Aku menikahinya bukan karena tak ada pilihan lagi. Aku menikahinya
bukan karena keinginan sesaat di hati. Aku menikahinya bukan karena aku tak
tahu harus memilih siapa lagi. Aku menikahinya bukan karena aku takut hidupku
tak lama lagi. Akan tetapi, demi Allah, aku menikahinya karena ialah yang
kucari selama ini. Aku menikahinya karena ialah wanita pilihan hatiku. Aku
menikahinya karena ialah yang kuminta pada Ilahi. Aku menikahinya karena ialah
yang kuinginkan untuk menemaniku sehidup semati. Aku menikahinya karena ialah
wanita idaman hati. Aku menikahinya karena ialah yang terbaik dari Allah
untukku. Aku menikahinya karena ialah yang kuyakini bisa menjadi istri yang
baik untukku. Aku menikahinya karena kuyakin ialah ibu terbaik untuk
anak-anakku. Aku menikahinya karena ialah jawaban dari misteri jodohku.
Karena itu, dengan mantap kuucapkan ijab kabul. Kugenggam tangan
ayahnya. Kuambil tanggung jawab besar di pundaknya untuk kupikul sendiri. Tanggung
jawab itu juga pernah dipikul ayahku waktu menikahi ibuku. Ia adalah suami yang
baik dan ayah teladan untukku. Walau tanpa kehadirannya pada hari sakral itu,
aku merasakan tambahan kekuatan darinya agar bisa memikul beban yang beratnya
sungguh tak terkira. Dengan disaksikan para malaikat, pada hari itu aku telah
bersumpah untuk menjadi imam terbaik untuk istriku tercinta.
Aku merasakan getaran langit saat ijab kabulku disahkan para saksi.
Mataku berkaca-kaca. Aku menangis bahagia. Tak kusangka ada wanita baik yang
mau menerimaku apa adanya. Tak kusangka aku mendapatkan istri yang menjadi dambaan
hatiku sejak dahulu kala. Tak mudah mencarinya. Sungguh sulit menemukannya. Aku
harus tersandung dan terjatuh terlebih dahulu. Aku harus tersesat dulu di hutan
berduri yang menakutkan dan penuh hewan-hewan buas menyeramkan. Jika bukan
Allah yang menunjukkan jalan-Nya, maka aku sudah mati tersesat, terkubur di
rimba belantara. Jika saja Allah tidak berbaik hati, aku sudah tak mampu
berdiri, lumpuh kaki dan mati. Jika Allah tidak memberikan cahaya-Nya, maka aku
sudah diterkam gelap tak terselamatkan.
Aku tahu para malaikat berdoa untukku pada hari itu. Mereka
benar-benar datang. Aku merasakan naungan sayap mereka di atas mahligai
pernikahanku. Aku tahu mereka tersenyum menyaksikan kekikukanku. Iya, aku
canggung. Pada hari itulah aku mencium kening seorang gadis untuk pertama
kalinya. Pada hari itu pula aku menggandeng tangan seorang wanita dengan
eratnya, berjalan berdua menuju pelaminan. Ketika itu juga aku memeluk wanita
untuk pertama kalinya. Aku seakan mendengar tepuk tangan mereka saat kami
berdua sudah bersanding di pelaminan. Untuk sampai ke situ dengan penghormatan
tinggi dari malaikat-malaikat Allah, kami telah berupaya menjaga kesucian sejak
ta‘aruf hingga disahkan akad pernikahan.
Mungkin, ayahku pun juga mendoakanku dari sana, di tempat yang jauh
di surga. Ia selalu menginginkan kebahagiaanku, juga kebahagiaan adik-adikku. Aku
tahu ia meridai pilihanku karena aku tak memilih sembarang pilih. Pilihanku sudah
tepat. Ia benar-benar bisa tenang sekarang. Kini, segala kekurangan putra
sulungnya sudah ada yang bisa melengkapi. Bukan sekadar melengkapi, tapi juga
menyempurnakan. Aku bisa merasakan senyuman ayahku di sana. Ia tersenyum
bahagia.
Semuanya bahagia. Ibuku pun bahagia. Adik-adikku juga. Mereka
bahagia dengan pilihanku. Ibuku bahagia akhirnya punya menantu salihah. Adik-adikku
bahagia mendapatkan kakak yang baik. Sebelum ini, aku tak pernah menjadi kakak
yang baik untuk mereka. Namun, aku selalu ingin menjadi kakak yang baik untuk
mereka. Kini, aku membuktikannya dengan memilih wanita yang baik untuk menjadi seorang
kakak yang mereka harapkan. shah wa
Kampung Damai, 30 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar