Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Rabu, 04 Juli 2018

Tanpa Ayah di Pelaminan


Ayahku meninggal pada bulan Maret 2016, setahun sebelum aku menikah. Ia tak sempat mengenal wanita pilihan putranya, apalagi duduk di pelaminan menemaniku. Uwak pun kuminta untuk menggantikan posisi ayah. Uwak adalah suami dari kakak kedua ibuku.
Siapapun pasti berharap kedua orang tuanya lengkap berdiri di pelaminan, mengantar anaknya menaiki bahtera rumah tangga sebelum berlayar di lautan lepas. Tapi, kita harus sadar bahwa semua harapan tidak selalu terkabul sesuai kehendak kita.
Aku merasa ayahku pergi terlalu cepat. Bahkan, aku sendiri tak sempat bertemu dengannya untuk terakhir kali. Aku datang ke rumah hanya bertemu makamnya. Aku sempat menyesal kenapa tidak pulang sehari sebelumnya, setelah dikabarkan bahwa ayah mendadak sakit. Tapi, ini sudah rencana Allah. Kita harus ikhlas.
Memang tak ada yang menyangka ayah akan pergi secepat itu. Orang-orang di sekitar rumah bercerita bahwa ayahku tampak sehat-sehat saja sehari sebelum ia jatuh sakit. Bahkan, ayah sempat berbincang-bincang sambil minum kopi di warung dekat rumah seperti biasanya. Tak ada tanda-tanda bahwa itu adalah kopi terakhir yang ia minum di warung itu.
Keesokan paginya ayahku dikabarkan tak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Kakakku mengabarkan bahwa penyakit stroke yang menimpanya setahun lalu kambuh lagi. Penyebabnya tidak lain karena ayahku tak mampu menghentikan kebiasaannya mengisap rokok.
Pagi itu, aku meminta kakakku untuk memberikan teleponnya kepada ayah. Aku ingin mendengar suaranya. Alhamdulillah, ayah masih bisa berbincang denganku. Aku menanyakan bagaimana keadaannya. Ayah memintaku untuk tidak khawatir. Ia mengaku baik-baik saja, hanya minta doa agar segera sembuh. Aku benar-benar tak menyangka bahwa itu adalah percakapan terakhirku dengan orang yang selalu mengajakku ke masjid sejak kecil dulu.
Aku sempat tenang setelah mendengar langsung suara ayahku via telepon. Aku pun kembali bisa mengerjakan tugas kuliahku untuk dipresentasikan besok dan lusa. Aku berencana pulang setelah presentasi terakhir, yaitu setelah lusa. Aku meminta kakakku untuk selalu mengabarkan kondisi ayah agar hatiku tenang.
Namun, ketenangan hatiku tidak berlangsung lama. Pada hari itu juga kakakku mengabari bahwa ayah dilarikan ke rumah sakit. Kata kakak, kondisi ayah menurun drastis menjelang sore dan harus segera dibawa ke UGD.
Aku syok. Aku menelepon adik-adikku yang ada di Cirebon dan Jakarta. Mereka sudah tahu kabar ayah dan sudah beli tiket pulang untuk besok. Aku pun memutuskan untuk pulang esok. Tidak bisa ditunda lagi. Tugas kuliah yang sudah setengah selesai itu kutinggalkan begitu saja.
Setelah shalat Ashar aku mencari tiket pesawat Surabaya-Banjarmasin. Aku mendapatkan penerbangan siang. Di perjalanan pulang ke kampus, hatiku benar-benar gelisah hingga sempat terjatuh dari motor. Jalanan memang licin karena hujan deras mengguyur Ponorogo. Untunglah hanya lecet sedikit di tangan. Aku hanya bisa minta maaf kepada si pemilik motor, teman sekamarku, karena salah satu spion motornya terlepas. Dia memakluminya. Justru, dia lebih mengkhawatirkan keadaanku.
Malam itu juga kukemasi pakaian yang perlu kubawa pulang. Waktu sudah menunjukkan jam 10 malam. Aku masih merasakan nyeri di tangan akibat jatuh dari motor tadi. Tapi, sedikit olesan Betadine sudah cukup untuk mengurangi rasa sakitnya. Aku berkemas malam itu juga karena besok pagi aku harus sudah siap. Perjalanan Ponorogo-Surabaya membutuhkan waktu 5–6 jam. Jadi, setidaknya jam 7 pagi sudah berangkat dari Ponorogo agar tidak terlambat naik pesawat yang dijadwalkan terbang jam 2 siang. Setelah beres, aku pun tidur sambil berdoa semoga ayahku segera membaik.
Pagi-pagi sekali sepulang dari masjid, teleponku berdering beberapa kali. Jantungku berdegup kencang saat kuketahui adikku yang menelepon. Telepon yang ada di atas meja belajarku itu kuangkat. Aku mendengar isak nangis yang tak tertahankan. Adikku yang dikenal berwatak keras dan tak pernah takut menghadapi apapun itu menangis. Tanpa perlu ia jelaskan pun alasannya, aku sudah bisa menebak kenapa ia menangis. Sontak air mataku basah. Tanganku gemetar. Kami mendapat kabar bahwa ayah telah meninggal dunia beberapa saat sebelum Subuh.
Langit tiba-tiba mendung.
Aku kebingungan. Secepat apapun aku pulang, aku tetap tak bisa mengikuti pemakaman ayah. Tentu saja, pemakamannya tidak boleh ditunda hingga malam, apalagi sampai besok. Keluarga di rumah sudah memutuskan untuk memakamkan ayah setelah Ashar. Di antara kami yang ada di Jawa, hanya adik keduaku yang bisa mengejar acara itu. Ia beruntung masih sempat melihat wajah ayah untuk terakhir kalinya. Sedangkan aku dan kedua adikku yang lain baru sampai rumah jam 10 malam. Sudah telat.
Aku tidak bisa menyalahkan jauhnya jarak Ponorogo-Surabaya yang memakan waktu 6 jam. Aku juga tidak bisa menyalahkan jauhnya jarak bandara di Banjarbaru ke rumahku yang memakan waktu 3-4 jam. Aku pun tak bisa menyalahkan perbedaan waktu satu jam antara Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Semuanya sudah diatur oleh Allah. Kita hanya bisa berikhtiar dan Allah yang berhak menetapkan. shah wa

Kampung Damai, 4 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar