Benar saja, sehari setelah jawaban penolakan tersebut. Ada kabar
yang membuatku seperti mendapatkan durian runtuh. Bukan kabar dari Uyung yang
masih kutunggu-tunggu itu, tapi kabar dari Mbak Sari. Iya, Mbak Sari kembali menghubungiku
lewat messenger. Mahasuci Allah yang membolak-balik hati manusia! Hanya
dalam satu hari, penolakan itu berubah menjadi penerimaan. Sungguh, kita memang
tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah.
“Assalamu‘alaikum, Mbak Sari! Nama orang yang dimaksud itu siapa
ya? Nama akun facebook-ya Shah Wa, kan? Sebelumnya, saya minta maaf,
Mbak. Saya juga berpikiran bahwa tidak ada kata jauh dan dekat di muka bumi
ini. Kalau hanya di bumi, memang Kalimantan kelihatannya jauh seperti kata Mbak
Sari. Tapi, kenyataannya bumi ini hanyalah bagai debu di alam semesta, apalagi
di hadapan Allah.”
“Jadi, kalau memang beliau itu orangnya, saya punya cerita, nih. Sebenarnya,
sebelum ini ada teman saya yang sudah mengenalkan beliau ke saya, tapi baru
menyebut nama facebook-nya. Dia belum memberi tahu nama aslinya. Katanya,
beliau mau istikharah gitu. Walaupun sempat kaget, saya
persilakan saja karena itu salah satu jalan ikhtiar manusia. Yang menentukan
tetap Allah.”
“Kata teman saya, beliau sudah nge-add akun facebook
saya untuk memulai ta‘aruf. Saya sempat takut, jadi tidak langsung saya
konfirmasi. Tahu-tahu, kakak saya sudah mengonfirmasi. Menurut teman saya,
beliau nanti yang akan menyapa duluan dan mau bertanya beberapa hal tentang
saya. Tapi, setelah ditunggu-tunggu, tidak ditanya-tanya juga.”
“Nah, setelah menunggu sehari-dua hari, tiba-tiba Mbak Sari
mengenalkan seseorang. Saya tidak tahu kalau orangnya sama. Sementara itu, saya
sedang menunggu proses perkenalan lewat teman tadi. Kalau saya langsung
mempersilakan orang yang dikenalkan oleh Mbak Sari nanti saya terkesan murahan.
Iya, kan, Mbak? Tapi, ternyata orangnya sama, ya. Jadi, bagaimana, Mbak?”
Demikian potongan penjelasan dari adik kelasnya Mbak Sari yang
kembali membangkitkan semangatku. Ada harapan di situ. Aku tahu harapan itu
sangat besar dan pintu yang kuketuk benar-benar terbuka lebar.
Lalu Mbak Sari menyarankan dia untuk menjalani proses ta‘aruf-nya.
Mbak Sari siap menjadi perantara jika adik kelasnya itu enggan untuk mengobrol
langsung walaupun via inbox atau messenger. Tapi, Mbak Sari tetap
menyarankan untuk mengobrol saja dulu via facebook seperlunya, untuk
memantapkan hati. Akhirnya, dia pun membuka pintu ta‘aruf. Mbak Sari
memberitahuku bahwa ia mempersilakanku untuk memulai percakapan.
Hari itu juga aku langsung menyapanya. Tapi, aku harus menunggu
setengah hari untuk mendapatkan respons. Kami pun mulai mengobrol tentang
beberapa hal prinsipiil. Percakapannya benar-benar kaku. Sangat kaku. Aku sampai
bingung harus membicarakan apa. Begitulah rasanya bercakap dengan orang yang
belum sama sekali kita kenal, apalagi orangnya begitu menjaga diri.
Setelah tiga kali mengobrol melalui inbox dengan suasana
yang sama kakunya dengan obrolan pertama, aku memutuskan untuk menjaga kesucian
ta‘aruf ini. Aku tahu dia pun merasa tidak nyaman terlalu banyak
mengobrol lewat inbox. Aku benar-benar takut dosa. Aku ingin menjalani
proses ini sesuci mungkin. Karena hatiku sudah mantap dari awal, aku memutuskan
untuk segera menghadap orang tuanya jika diperkenankan, walaupun aku belum
pernah bertemu orangnya.
Ternyata, dia punya pemikiran yang sama. Aku tahu dari Uyung. Lima
hari setelah menjalani proses ta‘aruf dengan bantuan Mbak Sari, Uyung
baru menghubungiku lagi. Dengan sumringah dia mengucapkan selamat kepadaku. Ia
mengaku tidak menyangka aku bergerak lebih cepat. Ia meminta maaf karena
terlalu sibuk hingga tak sempat membuka facebook. Ia hanya kaget
tiba-tiba temannya sudah menjalani proses ta‘aruf denganku. Hari
itu juga Uyung memberitahuku bahwa temannya menitipkan pesan untukku bahwa aku
diminta untuk datang ke rumah menemui orang tuanya secepatnya.
Tanpa pikir panjang, aku pun langsung bertanya ke orangnya. Dengan sedikit
basa-basi, aku menyampaikan niat bertemu orang tuanya. Dia langsung
mempersilakan dengan memberi alamat rumah dan nomor telepon kedua orang tuanya.
Sungguh cepat proses ta‘aruf yang kujalani, dan sungguh berani aku
mengambil keputusan ini. Aku merasa seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk
mempercepat langkah, menutup ruang maksiat, dan memastikan tirai jodohku
benar-benar tersingkap seluruhnya.
Setelah berkonsultasi dengan orang tuaku di rumah. Aku memutuskan
untuk datang ke rumahnya pada hari Senin, tanggal 30 Mei 2016. Itulah hari
bersejarah yang tak pernah kulupakan seumur hidupku. Tirai jodohku benar-benar
telah tersingkap. Ternyata, jodohku itu bernama Nur Kamilah Habibah. shah
wa
Kampung Damai, 22 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar