Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Selasa, 05 Desember 2017

Reuni Alumni 212

Dua Desember 2016 menjadi sejarah baru bagi umat Islam di Indonesia. Hari bersejarah itu kemudian dikenal dengan sebutan “Aksi Bela Islam 212”. Pada hari itu, umat Islam dari seluruh penjuru Tanah Air datang ke Jakarta. Jumlahnya jutaan orang. Entah berapa tepatnya. Ada yang menyebutnya mencapai 7 juta orang. Yang pasti, belum pernah ada jamaah sebanyak itu yang berkumpul di Monas dan sekitarnya.
Jika dilihat dari atas atau dari tayangan televisi, Monas tampak memutih dikelilingi umat manusia. Pemandangan itu mengingatkan kita pada momen umat Islam tawaf mengelilingi Ka’bah. Ada rasa haru menyaksikan berkumpulnya umat Islam pada tanggal 2 Desember 2016 itu. Mereka bersatu menanggalkan segala perbedaan yang kami tahu sering menjadi penyebab pertikaian selama ini.
Beberapa hari yang lalu, pada tanggal yang sama, mereka bereuni setelah aksi membela agama Allah itu setahun berlalu. Mereka datang dengan semangat yang masih sama, dengan tujuan yang tetap sama, lillah. Mereka datang dengan kebanggaan sebagai umat Islam walaupun tetap ada yang mempertanyakan untuk apa reuni itu diadakan. Sungguh orang-orang yang mempertanyakan itu tidak tahu bagaimana nikmatnya iman yang mereka rasakan. 
Semua orang mestinya tahu, umat yang berkumpul pada hari itu tidak hanya berasal dari satu golongan atau kelompok tertentu. Mereka juga bukan orang-orang yang dibayar agar datang. Tidak ada yang sanggup membayar orang sebanyak itu untuk memenuhi Monas. Mereka berasal dari semua golongan umat Islam. Mereka datang atas nama Islam, bukan atas nama golongan. Mereka datang karena panggilan iman, bukan karena selembar dua lembar uang rupiah atau sebungkus nasi dan sekotak makanan. Mereka datang menuntut keadilan untuk Allah, untuk kitab-Nya. Mereka datang sebagai hamba Allah, tidak lebih dari itu.
Ternyata, umat kita bisa bersatu. Mereka pun sanggup berkorban harta, tenaga, bahkan jiwa untuk membela agama Allah. Ghirah yang pernah dipertanyakan Buya Hamka itu masih dimiliki umat Islam Indonesia. Ketika agama mereka diinjak-injak dan ayat Allah dihina, mereka membuktikan diri siap membela di barisan terdepan.
Aksi 212 itu memang fenomenal. Di tengah maraknya upaya musuh memecah belah umat, aksi 212 memperlihatkan kepada kita bahwa umat Islam dapat disatukan dengan mudah atas izin Allah. Semua golongan umat saling bergandeng tangan. Orang NU duduk bersama orang-orang Muhammadiyah, Persis, HTI, dan lain sebagainya. Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata. Musuh-musuh Islam pun gigit jari melihatnya.
Banyak yang mengatakan aksi itu bermuatan politik. Bagi orang yang mengerti ajaran Nabi Muhammad Saw, Islam memang tidak bisa dilepaskan dari semua sisi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik. Islam adalah agama paripurna yang mengatur segala sisi kehidupan kita, dari yang dianggap hal remeh hingga hal-hal besar menyangkut hidup setelah mati. Mereka bisa menemukan semuanya di dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Biarkan saja orang-orang mengatakan aksi itu sebagai aksi politik yang mengatasnamakan agama. Biarkan saja mereka mengatakan aksi itu sebagai aksi politisasi agama. Tahukah mereka bahwa umat Islam diwajibkan Allah di dalam al-Qur’an untuk berpolitik?
Ya, Surat al-Maidah ayat 51 yang diperjuangkan umat Islam itu adalah perintah Allah untuk memilih pemimpin seakidah, pemimpin dari kalangan umat Islam alias pemimpi Muslim. Bukankah politik itu tidak lebih dari mencari seorang pemimpin untuk kita? Umat Islam juga berhak menentukan pemimpin mereka, bukan hak kalian saja.
Boleh saja kalian mengatakan aksi 212 itu sebagai aksi politik. Kami tidak akan menampiknya. Tapi, kalian jangan mengatakan bahwa aksi ini sebagai aksi intoleran dan merusak kedamaian. Tidakkah kalian menyaksikan bahwa aksi itu berjalan damai? Umat Islam juga memperlihatkan toleransi mereka yang sangat tinggi. Mereka tidak merusak apa-apa. Mereka juga tidak mengganggu orang lain yang tidak seakidah atau tidak sepaham. Mereka hanya datang memenuhi panggilan iman.
Jika memang ada yang memanfaatkan aksi itu untuk kepentingan pribadinya, itu urusan dia sendiri. Dia telah keluar dari barisan umat. Dia adalah pengkhianat yang sama-sama akan kita hakimi. Peserta aksi 212 yang sebenarnya adalah hamba-hamba Allah yang mencintai perdamaian dan keadilan. Karena itu, jika Anda juga cinta damai dan mengerti keadilan, maka Anda tidak perlu khawatir dengan aksi ini. shah wa

Kampung Damai, 5 Desember 2017
Abdul Wahid Mursyid

1 komentar:

  1. thank nice infonya sangat menarik,kunjungi http://bit.ly/2PFnTLA

    BalasHapus