Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Kamis, 30 November 2017

Si Bungsu, Nujhan

Aku ingin bercerita tentang adik bungsuku, Nujhan. Sekarang dia bukan anak kecil lagi, sudah berstatus “ustadz”. Tahun 2015 lalu ia lulus dari KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan mendapatkan tempat pengabdian di Gontor 2, sekaligus berkuliah di perguruan tingginya. Kuliahnya sudah memasuki tahun ketiga. Artinya, sebentar lagi ia akan menjadi sarjana.
Kami sempat berpisah saat aku memutuskan merantau ke tanah Jawa mulai tahun 2003 silam. Saat itu, ia baru menginjak usia tujuh tahun, sudah bersekolah di SD. Kalau tidak salah, ia sudah duduk di kelas 2 SD saat aku pergi. Yang pasti, masa kecilnya sebelum itu tidak terpisahkan dari kehidupan kakak-kakaknya.
Aku masih ingat saat mendapat tanggung jawab untuk mengasuhnya selama sebulan saat ditinggalkan oleh ibu ke Tanah Suci. Aku tidak ingat lagi tahun berapa ibu berangkat ke Mekkah. Rasanya, waktu itu si Nujhan masih di usia balita. Saat ia masih rewel-rewelnya dan sering sekali menangis, sangat merepotkan. Mengurusnya sebulan terasa setahun. Maklum, saudara-saudaranya laki-laki semua. Sukanya bertengkar dan bermain-main.
Kalau adik kami menangis, nenek langsung marah-marah. Ia mengira si Nujhan dikerjai kakak-kakaknya. Dulu, Dillah dan Alpi memang bandel-bandel. Suka sekali mengganggu adiknya. Orang yang paling pertama kena marah tentu saja yang paling tua. Aku pun belajar bersabar bagaimana menenangkan anak balita saat itu. Jujur, sulit sekali. Percayalah, mengasuh atau mengurus anak balita benar-benar tidak mudah.
Makanan harus dihaluskan dulu sebelum ia makan. Caranya, kami harus mengunyah makanan itu terlebih dahulu, setelah halus baru disuapkan kepadanya. Itulah cara membuat bubur pada zaman dahulu, hehe. Jangan lupa membuatkan susu jika Anda tidak mau ia menangis. Lebih dari itu, Anda harus bersiap saat ia buang air kecil atau air besar. Anak seusia itu masih bergantung kepada kita untuk bersih-bersih. Pokoknya, banyak suka-duka mengurus Nujhan saat kami ditinggal orang tua menunaikan ibadah haji.  
Nujhan pun kemudian tumbuh besar. Namun, di mata kami, ia tetap seperti adik bungsu yang begitu polos dan butuh perlindungan. Aku tidak tahu bagaimana ia berkembang setelah kutinggalkan merantau. Aku hanya bisa menanyakan kabarnya kepada ibu setiap kali menelepon. Bertemu hanya sebentar, sekali dalam setahun, saat libur lebaran.
Setelah lulus SD, aku ingin mengajaknya ke Gontor langsung. Tapi, ekonomi keluarga saat itu sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk menyekolahkan Nujhan ke Jawa langsung. Pasalnya, Dillah dan Alpi juga sedang kuliah dan butuh biaya yang cukup besar. Satu kuliah di STIKES Purwokerto, satunya di Perbanas Jakarta.
Akhirnya, ia pun memilih Darul Istiqamah, sebuah pesantren di Kota Barabai, tempat Nanang Muammar, salah seorang paman kami, mengajar. Di sinilah karakternya terbentuk. Ia belajar mandiri, belajar memahami hidup. Ia mencoba membangun prestasinya sendiri  di lingkungan pesantren. Aku sering mendengar kisahnya dari ibu, bagaimana Nujhan beradaptasi dan bersosialisasi di pesantren.
Hingga akhirnya ia lulus dan melanjutkan ke Gontor. Di sinilah aku mulai membimbingnya. Waktunya cukup tepat karena aku sudah diangkat di salah satu bagian guru di pondok. Tidak banyak yang kulakukan untuknya. Ia ternyata bisa belajar sendiri menata diri dan hidupnya di pondok. Ia punya cita-cita. Aku tahu cita-citanya itu sangat besar, yaitu ingin membahagiakan orang tua.
Mungkin, orang tidak banyak yang tahu sehebat apa anak ini. Bahkan, kami sendiri tidak menyangka dia bisa berkembang sejauh itu. Bahasa Inggris-nya bisa diandalkan teman-temannya hingga sering diikutkan lomba debat berbahasa asing itu. Lomba pidato juga diikutinya. Saat kami mengkhawatirkan masa depannya, Nujhan sudah membangunnya pelan-pelan. Katanya, ia ingin menjadi diplomat atau pengusaha sukses. Semangatlah, adikku! shah wa

Kampung Damai, 29 November 2017

Abdul Wahid Mursyid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar