Ini adalah tulisan pertama yang kutulis di bulan ini, Juli 2018.
Istimewa. Memang, ini adalah tulisan yang sangat istimewa bagiku. Kutulis ini
saat Wahid junior memasuki usia delapan bulan dalam kandungan ibunya. Dengan
izin dan kehendak Allah, sebulan lagi ia akan melihat dunia ini, melihat wajah
ayah dan bundanya. Namanya pun sudah kami siapkan, nama yang gagah untuk
seorang pejuang agama Allah.
Ada rasa bahagia di hati ini mendekati bulan Agustus. Dada pun terus
berdebar-debar menantikan hadirnya sang buah hati. Tak ada harapan terbaik
selain kelahiran sempurna dari rahim bundanya dengan penuh kemudahan dan
keselamatan, lahir dengan sehat, bundanya kuat, dan ia pun tumbuh menjadi anak
saleh kebanggaan umat.
Sungguh, tak terasa sebentar lagi keluarga kecilku makin lengkap.
Rasanya baru kemarin mengucap akad disaksikan Bapak Soffian Effendi dan Bapak
Muhammad Chirzin, namun nyatanya perjalanan ini sudah setahun berlalu, sejak
tanggal 2 Juli 2017 silam. Alhamdulillah, kami berdua bisa melewati perjalanan
12 bulan ini dengan penuh kesyukuran dan juga kesabaran.
Satu tahun belumlah lama untuk sebuah perjalanan panjang mengarungi
samudera kehidupan. Masih banyak hari-hari ke depan yang mesti dilewati untuk sampai
ke pulau impian. Sejauh apapun jarak yang akan ditempuh, sepanjang apapun jalan
yang mesti dilalui, dan seluas apapun samudera yang harus diarungi, jangan
pernah berlepas pegangan. Tak perlu takut menghadapi ombak sebesar apapun
selama kita selalu berpegangan tangan untuk saling menguatkan. Maka, badai pun
pasti berlalu dan bahtera ini pasti sampai ke tempat tujuan.
Bagiku, satu tahun ini sangatlah berarti. Karena, seperti yang kami
alami dulu sewaktu santri, ada istilah ujian tahun pertama. Jika seorang santri
baru mampu melewati segala macam ujian di tahun pertamanya sebagai santri, maka
diyakini akan mampu menghadapi ujian-ujian di tahun-tahun berikutnya, hingga ia
pun lulus tanpa hambatan berarti.
Memang, ujian tahun pertama sebagai santri tidaklah mudah. Bahkan,
paling berat. Kita harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang
benar-benar asing. Belajar bertahan hidup tanpa ada orang tua dan orang-orang
dekat di samping kita. Belum lagi, kebebasan kita mulai terkekang oleh
peraturan-peraturan ketat yang harus dipatuhi. Makan pun tak bisa lagi
seenaknya. Apa yang disediakan, itulah yang dimakan. Hal-hal baru itulah yang
membuat ujian tahun pertama itu sangatlah berat. Maka, tidaklah heran, tatkala santri-santri
baru itu bisa melewatinya, tentu mereka akan berhasil melewati tantangan
berikutnya hingga sukses menjadi alumni.
Begitu juga dengan ujian pernikahan di tahun pertama. Kita diuji
dengan kehidupan yang benar-benar baru, kehidupan yang belum pernah sama sekali
kita alami dan kita lakoni. Ada tanggung jawab besar yang belum pernah kita
dapatkan sebelumnya. Bukan sembarang tanggung jawab, melainkan tanggung jawab
dunia dan akhirat. Karena itulah dikatakan bahwa saat kita mengucap akad, saat
itu pulalah kita diganjar pahala seperti membunuh seribu orang kafir dalam
peperangan di jalan Allah.
Selain itu, di tahun pertama inilah kita mulai menghadapi kenyataan
bahwa perbedaan itu tak bisa dielakkan. Saat itulah kita diuji untuk bisa
menggabungkan warna-warna yang berbeda menjadi satu. Jika kita mampu
melakukannya, maka tampaklah pelangi indah yang mulai menghiasi kehidupan kita.
Kita juga diuji dengan kenyataan bahwa setiap manusia itu memiliki
kekurangan. Tidak ada seorang pun makhluk Allah di muka bumi ini yang sempurna.
Jika Anda menikahi seseorang karena kelebihan dan kesempurnaannya di mata Anda,
maka Anda tidak akan bisa menerima kekurangannya. Namun, jika Anda menikahinya Anda
dengan menerima segala kekurangan yang ia miliki, maka Anda akan menjadi
penyempurna kehidupannya. Dia pun juga akan menjadi penyempurna kehidupan Anda.
Setahun ini, kami sudah saling mengenal. Baik dan burukku sudah ia
ketahui. Kelebihan dan kekuranganku sudah ia maklumi. Demikian pula sebaliknya.
Pelan-pelan kami mulai saling memahami. Jika ada kekurangan, kami berusaha
menyempurnakannya. Jika ada kelebihan, kami pun mensyukurinya. Itulah indahnya
hidup berpasangan, saling melengkapi satu sama lain.
Tidak perlu khawatir jika baru bisa saling mengenal lebih dalam setelah
menikah. Banyak yang sudah menikah setelah saling diperkenalkan hanya dalam
seminggu atau sebulan. Bahkan, ada yang menikah setelah mengenalnya beberapa
hari, beberapa jam, atau mungkin beberapa detik. Dan banyak yang menikah hanya
mengenal lewat fotonya tanpa pernah melihat langsung orang yang akan dinikahinya.
Nyatanya, pernikahan itu diberkahi Allah dan mereka hidup bahagia menjadi
keluarga sakinah.
Bagaimana kita bisa yakin bisa hidup bersama orang yang belum sama
sekali kita kenal luar-dalam? Itulah pertanyaan yang sering ditanyakan anak
muda zaman sekarang.
Ibarat menemukan buku baru, kita mungkin hanya sempat melihat
sampulnya dan hanya bisa membaca judulnya karena buku itu bersegel dan masih
terbungkus rapi. Judulnya menarik dan sampulnya pun bagus. Setelah membaca-baca
judulnya sambil mengira-ngira isinya, lalu melihat pengarangnya. Mungkin, ada
sinopsis di sampul belakangnya yang mampu meyakinkan kita untuk membawa pulang
buku tersebut. Dengan sedikit pengetahuan yang kita miliki dan berbagai
pertimbangan, serta masukan, kita bisa tahu bahwa buku itu memang bagus dan
tepat untuk kita. Akhirnya, kita pun memutuskan untuk memilikinya.
Saat membacanya, kita mungkin akan menemukan hal yang tak terduga.
Bisa jadi itu terkait kelebihannya maupun kekurangannya. Yang pasti, kita baru
benar-benar tahu tentang buku itu setelah kita membacanya lembaran demi
lembaran, halaman demi halaman. Namun, sebelumnya kita pasti sudah tahu garis
besar isi buku itu dari judulnya saja. Jadi, kita sudah siap menerima kelebihan
dan kekurangannya. Karena itulah, kita pasti akan selalu menemukan kebaikan di
dalam buku itu. Membacanya pun jadi makin mengasyikkan hingga memberikan
inspirasi tak terduga bagi kehidupan kita.
Satu tahun. Ya, satu tahun sudah kami menikah. Sebelum itu, aku
hanya butuh waktu satu minggu untuk memantapkan hati datang ke rumahnya.
Walaupun belum mengenalnya lebih jauh, bahkan belum pernah bertemu orangnya.
Setelah diperkenalkan seorang teman dan mendapat informasi yang cukup
tentangnya, aku ber-istikharah. Hatiku benar-benar mantap untuk
menjadikannya seorang istri, teman sepanjang hidupku.
Saat itu, aku merasa seperti baru saja menemukan berlian mahal yang
selama ini kucari-cari, berlian indah yang tersembunyi dan sulit sekali dicari.
Allah sungguh berbaik hati padaku dengan menunjukkan berlian indah-Nya.
Alangkah bodohnya jika kita mengabaikan karunia yang diharapkan banyak orang di
dunia ini. Semua yang ada padanya sempurna untukku. Dialah sosok wanita yang
senantiasa kudambakan di dalam hati. Karena itu, aku tak ingin membuang-buang
waktu untuk segera mendapatkan restu kedua orang tuanya.
Aku merasa tak perlu bertemu orangnya karena bagiku keindahan
berlian itu sudah jelas. Semua orang pasti mengakui keindahannya. Aku ingin
melihat keindahannya di waktu yang tepat, saat diberi restu kedua orang tuanya
untuk melamar, atau saat ia sudah halal untuk kupandangi selama yang kumau.
Saat menemui orang tuanya, aku masih belum melihat orangnya.
Berlian itu masih disimpan oleh Allah. Ia sedang sibuk menjalani aktivitas KKN
di sebuah desa yang jaraknya berjam-jam dari rumahnya. Aku memang tidak datang
ke sana untuk mencarinya, tapi untuk menemui orang tuanya, meminta restu
ayah-bundanya untuk bisa meminang putri kedua mereka yang lebih muda delapan
tahun dariku.
Tidak ada kebahagiaan yang kudapatkan sebelum itu selain kata ‘iya’
dari kedua orang tuanya. Aku seperti mendapatkan durian runtuh. Bulan dan
bintang seakan berjatuhan dari langit untukku. Matahari tersenyum. Angin
menari-nari bersama dedaunan. Hari itu aku mendapatkan hadiah yang begitu indah
dari Allah. Rasa penat duduk di bis selama berjam-jam perjalanan dari Ponorogo
ke Yogyakarta hilang seketika. Bu, putra pertamamu sudah mendapatkan calon
menantu yang baik untukmu, demikian kataku di dalam hati.
Aku pulang dengan hati yang riang. Begitu cepat dan mudah proses
yang kujalani. Begitulah prosesnya jika sudah bertemu dengan jodoh
yang sudah disiapkan Allah, demikian kata orang-orang. Benar juga, prosesnya
sungguh cepat, tidak ada hambatan. Untuk itu, proses ikhtiar dan tawakkal
kepada Allah tidak bisa dinafikan dalam urusan yang satu ini.
Ibuku pun ikut bahagia mendengar kabar dariku. Putra tertuanya yang
baru saja ditinggal sang ayah menuju keabadian sudah menemukan belahan jiwa.
Kami langsung merencanakan kunjungan silaturahim keluarga dari Kalimantan.
Namun, ternyata kami diminta langsung menggelar acara lamaran saja.
Setelah menyelesaikan sejumlah kesibukan, keluargaku akhirnya
mendapatkan waktu yang tepat untuk menggelar lamaran. Pada waktu lamaran
itulah, aku melihat wajah calon istriku secara langsung untuk pertama kalinya.
Sungguh indah cahaya yang dipancarkan berlian ciptaan Allah itu. Dengan tersipu
ia menjulurkan jari manisnya kepada ibuku untuk dipasangkan cincin yang sudah
kusiapkan.
Hingga tibalah tanggal 2 Juli 2017, setelah lebaran Idul Fitri,
yaitu bertepatan dengan tanggal 8 Syawal 1438. Hari itu, untuk pertama kalinya
aku memegang tangan seorang wanita yang kukenal hanya dalam waktu satu minggu.
Tak terasa, sudah setahun berlalu sejak aku pertama kali mengecup keningnya,
menggandengnya di pelaminan, dan mengucap janji setia sehidup semati di hadapan
penghulu.
Hari itu, aku didampingi ibuku tercinta yang datang jauh dari
Kalimantan. Beliau datang bersama ketiga adikku dan seorang bibiku (uwak, kakak
kedua ibuku) yang didampingi suaminya. Raut bahagia tampak terlihat dari wajah
ibuku karena ia tahu anaknya tidak salah memilih pendamping hidup. Memang,
demikianlah kekhawatiran seorang ibu terhadap anak lelakinya. Jika anaknya
mendapatkan wanita salihah, maka rasa khawatir itu akan hilang seketika karena
ia yakin anaknya akan hidup bahagia. shah wa
Kampung Damai, 2 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar