Tidak lama setelah resmi menjadi kru Warta Mingguan Darussalam Pos
(DP), aku langsung menemukan keunikan instansi pemegang hak kegiatan
jurnalistik di Pondok Modern Darussalam Gontor ini. Di ruangan yang tidak
terlalu luas itu, mereka bebas berbahasa Indonesia. Ternyata, di tengah
ketatnya peraturan pondok untuk berbahasa Arab dan Inggris, ada satu tempat
untuk pengembangan bahasa Indonesia, yaitu Darussalam Pos.
Di sana mereka mencoba berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Mereka juga belajar menulis menggunakan bahasa Indonesia yang tersusun dengan
rapi, dituliskan dengan gaya jurnalistik yang merujuk pada salah satu surat
kabar nasional. Mereka berdebat, berdiskusi, dan menggelar sidang redaksi
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Hebatnya lagi, mereka punya peraturan tidak berbahasa Indonesia di
luar ruangan itu. Keluar dari ruangan, mereka harus mematuhi peraturan pondok,
berbahasa Arab dan Inggris. Anak-anak Darussalam Pos memang cerdas-cerdas,
berdisiplin dengan baik. Mereka tahu kapan berbahasa Indonesia, kapan berbahasa
Arab, dan kapan berbahasa Inggris. Karena itu, tidak heran jika bahasa Arab dan
Inggris anak-anak jurnalis pondok ini patut diacungi jempol.
Buktinya, setiap tahun di antara kader mereka ada saja yang
direkrut Bagian Penggerak Bahasa Pusat Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM)
atau diangkat menjadi bagian CLI (The Center for Language Improvement). Walaupun
salah satu anggota mereka telah menjadi penegak bahasa, saat masuk ruangan
Darussalam Pos, ia menanggalkan “jabatan” dan membiarkan anak-anak DP berbahasa
Indonesia di ruangan itu.
Dengan terbitnya majalah dinding DP sejak tahun 80-an, tepatnya
tahun 1987, pondok mulai mengembangkan bakat jurnalistik dan bakat menulis
santri-santrinya. Majalah dinding diterbitkan menggunakan bahasa Indonesia.
Secara tidak langsung, pondok membiarkan anak-anak yang suka menulis
mengembangkan kemampuan menulis mereka menggunakan bahasa Indonesia, bahasa ibu
kita.
Sadar tidak sadar, keberadaan Darussalam Pos di tengah-tengah
santri merupakan cara pondok melestarikan bahasa Indonesia di antara dua bahasa
wajib Gontor, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Penyajian berita-berita DP yang
menggunakan bahasa Indonesia itu secara tidak langsung mengajari santri-santri
bahasa Ibu Pertiwi. Mereka membaca, mereka belajar. Mereka yang menulis juga
belajar. Semuanya belajar.
Karena itu, Indonesia tidak perlu takut kehilangan bahasanya karena
pondok mewajibkan santri-santri berbahasa Arab dan Inggris. Gontor telah
mengajari ribuan santrinya berbahasa Indonesia yang baik dan benar melalui
Darussalam Pos. shah wa
Kampung Damai, 3 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar