Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Minggu, 22 Juli 2018

Kesucian Ta‘arufku


Benar saja, sehari setelah jawaban penolakan tersebut. Ada kabar yang membuatku seperti mendapatkan durian runtuh. Bukan kabar dari Uyung yang masih kutunggu-tunggu itu, tapi kabar dari Mbak Sari. Iya, Mbak Sari kembali menghubungiku lewat messenger. Mahasuci Allah yang membolak-balik hati manusia! Hanya dalam satu hari, penolakan itu berubah menjadi penerimaan. Sungguh, kita memang tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah.
“Assalamu‘alaikum, Mbak Sari! Nama orang yang dimaksud itu siapa ya? Nama akun facebook-ya Shah Wa, kan? Sebelumnya, saya minta maaf, Mbak. Saya juga berpikiran bahwa tidak ada kata jauh dan dekat di muka bumi ini. Kalau hanya di bumi, memang Kalimantan kelihatannya jauh seperti kata Mbak Sari. Tapi, kenyataannya bumi ini hanyalah bagai debu di alam semesta, apalagi di hadapan Allah.”
“Jadi, kalau memang beliau itu orangnya, saya punya cerita, nih. Sebenarnya, sebelum ini ada teman saya yang sudah mengenalkan beliau ke saya, tapi baru menyebut nama facebook-nya. Dia belum memberi tahu nama aslinya. Katanya, beliau mau istikharah gitu. Walaupun sempat kaget, saya persilakan saja karena itu salah satu jalan ikhtiar manusia. Yang menentukan tetap Allah.”
“Kata teman saya, beliau sudah nge-add akun facebook saya untuk memulai ta‘aruf. Saya sempat takut, jadi tidak langsung saya konfirmasi. Tahu-tahu, kakak saya sudah mengonfirmasi. Menurut teman saya, beliau nanti yang akan menyapa duluan dan mau bertanya beberapa hal tentang saya. Tapi, setelah ditunggu-tunggu, tidak ditanya-tanya juga.”
“Nah, setelah menunggu sehari-dua hari, tiba-tiba Mbak Sari mengenalkan seseorang. Saya tidak tahu kalau orangnya sama. Sementara itu, saya sedang menunggu proses perkenalan lewat teman tadi. Kalau saya langsung mempersilakan orang yang dikenalkan oleh Mbak Sari nanti saya terkesan murahan. Iya, kan, Mbak? Tapi, ternyata orangnya sama, ya. Jadi, bagaimana, Mbak?”
Demikian potongan penjelasan dari adik kelasnya Mbak Sari yang kembali membangkitkan semangatku. Ada harapan di situ. Aku tahu harapan itu sangat besar dan pintu yang kuketuk benar-benar terbuka lebar.
Lalu Mbak Sari menyarankan dia untuk menjalani proses ta‘aruf-nya. Mbak Sari siap menjadi perantara jika adik kelasnya itu enggan untuk mengobrol langsung walaupun via inbox atau messenger. Tapi, Mbak Sari tetap menyarankan untuk mengobrol saja dulu via facebook seperlunya, untuk memantapkan hati. Akhirnya, dia pun membuka pintu ta‘aruf. Mbak Sari memberitahuku bahwa ia mempersilakanku untuk memulai percakapan.
Hari itu juga aku langsung menyapanya. Tapi, aku harus menunggu setengah hari untuk mendapatkan respons. Kami pun mulai mengobrol tentang beberapa hal prinsipiil. Percakapannya benar-benar kaku. Sangat kaku. Aku sampai bingung harus membicarakan apa. Begitulah rasanya bercakap dengan orang yang belum sama sekali kita kenal, apalagi orangnya begitu menjaga diri.
Setelah tiga kali mengobrol melalui inbox dengan suasana yang sama kakunya dengan obrolan pertama, aku memutuskan untuk menjaga kesucian ta‘aruf ini. Aku tahu dia pun merasa tidak nyaman terlalu banyak mengobrol lewat inbox. Aku benar-benar takut dosa. Aku ingin menjalani proses ini sesuci mungkin. Karena hatiku sudah mantap dari awal, aku memutuskan untuk segera menghadap orang tuanya jika diperkenankan, walaupun aku belum pernah bertemu orangnya.
Ternyata, dia punya pemikiran yang sama. Aku tahu dari Uyung. Lima hari setelah menjalani proses ta‘aruf dengan bantuan Mbak Sari, Uyung baru menghubungiku lagi. Dengan sumringah dia mengucapkan selamat kepadaku. Ia mengaku tidak menyangka aku bergerak lebih cepat. Ia meminta maaf karena terlalu sibuk hingga tak sempat membuka facebook. Ia hanya kaget tiba-tiba temannya sudah menjalani proses ta‘aruf denganku. Hari itu juga Uyung memberitahuku bahwa temannya menitipkan pesan untukku bahwa aku diminta untuk datang ke rumah menemui orang tuanya secepatnya.
Tanpa pikir panjang, aku pun langsung bertanya ke orangnya. Dengan sedikit basa-basi, aku menyampaikan niat bertemu orang tuanya. Dia langsung mempersilakan dengan memberi alamat rumah dan nomor telepon kedua orang tuanya. Sungguh cepat proses ta‘aruf yang kujalani, dan sungguh berani aku mengambil keputusan ini. Aku merasa seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk mempercepat langkah, menutup ruang maksiat, dan memastikan tirai jodohku benar-benar tersingkap seluruhnya.
Setelah berkonsultasi dengan orang tuaku di rumah. Aku memutuskan untuk datang ke rumahnya pada hari Senin, tanggal 30 Mei 2016. Itulah hari bersejarah yang tak pernah kulupakan seumur hidupku. Tirai jodohku benar-benar telah tersingkap. Ternyata, jodohku itu bernama Nur Kamilah Habibah. shah wa

Kampung Damai, 22 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar