Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Senin, 30 Juli 2018

Dialah Belahan Jiwaku


Aku menikahinya bukan karena tak ada pilihan lagi. Aku menikahinya bukan karena keinginan sesaat di hati. Aku menikahinya bukan karena aku tak tahu harus memilih siapa lagi. Aku menikahinya bukan karena aku takut hidupku tak lama lagi. Akan tetapi, demi Allah, aku menikahinya karena ialah yang kucari selama ini. Aku menikahinya karena ialah wanita pilihan hatiku. Aku menikahinya karena ialah yang kuminta pada Ilahi. Aku menikahinya karena ialah yang kuinginkan untuk menemaniku sehidup semati. Aku menikahinya karena ialah wanita idaman hati. Aku menikahinya karena ialah yang terbaik dari Allah untukku. Aku menikahinya karena ialah yang kuyakini bisa menjadi istri yang baik untukku. Aku menikahinya karena kuyakin ialah ibu terbaik untuk anak-anakku. Aku menikahinya karena ialah jawaban dari misteri jodohku.
Karena itu, dengan mantap kuucapkan ijab kabul. Kugenggam tangan ayahnya. Kuambil tanggung jawab besar di pundaknya untuk kupikul sendiri. Tanggung jawab itu juga pernah dipikul ayahku waktu menikahi ibuku. Ia adalah suami yang baik dan ayah teladan untukku. Walau tanpa kehadirannya pada hari sakral itu, aku merasakan tambahan kekuatan darinya agar bisa memikul beban yang beratnya sungguh tak terkira. Dengan disaksikan para malaikat, pada hari itu aku telah bersumpah untuk menjadi imam terbaik untuk istriku tercinta.
Aku merasakan getaran langit saat ijab kabulku disahkan para saksi. Mataku berkaca-kaca. Aku menangis bahagia. Tak kusangka ada wanita baik yang mau menerimaku apa adanya. Tak kusangka aku mendapatkan istri yang menjadi dambaan hatiku sejak dahulu kala. Tak mudah mencarinya. Sungguh sulit menemukannya. Aku harus tersandung dan terjatuh terlebih dahulu. Aku harus tersesat dulu di hutan berduri yang menakutkan dan penuh hewan-hewan buas menyeramkan. Jika bukan Allah yang menunjukkan jalan-Nya, maka aku sudah mati tersesat, terkubur di rimba belantara. Jika saja Allah tidak berbaik hati, aku sudah tak mampu berdiri, lumpuh kaki dan mati. Jika Allah tidak memberikan cahaya-Nya, maka aku sudah diterkam gelap tak terselamatkan.
Aku tahu para malaikat berdoa untukku pada hari itu. Mereka benar-benar datang. Aku merasakan naungan sayap mereka di atas mahligai pernikahanku. Aku tahu mereka tersenyum menyaksikan kekikukanku. Iya, aku canggung. Pada hari itulah aku mencium kening seorang gadis untuk pertama kalinya. Pada hari itu pula aku menggandeng tangan seorang wanita dengan eratnya, berjalan berdua menuju pelaminan. Ketika itu juga aku memeluk wanita untuk pertama kalinya. Aku seakan mendengar tepuk tangan mereka saat kami berdua sudah bersanding di pelaminan. Untuk sampai ke situ dengan penghormatan tinggi dari malaikat-malaikat Allah, kami telah berupaya menjaga kesucian sejak ta‘aruf hingga disahkan akad pernikahan.
Mungkin, ayahku pun juga mendoakanku dari sana, di tempat yang jauh di surga. Ia selalu menginginkan kebahagiaanku, juga kebahagiaan adik-adikku. Aku tahu ia meridai pilihanku karena aku tak memilih sembarang pilih. Pilihanku sudah tepat. Ia benar-benar bisa tenang sekarang. Kini, segala kekurangan putra sulungnya sudah ada yang bisa melengkapi. Bukan sekadar melengkapi, tapi juga menyempurnakan. Aku bisa merasakan senyuman ayahku di sana. Ia tersenyum bahagia.
Semuanya bahagia. Ibuku pun bahagia. Adik-adikku juga. Mereka bahagia dengan pilihanku. Ibuku bahagia akhirnya punya menantu salihah. Adik-adikku bahagia mendapatkan kakak yang baik. Sebelum ini, aku tak pernah menjadi kakak yang baik untuk mereka. Namun, aku selalu ingin menjadi kakak yang baik untuk mereka. Kini, aku membuktikannya dengan memilih wanita yang baik untuk menjadi seorang kakak yang mereka harapkan. shah wa

Kampung Damai, 30 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar