Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Jumat, 20 Juli 2018

Awal Tersingkapnya Tirai Jodohku


Jodoh memang rahasia Allah. Tidak ada seorang pun yang tahu dengan pasti siapa yang akan bersanding dengannya di pelaminan. Namun, Allah sudah menentukan jodoh kita sejak kita berada dalam kandungan. Hanya saja, ada tirai yang membatasi kita untuk menemukannya hingga waktu yang telah ditetapkan. Saat waktu itu tiba, tirai itu pun pasti akan tersingkap.
Bagaimana Allah menyingkapkannya? Setiap orang punya kisahnya masing-masing. Karena jodoh itu sifatnya rahasia, tentu banyak sekali kejutan yang mengiringinya. Itu semua tidak terlepas dari cara Allah untuk membuktikan bahwa jodoh kita sudah diatur oleh-Nya, seperti halnya rezeki yang didapat dan usia yang dimiliki manusia.
Aku termasuk orang yang mendapat kejutan manis dari Allah. Tirai jodohku tersingkap di waktu yang tepat dan dengan cara yang indah. Wanita yang kini telah menjadi bagian hidupku bukanlah orang yang kukenal sebelum menikah. Bahkan, kami tak pernah bertemu dan tidak saling tahu sebelum ia resmi kupinang. Ia benar-benar seperti tersembunyi di balik tirai, lalu Allah tiba-tiba menyingkapnya saat aku telah siap.
Sebulan setelah ayahku meninggal, ibu mulai memberikan lampu hijau untukku. Saat itu, usiaku memang sudah mendekati kepala tiga. Ia mengatakan kepadaku bahwa sudah saatnya aku berikhtiar mencari jodoh. Ia berpesan untuk memilih gadis baik, salihah, dan sayang keluarga, serta hormat pada orang tua dan bisa berbakti kepada suami dalam suka maupun duka. Tak masalah orang mana saja dan dari kalangan apa saja.
Sejak mendapat pesan dari ibuku, aku mulai membersihkan diri dari dosa-dosa. Kubersihkan hati dan kusucikan pikiran dengan mendekatkan diri kepada Allah. Aku tidak tahu harus memilih siapa karena saat itu aku berada dalam gelap. Cara yang paling tepat adalah mendatangi Sang Pemilik cahaya untuk menghapus kegelapan di sekelilingku, lalu Ia tunjukkan jalan yang harus kulalui untuk menemukan wanita idaman hati. Aku benar-benar bertawakkal kepada-Nya untuk mendapatkan jodoh terbaik teman sehidup semati.
Tak lama kemudian ikhtiarku membuahkan hasil. Pada pertengahan Mei 2016, aku menemukan secercah cahaya yang kucari. Saat itu, calon istri seorang teman akrabku menyapaku lewat facebook. Ia biasa dipanggil Uyung. Ia menyampaikan salam dari calon suaminya, Arie, teman seangkatanku yang sudah pindah mengajar ke tempat lain. Saat itu pula ia menawarkan diri untuk membantuku mencari jodoh.
Aku sempat berpikir, mungkin ini jalan yang sedang disiapkan Allah untukku. Kupersilakan saja. Tanpa pikir panjang, ia langsung menyebut ada seorang gadis yang katanya sangat cocok untukku. Ia yakin sekali dengan kata-katanya. Hatiku seperti digerakkan untuk bertanya siapa nama gadis itu. Lalu ia menyebut namanya, nama yang indah. Nur Kamilah Habibah.
Aku terperanjat. Ada yang aneh menurutku. Nama itu seperti pernah kudengar sebelumnya. Ada yang pernah menyebut nama itu hampir setahun yang lalu. Apakah ini pertanda jodoh? Kataku dalam hati. Hatiku merasa ingin tahu lebih jauh. Lalu kutanyakan bagaimana kepribadiannya dan beberapa hal tentangnya, termasuk fotonya. Tak ada foto di akun facebook-nya. Justru, fotonya hanya ada di akun facebook Uyung. Rupanya, Uyung menjadikan foto mereka berdua sebagai foto profil.
Uyung mengaku sangat mengenalnya karena orang itu adalah teman sekelasnya sekaligus teman dekatnya. Karena itu, ia pun tidak ragu untuk menyandingkannya denganku. Menurutnya temannya itu sangat cocok denganku seolah-olah ia sangat mengenalku. Arie memang mengenaliku luar dalam dan ia pasti sudah menceritakan apapun tentangku kepada calon istrinya itu. Jadi, ia merasa temannya itulah jodoh yang tepat untukku.
Kulihat fotonya. Hatiku seperti berkata ‘iya’ dan mendorongku untuk segera mengambil langkah. Lalu, dengan mengucap bismillah kuminta Uyung untuk menanyakan ke orangnya apakah ia berkenan untuk membuka pintu ta‘aruf. Bukan kepalang senangnya si Uyung mendengar kata-kataku. Padahal, belum tentu temannya itu mau menerimaku. Tapi, entah dari mana datangnya keyakinan di hatiku. Aku merasa optimis. Uyung pun menyanggupinya. Ia berjanji akan segera memberi kabar bahagia untukku.
Setelah percakapan itu, aku langsung menghubungi seseorang untuk menambah keyakinan di hati, sekaligus memastikan bahwa ini adalah petunjuk dari Allah. Orang itu adalah Mbak Sari, kakak perempuan salah seorang muridku, sekaligus istri salah seorang seniorku. Kalau tidak salah, kurang lebih setahun sebelum ini ia pernah berkeinginan memperkenalkan seorang adik kelasnya kepadaku. Ia sudah menyebut namanya. Tapi, waktu itu aku masih belum dapat lampu hijau dari orang tua dan masih disibukkan dengan tugas-tugas kuliah. Akhirnya, saat itu hanya berhenti pada nama saja. Tidak ada langkah-langkah lain. Fotonya pun tidak pernah kutahu, apalagi sampai bertemu orangnya.
Anehnya, nama yang disebutkan itu masih melekat dalam ingatan. Namanya persis sama dengan yang disebutkan oleh Uyung. Nur Kamilah Habibah. Karena itulah, aku kembali menanyakan ke Mbak Sari tentang nama itu. Ternyata, orang yang ingin diperkenalkan Uyung kepadaku tidak berbeda dengan orang yang namanya pernah disebutkan Mbak Sari jauh-jauh hari sebelumnya. Padahal, Uyung tidak pernah mengenal Mbak Sari, demikian pula sebaliknya. Mereka berdua benar-benar tidak saling mengenal, tapi memperkenalkan orang yang sama kepadaku. Allah Mahabesar!
Setelah mendapati kenyataan ini, aku bergerak cepat mengikuti petunjuk. Aku benar-benar tidak sabar mendengar kabar dari Uyung. Akhirnya, aku meminta kesediaan Mbak Sari untuk memperkenalkanku kepada adik kelasnya itu. Hatiku benar-benar mantap. Apalagi setelah mendengar tentangnya sekali lagi dari Mbak Sari. Apa yang digambarkan Uyung tentang temannya itu tidak berbeda sama sekali dengan apa yang disampaikan Mbak Sari. Semua tentangnya benar-benar sesuai dengan kriteria pendamping hidup impianku. shah wa
Bersambung ke “Sebuah Penolakan...”

Kampung Damai, 20 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar