Mantener 2 Juli Minus Pak Iwan |
Ternyata, bukan hanya aku yang memilih 2 Juli 2017 sebagai hari
istimewa awal mula perjalanan hidup sebagai suami. Ada beberapa kawan yang juga
menikah pada hari itu. Semuanya berlangsung di Pulau Jawa. Mereka adalah Iwan Aminurrahman,
Ahmad Zaenuri, Ahmad Lukman Nugraha, dan Jalaludin Rumi.
Orang yang paling akrab denganku adalah Iwan Aminurrahman. Ia
adalah seniorku, tepatnya angkatan dua tahun di atasku. Kami pernah
bertahun-tahun tinggal satu gedung, yaitu Gedung Madrasah. Tapi, kami bertugas
di bagian yang berbeda. Ia ditugaskan di Bagian Administrasi Pondok, sedangkan
aku di Bagian Sekretaris Pimpinan. Karena satu gedung, kamar kami bersebelahan.
Temanku yang berasal dari Kediri itu adalah seorang jenius.
Kelasnya berisi orang-orang hebat. Maka, tidak heran jika orangnya sangatlah
idealis. Prinsip hidupnya pun dipegang dengan kuat, lillah-fillah. Tidak
mudah goyah oleh rayuan-rayuan duniawi. Kesamaan prinsip yang kami peganglah
yang membuat kami bisa sangat akrab di Madrasah.
Kepercayaan yang tumbuh selama masa pertemanan kami mengantarkannya
bertemu jodoh terbaik yang selama ini ia cari-cari. Suatu hari ia menghubungiku
via telepon dari Malaysia. Seingatku, waktu itu ia hanya ingin bertanya tentang
referensi beberapa buku.
Tiba-tiba, pikiranku teringat pada cerita Chairil Anwar, teman seangkatanku
sekaligus karibku dari Banjarmasin yang baru saja menikah dengan gadis Batam.
Iril, begitu aku biasa memanggilnya, bercerita bahwa teman istrinya sedang
mencari jodoh. Bahkan, ayah teman istrinya itu meminta langsung kepada Iril untuk
mencarikan seorang lelaki yang baik buat anaknya.
Tanpa basa-basi, aku langsung menyampaikan hal ini kepada seniorku
itu. Aku hanya bisa membayangkan ekspresinya ketika kutawari calon istri.
Mungkin ia sedang tersenyum. Mungkin juga ia sedang mengernyitkan dahi. Mungkin
juga ia sedang menarik napas panjang karena kutahu beberapa tahun yang lalu ia
sempat bercerita bahwa proses perjodohan yang ia jalani tidak berjalan mulus. Mungkin
ia sedikit pesimis kali ini akan berhasil.
Dengan sedikit bercanda ia menjawab akan mempertimbangkan tawaranku.
Katanya, ia hanya tidak ingin kembali bertepuk sebelah tangan. Karena itu, ia
ingin aku memastikan terlebih dahulu bersediakah si gadis menerimanya apa
adanya. Jika bersedia, ia segera memulai ta‘aruf jarak jauh. Aku pun
meyakinkannya bahwa kali ini dengan izin dan kehendak Allah usahanya akan
berhasil. Apalagi, orang yang dikenalkan kepadanya memiliki kriteria yang
selama ini ia cari.
Proses perkenalan pun akhirnya berjalan. Dengan perantaraan Chairil
dan istrinya, usaha Iwan mendapatkan kemudahan. Ia dapat restu dari kedua orang
tua si gadis. Sepulang dari Malaysia, ia diminta untuk datang ke rumah. Setelah
itu, hari pernikahan ditentukan. Tak kusangka, acara pernikahannya bersamaan
denganku. Padahal, aku ingin mengajak istriku hadir di hari istimewanya.
Beda cerita dengan Ahmad Zaenuri. Dialah teman sekelasku yang
sama-sama mengabdikan diri di pondok cukup lama. Bahkan, aku mengira ia akan
mengabdi selamanya alias jadi wakaf pengabdian seumur hidup. Nyatanya, ia juga
memutuskan angkat kaki dari pondok bersamaan denganku. Sejak saat itu, kami
tidak lagi berstatus guru KMI Gontor.
Namun demikian, kami berdua masih mondar-mandir di lingkungan
pondok. Ia fokus membantu kesembuhan Ustadz Syukri yang sakit sejak tahun 2012.
Sedangkan aku fokus mengikuti Program Kaderisasi Ulama di Universitas
Darussalam Gontor plus membantu program Islamisasi ilmu yang dipimpin Ustadz
Hamid. Artinya, kami belum benar-benar angkat kaki dari pondok, tapi kami sudah
tidak dijadwalkan lagi di KMI.
Selama pengabdian Zaenuri di rumah Ustadz Syukri, ia mendapat
perhatian dari Bu Syukri dan keluarganya. Melihat ketulusan temanku yang
berasal dari Jepara itu, hati Bu Syukri tertarik untuk menjadikannya bagian
dari keluarganya. Kebetulan Bu Syukri mempunyai keponakan perempuan dari
seorang adiknya. Ia menganggap Zaenuri sangat cocok untuk dijadikan menantu
sekaligus penerus estafet kepempinan di pondok milik iparnya di daerah Nganjuk.
Tentu saja tawaran Bu Syukri sempat mendatangkan dilema bagi
temanku yang sebelumnya bertugas di Pengasuhan Santri itu. Apapun keputusannya,
ia akan menerima konsekuensi besar. Ia pasti memikirkannya berulang-ulang.
Tawaran dari Bu Syukri sama saja artinya itu tawaran dari sang kiai yang ia
rawat selama ini. Aku tidak tahu prosesnya, namun akhirnya Zaenuri menerimanya
dengan senang hati.
Sebenarnya, ia melangsungkan akad nikah terlebih dahulu sebelum
Ramadhan atau akhir Mei 2017. Tapi, walimahnya baru digelar pada tanggal 2 Juli
2017 di Nganjuk. Karena itulah kami tidak bisa saling menghadiri. Kebanyakan
guru senior hadir di acaranya karena mertuanya termasuk generasi mereka. Selain
itu, karena yang menikah keponakannya Ustadz Syukri, bisa disamakan dengan
menghadiri acaranya sang kiai.
Ahmad Lukman Nugraha juga termasuk teman akrabku walaupun kami
tidak pernah duduk di kelas yang sama. Ia menikah dengan adik ipar dari Ma’mun
Affany, seorang alumnus Gontor sekaligus penulis novel yang cukup ternama di
kalangan remaja.
Lukman melalui proses yang cukup cepat juga walaupun sempat
dipusingkan dengan pilihan-pilihan yang ditawarkan ayah dan ibunya. Tak
disangka, jodohnya justru orang yang dia kenal selama ini, tapi tak pernah
diliriknya. Ia baru menyadarinya setelah adiknya merekomendasikan orang itu.
Lukman pun bergerak cepat. Ayah dan ibunya pun setuju. Jadilah mereka berdua
menikah di tanggal 2 Juli 2017 juga.
Satu lagi, Jalaluddin Rumi. Dia bukanlah teman akrab, tapi adik
kelas, tepatnya anak didik kami waktu kami membimbing siswa-siswa kelas 6. Rumi
rupanya sudah lama menemukan pilihan hidupnya. Tapi, ia pergi belajar dulu ke
Pakistan. Ia menyimpan rapat rahasianya dan baru mengumumkan menjelang calon istrinya
selesai wisuda atau mendekati hari H pernikahan mereka berdua.
Kami semua menaiki bahtera kehidupan pada tanggal yang sama. Sudah
setahun kami berlayar. Tiga orang di antara kami sudah dikaruniai anak. Satu lagi
belum ada kabar. Dan satu lagi sedang menunggu hari-hari terakhir lahirnya sang
calon buah hati. shah wa
Kampung Damai, 15 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar