Ayahku meninggal pada bulan Maret 2016, setahun sebelum aku
menikah. Ia tak sempat mengenal wanita pilihan putranya, apalagi duduk di
pelaminan menemaniku. Uwak pun kuminta untuk menggantikan posisi ayah. Uwak
adalah suami dari kakak kedua ibuku.
Siapapun pasti berharap kedua orang tuanya lengkap berdiri di
pelaminan, mengantar anaknya menaiki bahtera rumah tangga sebelum berlayar di
lautan lepas. Tapi, kita harus sadar bahwa semua harapan tidak selalu terkabul
sesuai kehendak kita.
Aku merasa ayahku pergi terlalu cepat. Bahkan, aku sendiri tak
sempat bertemu dengannya untuk terakhir kali. Aku datang ke rumah hanya bertemu
makamnya. Aku sempat menyesal kenapa tidak pulang sehari sebelumnya, setelah
dikabarkan bahwa ayah mendadak sakit. Tapi, ini sudah rencana Allah. Kita harus
ikhlas.
Memang tak ada yang menyangka ayah akan pergi secepat itu.
Orang-orang di sekitar rumah bercerita bahwa ayahku tampak sehat-sehat saja
sehari sebelum ia jatuh sakit. Bahkan, ayah sempat berbincang-bincang sambil
minum kopi di warung dekat rumah seperti biasanya. Tak ada tanda-tanda bahwa
itu adalah kopi terakhir yang ia minum di warung itu.
Keesokan paginya ayahku dikabarkan tak bisa bangkit dari tempat
tidurnya. Kakakku mengabarkan bahwa penyakit stroke yang menimpanya setahun
lalu kambuh lagi. Penyebabnya tidak lain karena ayahku tak mampu menghentikan
kebiasaannya mengisap rokok.
Pagi itu, aku meminta kakakku untuk memberikan teleponnya kepada
ayah. Aku ingin mendengar suaranya. Alhamdulillah, ayah masih bisa berbincang
denganku. Aku menanyakan bagaimana keadaannya. Ayah memintaku untuk tidak
khawatir. Ia mengaku baik-baik saja, hanya minta doa agar segera sembuh. Aku
benar-benar tak menyangka bahwa itu adalah percakapan terakhirku dengan orang
yang selalu mengajakku ke masjid sejak kecil dulu.
Aku sempat tenang setelah mendengar langsung suara ayahku via
telepon. Aku pun kembali bisa mengerjakan tugas kuliahku untuk dipresentasikan
besok dan lusa. Aku berencana pulang setelah presentasi terakhir, yaitu setelah
lusa. Aku meminta kakakku untuk selalu mengabarkan kondisi ayah agar hatiku
tenang.
Namun, ketenangan hatiku tidak berlangsung lama. Pada hari itu juga
kakakku mengabari bahwa ayah dilarikan ke rumah sakit. Kata kakak, kondisi ayah
menurun drastis menjelang sore dan harus segera dibawa ke UGD.
Aku syok. Aku menelepon adik-adikku yang ada di Cirebon dan Jakarta.
Mereka sudah tahu kabar ayah dan sudah beli tiket pulang untuk besok. Aku pun
memutuskan untuk pulang esok. Tidak bisa ditunda lagi. Tugas kuliah yang sudah
setengah selesai itu kutinggalkan begitu saja.
Setelah shalat Ashar aku mencari tiket pesawat
Surabaya-Banjarmasin. Aku mendapatkan penerbangan siang. Di perjalanan pulang
ke kampus, hatiku benar-benar gelisah hingga sempat terjatuh dari motor.
Jalanan memang licin karena hujan deras mengguyur Ponorogo. Untunglah hanya
lecet sedikit di tangan. Aku hanya bisa minta maaf kepada si pemilik motor,
teman sekamarku, karena salah satu spion motornya terlepas. Dia memakluminya.
Justru, dia lebih mengkhawatirkan keadaanku.
Malam itu juga kukemasi pakaian yang perlu kubawa pulang. Waktu sudah
menunjukkan jam 10 malam. Aku masih merasakan nyeri di tangan akibat jatuh dari
motor tadi. Tapi, sedikit olesan Betadine sudah cukup untuk mengurangi
rasa sakitnya. Aku berkemas malam itu juga karena besok pagi aku harus sudah
siap. Perjalanan Ponorogo-Surabaya membutuhkan waktu 5–6 jam. Jadi, setidaknya
jam 7 pagi sudah berangkat dari Ponorogo agar tidak terlambat naik pesawat yang
dijadwalkan terbang jam 2 siang. Setelah beres, aku pun tidur sambil berdoa
semoga ayahku segera membaik.
Pagi-pagi sekali sepulang dari masjid, teleponku berdering beberapa
kali. Jantungku berdegup kencang saat kuketahui adikku yang menelepon. Telepon yang
ada di atas meja belajarku itu kuangkat. Aku mendengar isak nangis yang tak
tertahankan. Adikku yang dikenal berwatak keras dan tak pernah takut menghadapi
apapun itu menangis. Tanpa perlu ia jelaskan pun alasannya, aku sudah bisa
menebak kenapa ia menangis. Sontak air mataku basah. Tanganku gemetar. Kami mendapat
kabar bahwa ayah telah meninggal dunia beberapa saat sebelum Subuh.
Langit tiba-tiba mendung.
Aku kebingungan. Secepat apapun aku pulang, aku tetap tak bisa
mengikuti pemakaman ayah. Tentu saja, pemakamannya tidak boleh ditunda hingga
malam, apalagi sampai besok. Keluarga di rumah sudah memutuskan untuk
memakamkan ayah setelah Ashar. Di antara kami yang ada di Jawa, hanya adik
keduaku yang bisa mengejar acara itu. Ia beruntung masih sempat melihat wajah
ayah untuk terakhir kalinya. Sedangkan aku dan kedua adikku yang lain baru
sampai rumah jam 10 malam. Sudah telat.
Aku tidak bisa menyalahkan jauhnya jarak Ponorogo-Surabaya yang
memakan waktu 6 jam. Aku juga tidak bisa menyalahkan jauhnya jarak bandara di
Banjarbaru ke rumahku yang memakan waktu 3-4 jam. Aku pun tak bisa menyalahkan
perbedaan waktu satu jam antara Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Semuanya sudah
diatur oleh Allah. Kita hanya bisa berikhtiar dan Allah yang berhak menetapkan.
shah wa
Kampung Damai, 4 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar