Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Minggu, 15 Juli 2018

"Manteners" Dua Juli

Mantener 2 Juli Minus Pak Iwan

Ternyata, bukan hanya aku yang memilih 2 Juli 2017 sebagai hari istimewa awal mula perjalanan hidup sebagai suami. Ada beberapa kawan yang juga menikah pada hari itu. Semuanya berlangsung di Pulau Jawa. Mereka adalah Iwan Aminurrahman, Ahmad Zaenuri, Ahmad Lukman Nugraha, dan Jalaludin Rumi.
Orang yang paling akrab denganku adalah Iwan Aminurrahman. Ia adalah seniorku, tepatnya angkatan dua tahun di atasku. Kami pernah bertahun-tahun tinggal satu gedung, yaitu Gedung Madrasah. Tapi, kami bertugas di bagian yang berbeda. Ia ditugaskan di Bagian Administrasi Pondok, sedangkan aku di Bagian Sekretaris Pimpinan. Karena satu gedung, kamar kami bersebelahan.
Temanku yang berasal dari Kediri itu adalah seorang jenius. Kelasnya berisi orang-orang hebat. Maka, tidak heran jika orangnya sangatlah idealis. Prinsip hidupnya pun dipegang dengan kuat, lillah-fillah. Tidak mudah goyah oleh rayuan-rayuan duniawi. Kesamaan prinsip yang kami peganglah yang membuat kami bisa sangat akrab di Madrasah.
Kepercayaan yang tumbuh selama masa pertemanan kami mengantarkannya bertemu jodoh terbaik yang selama ini ia cari-cari. Suatu hari ia menghubungiku via telepon dari Malaysia. Seingatku, waktu itu ia hanya ingin bertanya tentang referensi beberapa buku.
Tiba-tiba, pikiranku teringat pada cerita Chairil Anwar, teman seangkatanku sekaligus karibku dari Banjarmasin yang baru saja menikah dengan gadis Batam. Iril, begitu aku biasa memanggilnya, bercerita bahwa teman istrinya sedang mencari jodoh. Bahkan, ayah teman istrinya itu meminta langsung kepada Iril untuk mencarikan seorang lelaki yang baik buat anaknya.
Tanpa basa-basi, aku langsung menyampaikan hal ini kepada seniorku itu. Aku hanya bisa membayangkan ekspresinya ketika kutawari calon istri. Mungkin ia sedang tersenyum. Mungkin juga ia sedang mengernyitkan dahi. Mungkin juga ia sedang menarik napas panjang karena kutahu beberapa tahun yang lalu ia sempat bercerita bahwa proses perjodohan yang ia jalani tidak berjalan mulus. Mungkin ia sedikit pesimis kali ini akan berhasil.
Dengan sedikit bercanda ia menjawab akan mempertimbangkan tawaranku. Katanya, ia hanya tidak ingin kembali bertepuk sebelah tangan. Karena itu, ia ingin aku memastikan terlebih dahulu bersediakah si gadis menerimanya apa adanya. Jika bersedia, ia segera memulai ta‘aruf jarak jauh. Aku pun meyakinkannya bahwa kali ini dengan izin dan kehendak Allah usahanya akan berhasil. Apalagi, orang yang dikenalkan kepadanya memiliki kriteria yang selama ini ia cari.
Proses perkenalan pun akhirnya berjalan. Dengan perantaraan Chairil dan istrinya, usaha Iwan mendapatkan kemudahan. Ia dapat restu dari kedua orang tua si gadis. Sepulang dari Malaysia, ia diminta untuk datang ke rumah. Setelah itu, hari pernikahan ditentukan. Tak kusangka, acara pernikahannya bersamaan denganku. Padahal, aku ingin mengajak istriku hadir di hari istimewanya.
Beda cerita dengan Ahmad Zaenuri. Dialah teman sekelasku yang sama-sama mengabdikan diri di pondok cukup lama. Bahkan, aku mengira ia akan mengabdi selamanya alias jadi wakaf pengabdian seumur hidup. Nyatanya, ia juga memutuskan angkat kaki dari pondok bersamaan denganku. Sejak saat itu, kami tidak lagi berstatus guru KMI Gontor.
Namun demikian, kami berdua masih mondar-mandir di lingkungan pondok. Ia fokus membantu kesembuhan Ustadz Syukri yang sakit sejak tahun 2012. Sedangkan aku fokus mengikuti Program Kaderisasi Ulama di Universitas Darussalam Gontor plus membantu program Islamisasi ilmu yang dipimpin Ustadz Hamid. Artinya, kami belum benar-benar angkat kaki dari pondok, tapi kami sudah tidak dijadwalkan lagi di KMI.
Selama pengabdian Zaenuri di rumah Ustadz Syukri, ia mendapat perhatian dari Bu Syukri dan keluarganya. Melihat ketulusan temanku yang berasal dari Jepara itu, hati Bu Syukri tertarik untuk menjadikannya bagian dari keluarganya. Kebetulan Bu Syukri mempunyai keponakan perempuan dari seorang adiknya. Ia menganggap Zaenuri sangat cocok untuk dijadikan menantu sekaligus penerus estafet kepempinan di pondok milik iparnya di daerah Nganjuk.
Tentu saja tawaran Bu Syukri sempat mendatangkan dilema bagi temanku yang sebelumnya bertugas di Pengasuhan Santri itu. Apapun keputusannya, ia akan menerima konsekuensi besar. Ia pasti memikirkannya berulang-ulang. Tawaran dari Bu Syukri sama saja artinya itu tawaran dari sang kiai yang ia rawat selama ini. Aku tidak tahu prosesnya, namun akhirnya Zaenuri menerimanya dengan senang hati.
Sebenarnya, ia melangsungkan akad nikah terlebih dahulu sebelum Ramadhan atau akhir Mei 2017. Tapi, walimahnya baru digelar pada tanggal 2 Juli 2017 di Nganjuk. Karena itulah kami tidak bisa saling menghadiri. Kebanyakan guru senior hadir di acaranya karena mertuanya termasuk generasi mereka. Selain itu, karena yang menikah keponakannya Ustadz Syukri, bisa disamakan dengan menghadiri acaranya sang kiai.
Ahmad Lukman Nugraha juga termasuk teman akrabku walaupun kami tidak pernah duduk di kelas yang sama. Ia menikah dengan adik ipar dari Ma’mun Affany, seorang alumnus Gontor sekaligus penulis novel yang cukup ternama di kalangan remaja.
Lukman melalui proses yang cukup cepat juga walaupun sempat dipusingkan dengan pilihan-pilihan yang ditawarkan ayah dan ibunya. Tak disangka, jodohnya justru orang yang dia kenal selama ini, tapi tak pernah diliriknya. Ia baru menyadarinya setelah adiknya merekomendasikan orang itu. Lukman pun bergerak cepat. Ayah dan ibunya pun setuju. Jadilah mereka berdua menikah di tanggal 2 Juli 2017 juga.
Satu lagi, Jalaluddin Rumi. Dia bukanlah teman akrab, tapi adik kelas, tepatnya anak didik kami waktu kami membimbing siswa-siswa kelas 6. Rumi rupanya sudah lama menemukan pilihan hidupnya. Tapi, ia pergi belajar dulu ke Pakistan. Ia menyimpan rapat rahasianya dan baru mengumumkan menjelang calon istrinya selesai wisuda atau mendekati hari H pernikahan mereka berdua.
Kami semua menaiki bahtera kehidupan pada tanggal yang sama. Sudah setahun kami berlayar. Tiga orang di antara kami sudah dikaruniai anak. Satu lagi belum ada kabar. Dan satu lagi sedang menunggu hari-hari terakhir lahirnya sang calon buah hati. shah wa

Kampung Damai, 15 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar