Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Minggu, 08 Juli 2018

Bagaimana Menghadapi Camer?


Bagaimana menghadap dan menghadapi calon mertua alias camer? Inilah pertanyaan yang sering mengemuka saat kawan-kawan sudah mulai menemukan pujaan hati. Mau tidak mau, kita pasti akan berhadapan dengan orang yang paling berhak atas putri tercintanya, yaitu ayah dan ibunya. Begitulah Islam mengajarkan umatnya untuk mementingkan restu orang tua.
Setiap orang punya pengalaman berbeda menghadapi calon mertua. Ada yang mudah. Ada yang sulit. Ada yang diterima dengan baik dan ada juga yang ditolak mentah-mentah. Itulah kenyataan yang harus dihadapi setiap anak laki-laki. Kita harus berani menghadapinya dengan lapang dada dan ikhlas hati. Begitulah ikhtiar.
Aku sendiri tidak punya modal pengalaman apapun saat memutuskan untuk menemui calon mertua. Ini adalah pengalaman pertamaku. Aku hanya perlu meyakinkan diriku sendiri bahwa aku datang dengan niat yang baik dan sungguh-sungguh. Maka, aku yakin diterima dengan baik pula. Apapun keputusan yang kudengar dari kedua orang tuanya akan kuterima dengan lapang dada. Jika memang berjodoh, pasti Allah mempermudah urusan ini untukku.
Memang, sebelumnya aku sempat berkonsultasi dengan beberapa kawan. Mereka menyarankan untuk datang sendiri tanpa ditemani siapapun juga. Katanya, datang sendiri itu memiliki nilai plus, yaitu keyakinan, kepercayaan diri, keberanian, dan kemandirian. Selain itu, jika Anda datang sendiri, pembicaraan akan terfokus antara Anda dan calon mertua.
Datang sendiri? Siapa takut. Dari dulu aku sudah diajari melakukan banyak hal sendiri. Mendaftar sekolah saja sendirian tanpa ditemani orang tua, sejak SD hingga lulus kuliah. Aku hanya perlu memastikan ayah dan ibu mendoakanku dari rumah.
Hari itu, tepat tanggal 30 Mei 2016, aku meminta doa ibuku sebelum berangkat ke Yogyakarta menemui calon mertua. Tinggal doa ibu yang bisa kuminta karena dua bulan sebelumnya ayahku telah pergi menghadap Ilahi.
Setelah mendapat doa ibu, hatiku tenang. Kunaiki bis jurusan Madiun. Sampai di Madiun aku berganti bis jurusan Yogyakarta. Aku duduk di jok belakang sambil menenteng sebuah bingkisan berupa buah-buahan yang telah dibungkus rapi.
Tidak ada yang kupikirkan sepanjang perjalanan selain bagaimana menyampaikan maksud kedatanganku. Bagaimana kalau ditolak? Bagaimana kalau kata-kataku nanti kurang sopan? Bagaimana kalau aku tidak memenuhi kriteria calon menantu idaman mereka? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menggelayuti pikiranku.
Aku pun menenangkan hati dan menghibur diri dengan doa-doa dan ayat-ayat al-Qur’an yang kuhapal. Akhirnya, aku mulai optimis. Kuputuskan untuk melenyapkan semua pertanyaan itu. Biarlah semuanya berjalan dengan kehendak Allah. Aku yakin perjalanan jauh yang kutempuh selama enam jam ini tidak akan sia-sia.
Sesampai di sana, aku disambut hangat ayah dan ibunya. Kami mengobrol di ruang tamu. Awalnya, aku tidak tahu harus bicara apa. Rupanya, ayahnya amat pandai mencairkan suasana. Beliau mengajak berbasa-basi dengan bertanya tentang daerah asalku dan lain sebagainya. Tidak sedikit pun menyinggung maksud kedatanganku hingga tiba waktu Ashar.
Kami shalat dulu. Setelah shalat, aku merasa sudah siap untuk menyampaikan maksud kedatanganku. Memang berat mengatakannya. Namun, karena suasananya sudah nyaman, beban psikologis yang mungkin membebani kita terangkat pelan. Apalagi setelah mendengar jawaban yang menggembirakan dari ayahnya. Aku mendapatkan restu untuk meminang putrinya. shah wa

Kampung Damai, 8 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar