Ayah pergi menghadap Allah dengan meninggalkan dua istri dan
delapan orang anaknya yang telah dewasa. Masing-masing istrinya dikaruniai
empat orang anak. Istri pertamanya sudah lama mendahului pergi meninggalkan
dunia yang fana ini. Dari istri pertama, ayah memiliki tiga orang anak
perempuan dan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua, ibuku,
keempat anaknya jagoan semua alias laki-laki. Aku adalah putra tertuanya.
Keempat anak ayah dari istri pertamanya lebih tua dariku. Tentu
saja, aku dan adik-adik memanggil mereka kakak. Walaupun kami tidak tinggal
serumah, ayah sering mengajak kakak-kakak bermain bersama kami. Sehingga, kami
tumbuh akrab layaknya saudara seayah-seibu.
Kakak pertama kami bernama Murdiah. Kami memanggilnya Kak Mumuy. Ia
sudah dikaruniai tiga orang putra. Kini, ia tinggal di Alalak, Marabahan,
Kabupaten Barito Kuala, bersama suaminya.
Kakak kedua bernama Norlaila, biasa dipanggil Kak Ila. Orangnya ceria,
ramah, dan murah senyum. Namun, Allah memanggilnya begitu cepat. Kami sangat
kehilangan kakak yang satu ini. Meninggalnya begitu tiba-tiba menjelang hari
resepsi pernikahanku di Kambat, Barabai. Katanya, ia sudah mempersiapkan diri
untuk hadir di acara istimewaku itu. Tapi, Allah berkehendak lain.
Sebulan sebelum acaraku, ia tak sadarkan diri. Setelah dilarikan ke
rumah sakit, dokter mendapatkan pendarahan di kepala bagian dalam. Usut punya
usut, ternyata kepalanya sempat terbentu dinding saat meninabobokan putra
kecilnya. Benturan itu keras. Tapi, karena tidak terlihat adanya cedera kepala
dari luar, Kak Ila membiarkan saja. Sakit kepala atau pusing-pusing yang ia
rasakan belakangan dianggap sebagai sakit biasa. Ia pun pergi meninggalkan dua orang
putra yang kini diasuh suaminya di Tanjung.
Kakak ketiga kami juga perempuan, yaitu Hifziah. Kami memanggilnya
Kak Hifzi. Dialah orang yang paling sering diajak ayah bermain bersama kami di
waktu kecil. Dia orang yang paling sering berkomunikasi dengan aku dan
adik-adikku sampai sekarang. Dia bersuamikan orang Tanjung juga, sama seperti
Kak Ila.
Kakak terakhir bernama Ilham. Usianya hanya beda sekitar dua tahun
denganku. Putra ayah yang satu ini lebih dekat denganku dan adik pertamaku. Mungkin,
karena usia kami hampir sepantar. Kak Ilham memang sedikit kaku. Dia agak
pendiam. Untuk berkomunikasi dengannya, kami harus mengawali pembicaraan. Adik pertamakulah
yang paling pandai bergaul dengannya.
Adik pertamaku itu bernama Sa‘dillah. Dia seringkali dipanggil
Dillah atau Idil. Ada juga yang memanggilnya Didil, yaitu salah satu bibi kami.
Jiwa kepemimpinannya begitu kuat sehingga sulit sekali berada di bawah kendali
orang. Inilah yang membuatnya memiliki ambisi kuat untuk menjadi perintis atau pengusaha
sukses. Saat ini, ia sedang berjuang merintisnya. Cobaan dan tantangan hidup
sudah dijalaninya. Alhamdulillah, ia berhasil melewatinya.
Adik keduaku bernama Alpi Rahmani. Saat ini, ia tinggal di Jakarta
bersama Dillah. Teman-temannya memanggilnya Alvin. Anak ini punya jiwa sosial
yang tinggi dan pandai bersosialisasi. Dia pandai berteman, luwes dalam
pergaulan. Aku bersyukur, ia tidak mudah dipengaruhi orang. Kami mengagumi kegigihan
adik kami yang satu ini dalam meraih mimpi. Ia kini menjadi andalan ibuku dalam
memenuhi segala kebutuhan. Bahkan, ia menjadi sumber inspirasi bagi kakaknya, Dillah,
bagaimana menaklukkan kerasnya kehidupan Jakarta.
Adik Terakhir kami adalah si Nujhan. Aku pernah menceritakannya di
tulisan sebelumnya. Dia masih terkesan polos. Padahal, anak itu sudah menjadi
mahasiswa semester 6. Anaknya sangat patuh. Dia kadang mengejutkan kami,
berprestasi diam-diam. Aku merasa, Nujhan adalah senjata rahasia ibuku kelak. Ia
mungkin akan menghasilkan sesuatu yang besar dan membanggakan orang tua.
Kami sadar belum memberikan apa-apa untuk orang tua, terutama ayah
yang tidak sempat menyaksikan kesuksesan anak-anaknya. Dalam hati ini, kami
berjanji tidak akan mengecewakan ayah yang di sana dan ibu yang masih bersama
kami. Kakak-kakakku mengandalkan keempat adiknya ini untuk mengangkat nama ayah
dengan prestasi dan keberhasilan hidup. Kami harus membuat Haji Mursyid bangga
di surga. shah wa
Kampung Damai, 30 November 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar