Bagaimana menghadap dan menghadapi calon mertua alias camer? Inilah
pertanyaan yang sering mengemuka saat kawan-kawan sudah mulai menemukan pujaan
hati. Mau tidak mau, kita pasti akan berhadapan dengan orang yang paling berhak
atas putri tercintanya, yaitu ayah dan ibunya. Begitulah Islam mengajarkan
umatnya untuk mementingkan restu orang tua.
Setiap orang punya pengalaman berbeda menghadapi calon mertua. Ada yang
mudah. Ada yang sulit. Ada yang diterima dengan baik dan ada juga yang ditolak
mentah-mentah. Itulah kenyataan yang harus dihadapi setiap anak laki-laki. Kita
harus berani menghadapinya dengan lapang dada dan ikhlas hati. Begitulah
ikhtiar.
Aku sendiri tidak punya modal pengalaman apapun saat memutuskan
untuk menemui calon mertua. Ini adalah pengalaman pertamaku. Aku hanya perlu
meyakinkan diriku sendiri bahwa aku datang dengan niat yang baik dan
sungguh-sungguh. Maka, aku yakin diterima dengan baik pula. Apapun keputusan
yang kudengar dari kedua orang tuanya akan kuterima dengan lapang dada. Jika memang
berjodoh, pasti Allah mempermudah urusan ini untukku.
Memang, sebelumnya aku sempat berkonsultasi dengan beberapa kawan.
Mereka menyarankan untuk datang sendiri tanpa ditemani siapapun juga. Katanya,
datang sendiri itu memiliki nilai plus, yaitu keyakinan, kepercayaan diri,
keberanian, dan kemandirian. Selain itu, jika Anda datang sendiri, pembicaraan
akan terfokus antara Anda dan calon mertua.
Datang sendiri? Siapa takut. Dari dulu aku sudah diajari melakukan
banyak hal sendiri. Mendaftar sekolah saja sendirian tanpa ditemani orang tua,
sejak SD hingga lulus kuliah. Aku hanya perlu memastikan ayah dan ibu
mendoakanku dari rumah.
Hari itu, tepat tanggal 30 Mei 2016, aku meminta doa ibuku sebelum
berangkat ke Yogyakarta menemui calon mertua. Tinggal doa ibu yang bisa kuminta
karena dua bulan sebelumnya ayahku telah pergi menghadap Ilahi.
Setelah mendapat doa ibu, hatiku tenang. Kunaiki bis jurusan
Madiun. Sampai di Madiun aku berganti bis jurusan Yogyakarta. Aku duduk di jok
belakang sambil menenteng sebuah bingkisan berupa buah-buahan yang telah
dibungkus rapi.
Tidak ada yang kupikirkan sepanjang perjalanan selain bagaimana
menyampaikan maksud kedatanganku. Bagaimana kalau ditolak? Bagaimana kalau
kata-kataku nanti kurang sopan? Bagaimana kalau aku tidak memenuhi kriteria
calon menantu idaman mereka? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menggelayuti
pikiranku.
Aku pun menenangkan hati dan menghibur diri dengan doa-doa dan
ayat-ayat al-Qur’an yang kuhapal. Akhirnya, aku mulai optimis. Kuputuskan untuk
melenyapkan semua pertanyaan itu. Biarlah semuanya berjalan dengan kehendak
Allah. Aku yakin perjalanan jauh yang kutempuh selama enam jam ini tidak akan
sia-sia.
Sesampai di sana, aku disambut hangat ayah dan ibunya. Kami
mengobrol di ruang tamu. Awalnya, aku tidak tahu harus bicara apa. Rupanya,
ayahnya amat pandai mencairkan suasana. Beliau mengajak berbasa-basi dengan
bertanya tentang daerah asalku dan lain sebagainya. Tidak sedikit pun
menyinggung maksud kedatanganku hingga tiba waktu Ashar.
Kami shalat dulu. Setelah shalat, aku merasa sudah siap untuk
menyampaikan maksud kedatanganku. Memang berat mengatakannya. Namun, karena
suasananya sudah nyaman, beban psikologis yang mungkin membebani kita terangkat
pelan. Apalagi setelah mendengar jawaban yang menggembirakan dari ayahnya. Aku mendapatkan
restu untuk meminang putrinya. shah wa
Kampung Damai, 8 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar