Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Kamis, 14 Desember 2017

Sabarlah Bersabar

Aku adalah orang yang sedang belajar bersabar. Hasilnya, sebagian teman mengenalku sebagai seorang penyabar, sebagian lagi mengenalku sebagai orang yang kadang-kadang mudah tersulut emosi. Memang, aku bisa bersabar dalam beberapa hal dan bisa kehilangan kesabaran dalam hal-hal yang lain. Sejujurnya, aku ingin tumbuh menjadi orang yang sabar dalam segala hal karena aku tahu bahwa Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar.
Menjadi orang sabar itu memang tidak mudah. Apalagi, aku tumbuh di lingkungan yang seringkali mempertontonkan ketidaksabaran hati dan emosi. Sejak kecil, aku selalu mendapati nenekku marah-marah. Ibuku juga demikian. Untunglah aku mempunyai ayah yang penyabar. Ia mengajari kami bagaimana menjadi orang yang tenang dan bagaimana diam bisa menjadi obat kemarahan.
Seiring berjalannya waktu, aku terus belajar dan belajar hingga aku mulai memahami banyak hal. Aku mulai mengerti makna sabar. Aku mulai tahu bagaimana cara menahan emosi. Namun, aku berubah menjadi orang yang sedikit pendiam, tidak banyak bicara. Dalam diam aku menemukan ketenangan. Terkadang, kata-kata bisa membuat kita tersinggung dan perlahan membuat kita marah. Inilah yang kuhindari dengan diamku.
Sejak SD, aku hanya bicara seperlunya saja. Aku lebih banyak menjadi pendengar yang baik. Sikapku ini membuat teman-temanku menganggapku orang yang cool, kalem, dan sabar. Terkadang diamku disertai senyuman untuk membalas sapaan kawan-kawan. Itu sudah cukup bermakna bagi mereka bahwa aku tidak mau diganggu.
Suatu ketika, pada waktu aku masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak atau TK. Ada seorang anak yang nakal sekali. Ia seringkali mengganggu teman-temannya hingga membuat mereka menangis. Tidak ada satu anak pun yang berani melawannya. Ia seperti raja saja saat itu. Bagiku, tidak masalah ia mau senakal apapun asal tangannya tidak sampai menyentuh kulitku. Jika itu terjadi, aku berjanji akan menghentikan kenakalannya.
Hingga akhirnya peristiwa itu terjadi. Dia datang tiba-tiba ke mejaku dan mengobrak-abrik peralatan belajarku. Mejaku berantakan. Emosiku memuncak seketika. Aku berdiri memandanginya. Dengan mata sinis ia menatapku. Jantungku berdegup kencang. Tanganku terkepal. Napasku semakin cepat. Anak itu seperti tidak menyadari emosiku yang terus memuncak. Dia malah mendorongku dengan tangannya hingga aku terjatuh.
Aku bangkit dan langsung mendorongnya. Tidak ada sedikit pun ketakutan di dalam diriku. Hanya ada keberanian melawannya. Anak itu mencengkeram bajuku. Aku pun membalasnya. Kami saling dorong hingga keluar dari ruang kelas. Kemudian kami bergulat di halaman sekolah. Dengan segala kekuatan yang kupunya aku melancarkan pukulan-pukulan keras. Aku juga mendapatkan pukulan darinya, tapi pukulanku lebih keras daripada pukulannya. Kami bergumul di atas rumput. Lalu aku menguncinya dengan keras hingga ia tak bisa bergerak. Rupanya, beberapa pukulanku terasa menyakitkan. Anak itupun menangis kencang. Lalu ibu guru datang melerai kami.
Kami dipisahkan dan dipegangi. Kami berdua ditenangkan. Andre, nama anak itu, masih menangis dengan kencang. Teman-teman di sekeliling seperti puas melihat Andre menangis. Saat aku ditanya ibu guru kenapa berkelahi, barulah aku menangis dan mengatakan bahwa si Andre yang memulai perkelahian itu terlebih dahulu. Ibu guru mengangguk-angguk dan mengiyakan pembelaanku karena Andre memang tidak pernah mendengar nasihat guru-guru. Kenalakannya sempat membuat mereka pusing.
Kami kemudian dibawa ke kantor dan ditenangkan secara terpisah. Andre dinasihati oleh beberapa guru. Ia masih terisak-isak saat itu. Sementara aku sudah mulai tenang karena guru-guru tidak menyalahkanku. Mereka memakluminya asal aku tidak mengulanginya lagi. Kami berdua disuruh ibu guru bersalaman. Kujulurkan tanganku, Andre menyambutnya disertai isak tangis yang masih belum reda.
Rupanya kejadian itu membuat Andre berubah. Ia tidak nakal lagi. Tak ada satupun anak yang kembali mendapatkan gangguannya. Ia telah berubah menjadi anak yang kalem. Andre tidak lagi merasa seperti jagoan yang ditakuti teman-teman sekelasnya. Aku pun kaget melihat perubahan itu. Benar-benar tak disangka. Sejak saat itu, tidak ada lagi Andre yang nakal. Ia telah menjadi sahabatku hingga kami melanjutkan pendidikan ke jenjang SD.
Sejak itu pula aku belajar mengendalikan emosiku yang kusadari bisa meledak kapan saja. Hatiku kutenangkan dengan zikir. Kepalaku kudinginkan dengan sujud. Lidahku kuikat dengan istighfar. Lidah kita itu tercipta sangat tajam laksana pedang, ia bisa melukai orang lain jika ia tidak diikat dengan kalimah tayyibah. Aku tahu bagaimana sakitnya saat lidah seseorang melukai hatiku. Perihnya tak tertahankan.
Karena itulah aku menghindarkan diri dari saling mengolok, saling mengejek, dan berbicara kasar. Bahkan, aku tidak mau memanggil temanku dengan panggilan buatan selain nama panggilan pemberian orang tuanya, walaupun panggilan buatan itu tampak ia sukai. Aku termasuk orang yang meyakini bahwa nama adalah doa, dan aku sangat menghargai nama buatan orang tuanya. shah wa

Kampung Damai, 8 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid 
  


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar