Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Senin, 20 November 2017

Kasih Ibu

Sudah banyak ungkapan tentang luasnya kasih ibu kepada anaknya. Sudah tak terhingga kisah yang menceritakan kasih seorang ibu untuk anak kesayangannya. Sudah tak terkira jumlah kata yang dituliskan untuk menggambarkan betapa besarnya kasih dan sayangnya. Luas kasihnya mengalahkan luas samudera, mengalahkan luasnya hamparan bumi, bahkan mengalahkan luasnya tujuh lapis langit di atas sana.
Sebanyak apapun ungkapan itu, tetap saja tak ada habisnya untuk mengungkapkan kasih sayang ibu. Sebanyak apapun kisah itu, tetap saja selalu ada kisah yang bercerita tentangnya. Kisah-kisah itu seakan tak ada habisnya. Bahkan, bisa jadi kita kehabisan kata-kata dan kehabisan tinta untuk menuliskan kasih demi kasih yang dimiliki seorang ibu untuk anaknya.
Ia menjadi matahari untuk anaknya di siang hari. Ia menjadi bulan di malam hari. Ia tak mau anaknya berjalan dalam gelap. Bahkan, jika tak ada bulan dan matahari, seorang ibu rela menjadi lilin demi menerangi jalan sang anak.
Banyak sekali pengorbanan yang ia berikan demi seorang anak yang begitu ia sayangi. Pengorbanan itu begitu besar, tapi seorang ibu tak pernah menganggapnya sebagai pengorbanan. Ia lebih suka menyebutnya perjuangan. Karena itulah ia tak pernah mengenal lelah. Ia tampak begitu perkasa di balik segala kelemahan yang dimiliki seorang wanita. Tak ada kata yang lebih tepat untuk seorang ibu selain kata “hebat”.
Ia berjuang hidup agar anaknya yang masih dalam ayunan itu bisa merangkak. Setelah merangkak, ia ingin anaknya segera berdiri. Tak hanya mampu berdiri, tapi juga mampu berjalan. Melihat anak kecilnya bisa berjalan, wajah gembira tak mampu disembunyikan. Di balik senyum seorang ibu terselip rasa bangga melihat anaknya telah mampu melangkahkan kaki, maju-mundur ke sana kemari sambil tertawa kecil memperlihatkan satu-dua giginya yang mungil.
Saat itu, kita belum mengerti apa-apa. Ternyata, kita baru sadar bahwa ketika itulah saat-saat pertama kalinya seorang anak membuat ibunya bahagia. Sesederhana itu kebahagiaan yang ingin didapat seorang ibu. Tidak muluk-muluk. Ia bahagia jika anaknya bahagia. Ia tidak ingin melihat anaknya sengsara atau berduka nestapa. Ia tersenyum jika anaknya tersenyum. Ia pun tertawa jika anaknya bisa tertawa. Ya Rabb, bahagiamu sederhana sekali, Ibu.
Kau tidak ingin memiliki apa-apa. Kau berikan segala yang kau miliki untuk anakmu tercinta. Hingga akhirnya ia tumbuh besar dan memiliki segalanya, mampu berjalan sendiri tanpa perlu digandeng lagi, mampu berjalan tanpa perlu bantuan lagi. Tampaklah perjuanganmu tak sia-sia. Anak kecil yang lemah itu sudah tumbuh kuat dan telah sanggup menaklukkan dunianya.
Kasih ibu memang tak mengharap pamrih. Tapi, kau berhak mendapatkan bakti dan kasih sayang anakmu yang gagah itu, walaupun baktinya tak pernah bisa dibandingkan dengan kasihmu. Bahkan, jika ia mampu menyulap bumi menjadi hamparan emas untuk dihadiahkan kepadamu, tetap tak sebanding besarnya kasihmu.
Walaupun seorang ibu tak pernah meminta anaknya untuk mempersembahkan baktinya, namun di lubuk hatinya yang terdalam terselip keinginan itu. Ia tak pernah memintamu untuk memberikan segala yang kau miliki. Ia hanya ingin anaknya berbakti. Karena, itulah kebahagiaan tertinggi seorang ibu yang telah mengandungnya kurang lebih sembilan bulan lamanya. Jadilah anak saleh, anak kebanggaan orang tua. shah wa

Kampung Damai, 18 November 2017
Abdul Wahid Mursyid



*Sumber foto: Lensa Fotokita

1 komentar: