang tidak mudah. Apalagi, aku tumbuh di
lingkungan yang seringkali mempertontonkan ketidaksabaran hati dan emosi. Sejak
kecil, aku selalu mendapati nenekku marah-marah. Ibuku juga demikian. Untunglah
aku mempunyai ayah yang penyabar. Ia mengajari kami bagaimana menjadi orang
yang tenang dan bagaimana diam bisa menjadi obat kemarahan.
Seiring berjalannya waktu, aku terus belajar dan belajar hingga aku
mulai memahami banyak hal. Aku mulai mengerti makna sabar. Aku mulai tahu
bagaimana cara menahan emosi. Namun, aku berubah menjadi orang yang sedikit
pendiam, tidak banyak bicara. Dalam diam aku menemukan ketenangan. Terkadang,
kata-kata bisa membuat kita tersinggung dan perlahan membuat kita marah. Inilah
yang kuhindari dengan diamku.
Sejak SD, aku hanya bicara seperlunya saja. Aku lebih banyak
menjadi pendengar yang baik. Sikapku ini membuat teman-temanku menganggapku
orang yang cool, kalem, dan sabar. Terkadang diamku disertai senyuman
untuk membalas sapaan kawan-kawan. Itu sudah cukup bermakna bagi mereka bahwa
aku tidak mau diganggu.
Suatu ketika, pada waktu aku masih duduk di bangku Taman
Kanak-kanak atau TK. Ada seorang anak yang nakal sekali. Ia seringkali
mengganggu teman-temannya hingga membuat mereka menangis. Tidak ada satu anak
pun yang berani melawannya. Ia seperti raja saja saat itu. Bagiku, tidak
masalah ia mau senakal apapun asal tangannya tidak sampai menyentuh kulitku.
Jika itu terjadi, aku berjanji akan menghentikan kenakalannya.
Hingga akhirnya peristiwa itu terjadi. Dia datang tiba-tiba ke
mejaku dan mengobrak-abrik peralatan belajarku. Mejaku berantakan. Emosiku
memuncak seketika. Aku berdiri memandanginya. Dengan mata sinis ia menatapku.
Jantungku berdegup kencang. Tanganku terkepal. Napasku semakin cepat. Anak itu
seperti tidak menyadari emosiku yang terus memuncak. Dia malah mendorongku
dengan tangannya hingga aku terjatuh.
Aku bangkit dan langsung mendorongnya. Tidak ada sedikit pun
ketakutan di dalam diriku. Hanya ada keberanian melawannya. Anak itu
mencengkeram bajuku. Aku pun membalasnya. Kami saling dorong hingga keluar dari
ruang kelas. Kemudian kami bergulat di halaman sekolah. Dengan segala kekuatan
yang kupunya aku melancarkan pukulan-pukulan keras. Aku juga mendapatkan
pukulan darinya, tapi pukulanku lebih keras daripada pukulannya. Kami bergumul
di atas rumput. Lalu aku menguncinya dengan keras hingga ia tak bisa bergerak.
Rupanya, beberapa pukulanku terasa menyakitkan. Anak itupun menangis kencang.
Lalu ibu guru datang melerai kami.
Kami dipisahkan dan dipegangi. Kami berdua ditenangkan. Andre, nama
anak itu, masih menangis dengan kencang. Teman-teman di sekeliling seperti puas
melihat Andre menangis. Saat aku ditanya ibu guru kenapa berkelahi, barulah aku
menangis dan mengatakan bahwa si Andre yang memulai perkelahian itu terlebih
dahulu. Ibu guru mengangguk-angguk dan mengiyakan pembelaanku karena Andre
memang tidak pernah mendengar nasihat guru-guru. Kenalakannya sempat membuat
mereka pusing.
Kami kemudian dibawa ke kantor dan ditenangkan secara terpisah.
Andre dinasihati oleh beberapa guru. Ia masih terisak-isak saat itu. Sementara
aku sudah mulai tenang karena guru-guru tidak menyalahkanku. Mereka
memakluminya asal aku tidak mengulanginya lagi. Kami berdua disuruh ibu guru
bersalaman. Kujulurkan tanganku, Andre menyambutnya disertai isak tangis yang
masih belum reda.
Rupanya kejadian itu membuat Andre berubah. Ia tidak nakal lagi.
Tak ada satupun anak yang kembali mendapatkan gangguannya. Ia telah berubah
menjadi anak yang kalem. Andre tidak lagi merasa seperti jagoan yang ditakuti
teman-teman sekelasnya. Aku pun kaget melihat perubahan itu. Benar-benar tak
disangka. Sejak saat itu, tidak ada lagi Andre yang nakal. Ia telah menjadi
sahabatku hingga kami melanjutkan pendidikan ke jenjang SD.
Sejak itu pula aku belajar mengendalikan emosiku yang kusadari bisa
meledak kapan saja. Hatiku kutenangkan dengan zikir. Kepalaku kudinginkan
dengan sujud. Lidahku kuikat dengan istighfar. Lidah kita itu tercipta sangat tajam laksana pedang, ia bisa
melukai orang lain jika ia tidak diikat dengan kalimah tayyibah. Aku
tahu bagaimana sakitnya saat lidah seseorang melukai hatiku. Perihnya tak
tertahankan.
Karena itulah aku menghindarkan diri dari saling mengolok, saling
mengejek, dan berbicara kasar. Bahkan, aku tidak mau memanggil temanku dengan
panggilan buatan selain nama panggilan pemberian orang tuanya, walaupun
panggilan buatan itu tampak ia sukai. Aku termasuk orang yang meyakini bahwa
nama adalah doa, dan aku sangat menghargai nama buatan orang tuanya. shah
wa
Kampung Damai, 8 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar