Dua puluh lima Desember tiba. Kita menyaksikan ramainya orang-orang
berpakaian ala Sinterklas. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Sinterklas,
asal-usulnya, dan apakah ia hanya tokoh fiktif atau memang pernah ada dan
menginspirasi orang-orang untuk menirunya. Aku tidak tahu banyak tentangnya dan
masih banyak orang lain yang juga tidak mengetahuinya. Yang pasti, Sinterklas
merupakan ikon perayaan hari besar umat Kristiani setiap tanggal 25 Desember,
yaitu Natal.
Selain pohon cemara yang dihiasi lampu-lampu beraneka warna, wujud
Sinterklas dengan pakaian putih-merahnya juga bisa kita temukan di berbagai
tempat saat perayaan Natal. Meski tak menemukan orang berdandan seperti
Sinterklas, kita pasti menemukan ciri khasnya, yaitu atribut putih-merah
tersebut. Setidaknya, kita akan menemukan orang-orang yang mengenakan topinya.
Itu artinya, mereka tengah merayakan Natal.
Jika Anda tinggal di daerah perkotaan, mungkin Anda menyaksikan
sejumlah toko atau pusat perbelanjaan yang ikut merayakannya sebagai wujud
toleransi. Bisa jadi, ada replika pohon cemara yang berdiri tegak di tengah
toko atau sekadar ucapan “Selamat Natal” yang terpasang di depan pintu. Atau,
Anda bisa menemukan para pelayannya berpakaian dengan dilengkapi atribut milik
si Sinterklas.
Namun, bisa jadi mereka terpaksa memakainya karena diwajibkan pemilik
toko. Jika tidak, mereka mungkin bisa dipecat. Kenapa kita mempertanyakan orang-orang yang mengenakan atribut Natal itu? Karena mereka
beragama Islam. Islam tidak memperkenankan umatnya ikut merayakan Natal.
Hukumnya haram. Bagi Islam, merayakan Natal sama dengan mengakui Isa al-Masih
sebagai anak Tuhan atau menyatakan bahwa Tuhan telah melahirkan anak. Dengan
kata lain, kita diajak untuk menyekutukan Allah alias melakukan kemusyrikan
yang dosanya begitu besar hingga tak diampuni Allah.
Dengan alasan apapun, seorang Muslim tidak bisa dipaksa merayakan
hari besar agama lain. Islam juga tidak pernah meminta umat agama lain untuk
ikut-ikutan merayakan hari besarnya. Jika pemaksaan itu sampai terjadi, maka telah
terjadi pelanggaran atas undang-undang yang menjamin kebebasan beragama setiap
warga negara. Tidak ikut merayakan bukan berarti tidak bertoleransi.
Sebaliknya, jika Anda memaksa umat Islam ikut merayakannya, maka Andalah yang
sudah bersikap intoleran. shah wa
Kampung Damai, 24 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar