Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Senin, 25 Desember 2017

Natal dan Toleransi

Dua puluh lima Desember tiba. Kita menyaksikan ramainya orang-orang berpakaian ala Sinterklas. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Sinterklas, asal-usulnya, dan apakah ia hanya tokoh fiktif atau memang pernah ada dan menginspirasi orang-orang untuk menirunya. Aku tidak tahu banyak tentangnya dan masih banyak orang lain yang juga tidak mengetahuinya. Yang pasti, Sinterklas merupakan ikon perayaan hari besar umat Kristiani setiap tanggal 25 Desember, yaitu Natal.
Selain pohon cemara yang dihiasi lampu-lampu beraneka warna, wujud Sinterklas dengan pakaian putih-merahnya juga bisa kita temukan di berbagai tempat saat perayaan Natal. Meski tak menemukan orang berdandan seperti Sinterklas, kita pasti menemukan ciri khasnya, yaitu atribut putih-merah tersebut. Setidaknya, kita akan menemukan orang-orang yang mengenakan topinya. Itu artinya, mereka tengah merayakan Natal.
Jika Anda tinggal di daerah perkotaan, mungkin Anda menyaksikan sejumlah toko atau pusat perbelanjaan yang ikut merayakannya sebagai wujud toleransi. Bisa jadi, ada replika pohon cemara yang berdiri tegak di tengah toko atau sekadar ucapan “Selamat Natal” yang terpasang di depan pintu. Atau, Anda bisa menemukan para pelayannya berpakaian dengan dilengkapi atribut milik si Sinterklas.
Namun, bisa jadi mereka terpaksa memakainya karena diwajibkan pemilik toko. Jika tidak, mereka mungkin bisa dipecat. Kenapa kita mempertanyakan orang-orang yang mengenakan atribut Natal itu? Karena mereka beragama Islam. Islam tidak memperkenankan umatnya ikut merayakan Natal. Hukumnya haram. Bagi Islam, merayakan Natal sama dengan mengakui Isa al-Masih sebagai anak Tuhan atau menyatakan bahwa Tuhan telah melahirkan anak. Dengan kata lain, kita diajak untuk menyekutukan Allah alias melakukan kemusyrikan yang dosanya begitu besar hingga tak diampuni Allah.
Dengan alasan apapun, seorang Muslim tidak bisa dipaksa merayakan hari besar agama lain. Islam juga tidak pernah meminta umat agama lain untuk ikut-ikutan merayakan hari besarnya. Jika pemaksaan itu sampai terjadi, maka telah terjadi pelanggaran atas undang-undang yang menjamin kebebasan beragama setiap warga negara. Tidak ikut merayakan bukan berarti tidak bertoleransi. Sebaliknya, jika Anda memaksa umat Islam ikut merayakannya, maka Andalah yang sudah bersikap intoleran. shah wa

Kampung Damai, 24 Desember 2017

Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar