Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Kamis, 30 November 2017

Bani Haji Mursyid

Ayah pergi menghadap Allah dengan meninggalkan dua istri dan delapan orang anaknya yang telah dewasa. Masing-masing istrinya dikaruniai empat orang anak. Istri pertamanya sudah lama mendahului pergi meninggalkan dunia yang fana ini. Dari istri pertama, ayah memiliki tiga orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Sedangkan dari istri kedua, ibuku, keempat anaknya jagoan semua alias laki-laki. Aku adalah putra tertuanya.
Keempat anak ayah dari istri pertamanya lebih tua dariku. Tentu saja, aku dan adik-adik memanggil mereka kakak. Walaupun kami tidak tinggal serumah, ayah sering mengajak kakak-kakak bermain bersama kami. Sehingga, kami tumbuh akrab layaknya saudara seayah-seibu.
Kakak pertama kami bernama Murdiah. Kami memanggilnya Kak Mumuy. Ia sudah dikaruniai tiga orang putra. Kini, ia tinggal di Alalak, Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, bersama suaminya.
Kakak kedua bernama Norlaila, biasa dipanggil Kak Ila. Orangnya ceria, ramah, dan murah senyum. Namun, Allah memanggilnya begitu cepat. Kami sangat kehilangan kakak yang satu ini. Meninggalnya begitu tiba-tiba menjelang hari resepsi pernikahanku di Kambat, Barabai. Katanya, ia sudah mempersiapkan diri untuk hadir di acara istimewaku itu. Tapi, Allah berkehendak lain.
Sebulan sebelum acaraku, ia tak sadarkan diri. Setelah dilarikan ke rumah sakit, dokter mendapatkan pendarahan di kepala bagian dalam. Usut punya usut, ternyata kepalanya sempat terbentu dinding saat meninabobokan putra kecilnya. Benturan itu keras. Tapi, karena tidak terlihat adanya cedera kepala dari luar, Kak Ila membiarkan saja. Sakit kepala atau pusing-pusing yang ia rasakan belakangan dianggap sebagai sakit biasa. Ia pun pergi meninggalkan dua orang putra yang kini diasuh suaminya di Tanjung.
Kakak ketiga kami juga perempuan, yaitu Hifziah. Kami memanggilnya Kak Hifzi. Dialah orang yang paling sering diajak ayah bermain bersama kami di waktu kecil. Dia orang yang paling sering berkomunikasi dengan aku dan adik-adikku sampai sekarang. Dia bersuamikan orang Tanjung juga, sama seperti Kak Ila.
Kakak terakhir bernama Ilham. Usianya hanya beda sekitar dua tahun denganku. Putra ayah yang satu ini lebih dekat denganku dan adik pertamaku. Mungkin, karena usia kami hampir sepantar. Kak Ilham memang sedikit kaku. Dia agak pendiam. Untuk berkomunikasi dengannya, kami harus mengawali pembicaraan. Adik pertamakulah yang paling pandai bergaul dengannya.
Adik pertamaku itu bernama Sa‘dillah. Dia seringkali dipanggil Dillah atau Idil. Ada juga yang memanggilnya Didil, yaitu salah satu bibi kami. Jiwa kepemimpinannya begitu kuat sehingga sulit sekali berada di bawah kendali orang. Inilah yang membuatnya memiliki ambisi kuat untuk menjadi perintis atau pengusaha sukses. Saat ini, ia sedang berjuang merintisnya. Cobaan dan tantangan hidup sudah dijalaninya. Alhamdulillah, ia berhasil melewatinya.
Adik keduaku bernama Alpi Rahmani. Saat ini, ia tinggal di Jakarta bersama Dillah. Teman-temannya memanggilnya Alvin. Anak ini punya jiwa sosial yang tinggi dan pandai bersosialisasi. Dia pandai berteman, luwes dalam pergaulan. Aku bersyukur, ia tidak mudah dipengaruhi orang. Kami mengagumi kegigihan adik kami yang satu ini dalam meraih mimpi. Ia kini menjadi andalan ibuku dalam memenuhi segala kebutuhan. Bahkan, ia menjadi sumber inspirasi bagi kakaknya, Dillah, bagaimana menaklukkan kerasnya kehidupan Jakarta.
Adik Terakhir kami adalah si Nujhan. Aku pernah menceritakannya di tulisan sebelumnya. Dia masih terkesan polos. Padahal, anak itu sudah menjadi mahasiswa semester 6. Anaknya sangat patuh. Dia kadang mengejutkan kami, berprestasi diam-diam. Aku merasa, Nujhan adalah senjata rahasia ibuku kelak. Ia mungkin akan menghasilkan sesuatu yang besar dan membanggakan orang tua.
Kami sadar belum memberikan apa-apa untuk orang tua, terutama ayah yang tidak sempat menyaksikan kesuksesan anak-anaknya. Dalam hati ini, kami berjanji tidak akan mengecewakan ayah yang di sana dan ibu yang masih bersama kami. Kakak-kakakku mengandalkan keempat adiknya ini untuk mengangkat nama ayah dengan prestasi dan keberhasilan hidup. Kami harus membuat Haji Mursyid bangga di surga. shah wa

Kampung Damai, 30 November 2017
Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar