Semua orang tahu bahwa Gontor adalah medan perjuangan yang dinaungi
atmosfer keikhlasan. Orang-orang yang tumbuh di dalamnya disemai dengan jiwa
keikhlasan dan semangat perjuangan. Itulah bumi Gontor yang masyhur di telinga
kita. Tidak ada yang memungkirinya. Telah terbukti bersama iringan waktu dan
pergantian zaman lahirnya orang-orang ikhlas, yang bekerja dan berjuang tanpa
pamrih, tanpa mempertanyakan apa dan berapa atas hasil usaha mereka.
Salah satunya adalah guru kami tercinta, Ustadz Dihyatun Masqon.
Kami tak sanggup memendam kesedihan atas kabar meninggalnya beliau tadi pagi,
Rabu, 28 Februari 2018, di sebuah rumah sakit di Jakarta. Sebuah kabar yang
menggemparkan dunia, terutama bagi Keluarga Besar Pondok Modern Darussalam
Gontor. Sungguh, Gontor kembali kehilangan kader terbaiknya.
Orang hebat seperti Ustadz Dihya tidak mudah dicari. Bagi kami,
orang seperti beliau satu-satunya di Gontor. Keramahannya, kesantunannya,
kesederhanaannya, kepemimpinannya, dan karakter lain yang dimiliki Ustadz Dihya
merupakan representasi dari nilai-nilai Panca Jiwa dan Motto Pondok Modern
Darussalam Gontor, yang semuanya bertumpu pada keikhlasan, jiwa pertama dari
lima jiwa yang ditanamkan Trimurti, Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor.
Ikhlas. Mukhlis. Itulah kata pertama untuk menggambarkan
bagaimana Ustadz Dihya. Kami beruntung pernah bekerjasama dalam satu
kepanitiaan selama beberapa tahun, yaitu Panitia Penerbitan Wardun.
Ustadz Dihya bertindak sebagai penanggung jawab utama di kepanitiaan ini.
Artinya, beliaulah orang yang bertanggung jawab penuh atas terbitnya Wardun,
jurnal tahunan milik Gontor.
Sebagai penanggung jawab utama, koreksi akhir sebelum naik cetak
menjadi tanggung jawab beliau. Tak jarang waktu beliau dihabiskan di ruang redaksi
atau di kantor percetakan pondok untuk memastikan pengerjaan Wardun berjalan
dengan lancar. Bahkan, beliau sampai harus bergadang bersama kami hampir
sebulan penuh saat memasuki masa cetak. Hanya ada kasur kecil nan tipis kira-kira
seukuran 2 x 1 meter persegi untuk tempat beliau beristirahat sejenak melepas
kantuk. Terkadang, suara printer seringkali membangunkan beliau yang
belum lama memejamkan mata. Jika terbangun, beliau tidak tidur lagi, tapi
kembali ke meja dan mulai mengoreksi hasil lay-out Wardun yang
akan naik cetak.
Siapapun yang bekerja saat itu akan bertambah semangatnya
menyaksikan ketulusan seorang guru yang hanya ingin memberikan karya terbaik
untuk pondok. Memang, seperti kami, beliau tidaklah mendapat upah materi. Tidak
ada. Kami sama sekali tidak pernah memikirkan itu. Apalagi beliau. Kami sudah
puas dengan terbitnya Wardun tepat waktu dan bisa dibaca Pimpinan Pondok
saat pidato perpulangan akhir tahun.
Kini, Tim Wardun telah kehilangan satu sosok penting dalam
kepanitiaan mereka. Dengan kemampuan bahasa Arab dan Inggris-nya, Ustadz Dihya
menjadi tumpuan utama pengoreksian Wardun yang menggunakan tiga bahasa
itu. Selamat jalan, Ustadz! Semua orang begitu menyayangimu dan berduka atas
kepergianmu. shah wa
Kampung Damai, 28 Februari 2018
Abdul Wahid Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar