Aku punya banyak teman. Dua orang di antara mereka ada yang
beruntung menyaksikan momen sakral acara lamaranku. Kedua orang itu adalah
Taqiyuddin dan Reza. Entah kenapa aku memilih mereka di antara sekian banyak
teman yang kumiliki. Mungkin, karena merekalah yang tampaknya tidak sesibuk
yang lain di kampus. Selain itu, mereka sepertinya senang-senang saja diajak ke
Yogyakarta, apalagi Taqiyuddin yang berumah di sana. Ini seperti kesempatan
baginya untuk pulang sebentar ke rumah.
Kami menyewa mobil untuk berangkat ke Yogyakarta. Taqiyuddin duduk
di belakang setir dan Reza duduk di sampingnya. Aku duduk tepat di belakang
mereka. Kami berangkat sore hari. Sementara acaranya berlangsung besok pagi.
Rombongan keluargaku dari Kalimantan sudah sampai di Yogyakarta
tadi pagi. Mereka berjumlah lima orang, terdiri dari ibuku, uwak, kakakku
bersama suaminya, dan seorang adikku. Kebetulan adikku punya teman akrab di
daerah Yogyakarta bernama Hendra. Adikku itu sudah dianggap seperti anak
sendiri oleh orang tuanya Hendra. Karena itu, di rumah Hendra-lah mereka
menginap.
Jam 10 malam kami tiba di Yogyakarta dan langsung mencari rumah
Hendra. Dengan bantuan google map, rumah Hendra tidak sulit dicari. Ada
ibuku di sana yang tampak kecapekan menyambutku di depan pintu. Uwak juga
demikian. Tidak terkecuali kakakku dan suaminya. Hanya adikku yang tampak segar
dengan gaya sok dewasanya itu.
Sekarang adikku itu sudah tidak sok dewasa lagi. Ia benar-benar
sudah dewasa, baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Pahitnya pengalaman
hidup telah menempanya menjadi seorang anak yang hebat, yang kini sudah bisa
membuat ibuku tersenyum bahagia.
Malam itu, aku tidak tidur di rumah Hendra. Kami menginap di rumah
Taqiyuddin. Acara lamaran dijadwalkan berlangsung besok pagi sekitar jam 9-an.
Kami hanya punya waktu beberapa jam untuk mempersiapkan segala sesuatunya,
termasuk bingkisan yang harus dibawa nanti.
Ibuku memang membawa kue khusus dari rumah dan beberapa potong kain
khas Banjarmasin. Tapi, kami berpikir itu belum cukup untuk dijadikan buah
tangan saat lamaran. Masih kurang. Akhirnya, sebelum tidur, kami menyisir
jalanan untuk mencari toko buah. Namun, tidak juga ketemu. Untungnya Taqiyuddin
orang Yogyakarta. Jadi, dia tahu tempat-tempat yang bisa didatangi besok pagi
untuk melengkapi bingkisan lamaran.
Pagi-pagi setelah shalat Subuh kami bertiga langsung ke pasar.
Pertama-tama, kami mencari toko buah dan membeli dua paket buah-buahan.
Kemudian kami ke toko sembako. Di sana, kami membeli beras dan lain sebagainya
untuk dijadikan bingkisan. Misi selesai. Aku bisa sedikit tenang.
Ada satu hal lagi yang masih kupikirkan setelah itu. Tak ada satu
pun dari anggota keluargaku yang hadir di acara lamaran nanti yang fasih
berbahasa Jawa, apalagi kromo inggil. Jadi, siapa yang bisa menjembatani
komunikasi keluargaku dengan keluarga calon istriku? Dalam acara lamaran,
biasanya memang ada semacam juru bicara mewakili keluarga masing-masing.
Tentunya, orang yang bertugas itu pandai bertutur dan juga mengerti tata
bahasa. Inilah yang belum kami siapkan.
Keluarga Hendra pun berbaik hati membantu mencarikan juru bicara
dari orang Yogyakarta asli. Tadinya, ayahnya Hendra yang kami minta untuk menjadi
juru bicara keluarga kami, tapi beliau merasa kurang cakap sebagai juru bicara.
Lalu beliau sempat meminta kakak tertuanya yang berprofesi sebagai polisi. Namun,
sang kakak juga tidak bisa karena ada tugas pada hari yang diminta. Akhirnya,
ada orang di sekitar situ yang dikenal cakap sebagai juru bicara. Namanya Pak
Sugi. Pagi itu juga Pak Sugi didatangi ayahnya Hendra. Pak Sugi berkenan.
Sesampai di rumah Hendra, aku dan Pak Sugi langsung dipertemukan. Sebelum
berangkat, Pak Sugi meminta data keluargaku dan data keluarga yang dilamar. Kujelaskan
sedikit susunan acara lamaran nanti dan beliau langsung paham. Hatiku pun lega.
Allah memudahkan segalanya.
Acara lamaran berjalan dengan lancar. Taqiyuddin dan Reza jadi
kameramen dadakan dengan handphone-nya masing-masing. Hari itu, mereka
berdua menjadi saksi langsung bagaimana aku melamar wanita Yogyakarta berdarah
Bangka yang kini telah menjadi istriku. shah wa
Kampung Damai, 5 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar