Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Kamis, 05 Juli 2018

Taqiyuddin dan Reza


Aku punya banyak teman. Dua orang di antara mereka ada yang beruntung menyaksikan momen sakral acara lamaranku. Kedua orang itu adalah Taqiyuddin dan Reza. Entah kenapa aku memilih mereka di antara sekian banyak teman yang kumiliki. Mungkin, karena merekalah yang tampaknya tidak sesibuk yang lain di kampus. Selain itu, mereka sepertinya senang-senang saja diajak ke Yogyakarta, apalagi Taqiyuddin yang berumah di sana. Ini seperti kesempatan baginya untuk pulang sebentar ke rumah.
Kami menyewa mobil untuk berangkat ke Yogyakarta. Taqiyuddin duduk di belakang setir dan Reza duduk di sampingnya. Aku duduk tepat di belakang mereka. Kami berangkat sore hari. Sementara acaranya berlangsung besok pagi.
Rombongan keluargaku dari Kalimantan sudah sampai di Yogyakarta tadi pagi. Mereka berjumlah lima orang, terdiri dari ibuku, uwak, kakakku bersama suaminya, dan seorang adikku. Kebetulan adikku punya teman akrab di daerah Yogyakarta bernama Hendra. Adikku itu sudah dianggap seperti anak sendiri oleh orang tuanya Hendra. Karena itu, di rumah Hendra-lah mereka menginap.
Jam 10 malam kami tiba di Yogyakarta dan langsung mencari rumah Hendra. Dengan bantuan google map, rumah Hendra tidak sulit dicari. Ada ibuku di sana yang tampak kecapekan menyambutku di depan pintu. Uwak juga demikian. Tidak terkecuali kakakku dan suaminya. Hanya adikku yang tampak segar dengan gaya sok dewasanya itu.
Sekarang adikku itu sudah tidak sok dewasa lagi. Ia benar-benar sudah dewasa, baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Pahitnya pengalaman hidup telah menempanya menjadi seorang anak yang hebat, yang kini sudah bisa membuat ibuku tersenyum bahagia.
Malam itu, aku tidak tidur di rumah Hendra. Kami menginap di rumah Taqiyuddin. Acara lamaran dijadwalkan berlangsung besok pagi sekitar jam 9-an. Kami hanya punya waktu beberapa jam untuk mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk bingkisan yang harus dibawa nanti.
Ibuku memang membawa kue khusus dari rumah dan beberapa potong kain khas Banjarmasin. Tapi, kami berpikir itu belum cukup untuk dijadikan buah tangan saat lamaran. Masih kurang. Akhirnya, sebelum tidur, kami menyisir jalanan untuk mencari toko buah. Namun, tidak juga ketemu. Untungnya Taqiyuddin orang Yogyakarta. Jadi, dia tahu tempat-tempat yang bisa didatangi besok pagi untuk melengkapi bingkisan lamaran.
Pagi-pagi setelah shalat Subuh kami bertiga langsung ke pasar. Pertama-tama, kami mencari toko buah dan membeli dua paket buah-buahan. Kemudian kami ke toko sembako. Di sana, kami membeli beras dan lain sebagainya untuk dijadikan bingkisan. Misi selesai. Aku bisa sedikit tenang.
Ada satu hal lagi yang masih kupikirkan setelah itu. Tak ada satu pun dari anggota keluargaku yang hadir di acara lamaran nanti yang fasih berbahasa Jawa, apalagi kromo inggil. Jadi, siapa yang bisa menjembatani komunikasi keluargaku dengan keluarga calon istriku? Dalam acara lamaran, biasanya memang ada semacam juru bicara mewakili keluarga masing-masing. Tentunya, orang yang bertugas itu pandai bertutur dan juga mengerti tata bahasa. Inilah yang belum kami siapkan.
Keluarga Hendra pun berbaik hati membantu mencarikan juru bicara dari orang Yogyakarta asli. Tadinya, ayahnya Hendra yang kami minta untuk menjadi juru bicara keluarga kami, tapi beliau merasa kurang cakap sebagai juru bicara. Lalu beliau sempat meminta kakak tertuanya yang berprofesi sebagai polisi. Namun, sang kakak juga tidak bisa karena ada tugas pada hari yang diminta. Akhirnya, ada orang di sekitar situ yang dikenal cakap sebagai juru bicara. Namanya Pak Sugi. Pagi itu juga Pak Sugi didatangi ayahnya Hendra. Pak Sugi berkenan.
Sesampai di rumah Hendra, aku dan Pak Sugi langsung dipertemukan. Sebelum berangkat, Pak Sugi meminta data keluargaku dan data keluarga yang dilamar. Kujelaskan sedikit susunan acara lamaran nanti dan beliau langsung paham. Hatiku pun lega. Allah memudahkan segalanya.
Acara lamaran berjalan dengan lancar. Taqiyuddin dan Reza jadi kameramen dadakan dengan handphone-nya masing-masing. Hari itu, mereka berdua menjadi saksi langsung bagaimana aku melamar wanita Yogyakarta berdarah Bangka yang kini telah menjadi istriku. shah wa

Kampung Damai, 5 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar