Aku ingin bercerita tentang adik bungsuku, Nujhan. Sekarang dia
bukan anak kecil lagi, sudah berstatus “ustadz”. Tahun 2015 lalu ia lulus dari
KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan mendapatkan tempat pengabdian di Gontor
2, sekaligus berkuliah di perguruan tingginya. Kuliahnya sudah memasuki tahun
ketiga. Artinya, sebentar lagi ia akan menjadi sarjana.
Kami sempat berpisah saat aku memutuskan merantau ke tanah Jawa
mulai tahun 2003 silam. Saat itu, ia baru menginjak usia tujuh tahun, sudah
bersekolah di SD. Kalau tidak salah, ia sudah duduk di kelas 2 SD saat aku
pergi. Yang pasti, masa kecilnya sebelum itu tidak terpisahkan dari kehidupan
kakak-kakaknya.
Aku masih ingat saat mendapat tanggung jawab untuk mengasuhnya
selama sebulan saat ditinggalkan oleh ibu ke Tanah Suci. Aku tidak ingat lagi
tahun berapa ibu berangkat ke Mekkah. Rasanya, waktu itu si Nujhan masih di
usia balita. Saat ia masih rewel-rewelnya dan sering sekali menangis, sangat
merepotkan. Mengurusnya sebulan terasa setahun. Maklum, saudara-saudaranya
laki-laki semua. Sukanya bertengkar dan bermain-main.
Kalau adik kami menangis, nenek langsung marah-marah. Ia mengira si
Nujhan dikerjai kakak-kakaknya. Dulu, Dillah dan Alpi memang bandel-bandel.
Suka sekali mengganggu adiknya. Orang yang paling pertama kena marah tentu saja
yang paling tua. Aku pun belajar bersabar bagaimana menenangkan anak balita
saat itu. Jujur, sulit sekali. Percayalah, mengasuh atau mengurus anak balita
benar-benar tidak mudah.
Makanan harus dihaluskan dulu sebelum ia makan. Caranya, kami harus
mengunyah makanan itu terlebih dahulu, setelah halus baru disuapkan kepadanya.
Itulah cara membuat bubur pada zaman dahulu, hehe. Jangan lupa
membuatkan susu jika Anda tidak mau ia menangis. Lebih dari itu, Anda harus
bersiap saat ia buang air kecil atau air besar. Anak seusia itu masih
bergantung kepada kita untuk bersih-bersih. Pokoknya, banyak suka-duka mengurus
Nujhan saat kami ditinggal orang tua menunaikan ibadah haji.
Nujhan pun kemudian tumbuh besar. Namun, di mata kami, ia tetap
seperti adik bungsu yang begitu polos dan butuh perlindungan. Aku tidak tahu
bagaimana ia berkembang setelah kutinggalkan merantau. Aku hanya bisa
menanyakan kabarnya kepada ibu setiap kali menelepon. Bertemu hanya sebentar,
sekali dalam setahun, saat libur lebaran.
Setelah lulus SD, aku ingin mengajaknya ke Gontor langsung. Tapi,
ekonomi keluarga saat itu sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk
menyekolahkan Nujhan ke Jawa langsung. Pasalnya, Dillah dan Alpi juga sedang
kuliah dan butuh biaya yang cukup besar. Satu kuliah di STIKES Purwokerto,
satunya di Perbanas Jakarta.
Akhirnya, ia pun memilih Darul Istiqamah, sebuah pesantren di Kota
Barabai, tempat Nanang Muammar, salah seorang paman kami, mengajar. Di sinilah
karakternya terbentuk. Ia belajar mandiri, belajar memahami hidup. Ia mencoba
membangun prestasinya sendiri di
lingkungan pesantren. Aku sering mendengar kisahnya dari ibu, bagaimana Nujhan
beradaptasi dan bersosialisasi di pesantren.
Hingga akhirnya ia lulus dan melanjutkan ke Gontor. Di sinilah aku
mulai membimbingnya. Waktunya cukup tepat karena aku sudah diangkat di salah
satu bagian guru di pondok. Tidak banyak yang kulakukan untuknya. Ia ternyata
bisa belajar sendiri menata diri dan hidupnya di pondok. Ia punya cita-cita.
Aku tahu cita-citanya itu sangat besar, yaitu ingin membahagiakan orang tua.
Mungkin, orang tidak banyak yang tahu sehebat apa anak ini. Bahkan,
kami sendiri tidak menyangka dia bisa berkembang sejauh itu. Bahasa Inggris-nya
bisa diandalkan teman-temannya hingga sering diikutkan lomba debat berbahasa
asing itu. Lomba pidato juga diikutinya. Saat kami mengkhawatirkan masa
depannya, Nujhan sudah membangunnya pelan-pelan. Katanya, ia ingin menjadi
diplomat atau pengusaha sukses. Semangatlah, adikku! shah wa
Kampung Damai, 29 November 2017
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar