Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Rabu, 28 Februari 2018

Ustadz Dihya dan Wardun


Semua orang tahu bahwa Gontor adalah medan perjuangan yang dinaungi atmosfer keikhlasan. Orang-orang yang tumbuh di dalamnya disemai dengan jiwa keikhlasan dan semangat perjuangan. Itulah bumi Gontor yang masyhur di telinga kita. Tidak ada yang memungkirinya. Telah terbukti bersama iringan waktu dan pergantian zaman lahirnya orang-orang ikhlas, yang bekerja dan berjuang tanpa pamrih, tanpa mempertanyakan apa dan berapa atas hasil usaha mereka.
Salah satunya adalah guru kami tercinta, Ustadz Dihyatun Masqon. Kami tak sanggup memendam kesedihan atas kabar meninggalnya beliau tadi pagi, Rabu, 28 Februari 2018, di sebuah rumah sakit di Jakarta. Sebuah kabar yang menggemparkan dunia, terutama bagi Keluarga Besar Pondok Modern Darussalam Gontor. Sungguh, Gontor kembali kehilangan kader terbaiknya.
Orang hebat seperti Ustadz Dihya tidak mudah dicari. Bagi kami, orang seperti beliau satu-satunya di Gontor. Keramahannya, kesantunannya, kesederhanaannya, kepemimpinannya, dan karakter lain yang dimiliki Ustadz Dihya merupakan representasi dari nilai-nilai Panca Jiwa dan Motto Pondok Modern Darussalam Gontor, yang semuanya bertumpu pada keikhlasan, jiwa pertama dari lima jiwa yang ditanamkan Trimurti, Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor.
Ikhlas. Mukhlis. Itulah kata pertama untuk menggambarkan bagaimana Ustadz Dihya. Kami beruntung pernah bekerjasama dalam satu kepanitiaan selama beberapa tahun, yaitu Panitia Penerbitan Wardun. Ustadz Dihya bertindak sebagai penanggung jawab utama di kepanitiaan ini. Artinya, beliaulah orang yang bertanggung jawab penuh atas terbitnya Wardun, jurnal tahunan milik Gontor.
Sebagai penanggung jawab utama, koreksi akhir sebelum naik cetak menjadi tanggung jawab beliau. Tak jarang waktu beliau dihabiskan di ruang redaksi atau di kantor percetakan pondok untuk memastikan pengerjaan Wardun berjalan dengan lancar. Bahkan, beliau sampai harus bergadang bersama kami hampir sebulan penuh saat memasuki masa cetak. Hanya ada kasur kecil nan tipis kira-kira seukuran 2 x 1 meter persegi untuk tempat beliau beristirahat sejenak melepas kantuk. Terkadang, suara printer seringkali membangunkan beliau yang belum lama memejamkan mata. Jika terbangun, beliau tidak tidur lagi, tapi kembali ke meja dan mulai mengoreksi hasil lay-out Wardun yang akan naik cetak.
Siapapun yang bekerja saat itu akan bertambah semangatnya menyaksikan ketulusan seorang guru yang hanya ingin memberikan karya terbaik untuk pondok. Memang, seperti kami, beliau tidaklah mendapat upah materi. Tidak ada. Kami sama sekali tidak pernah memikirkan itu. Apalagi beliau. Kami sudah puas dengan terbitnya Wardun tepat waktu dan bisa dibaca Pimpinan Pondok saat pidato perpulangan akhir tahun.
Kini, Tim Wardun telah kehilangan satu sosok penting dalam kepanitiaan mereka. Dengan kemampuan bahasa Arab dan Inggris-nya, Ustadz Dihya menjadi tumpuan utama pengoreksian Wardun yang menggunakan tiga bahasa itu. Selamat jalan, Ustadz! Semua orang begitu menyayangimu dan berduka atas kepergianmu. shah wa

Kampung Damai, 28 Februari 2018
Abdul Wahid Mursyid  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar