Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Jumat, 06 Juli 2018

Aku Urang Banjar


Aku bangga sebagai orang Banjar, suku asli yang tinggal di bagian selatan Pulau Kalimantan. Islam mengakar kuat di sini. Banyak ulama yang terlahir di tanah Banjar. Salah satunya adalah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjary, pengarang kitab Sabilal Muhtadin. Tanah Banjar juga merupakan kelahiran salah seorang pahlawan nasional yang terkenal dengan mottonya saat melawan penjajah “haram manyarah waja sampai kaputing”, yaitu Pangeran Antasari.
Sejak berdirinya Kerajaan Banjar pada abad ke-16, Kalimantan Selatan menjadi salah satu titik kekuatan Islam yang tak mudah ditembus kristenisasi. Wasiat ulama-ulama Banjar terdahulu pun dipegang teguh oleh generasi penerusnya sampai sekarang. Islam benar-benar dijaga dan tidak mudah dilecehkan di sini.
Westernisasi memang terus dilakukan musuh-musuh Islam di berbagai tempat, tidak terkecuali di Kalimantan Selatan. Mereka tidak bisa langsung berhadapan dengan Islam. Cara yang paling jitu adalah dengan merusak generasi mudanya, menjauhkan mereka dari agama. Ini memang mengkhawatirkan. Namun, saat ini benteng keislaman yang dibangun ulama-ulama Banjar masih cukup kuat untuk menahan gempuran westernisasi tersebut.
Sementara wilayah tetangga, terutama Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat sudah mengalami kristenisasi yang cukup parah. Bahkan, pernah terjadi pengusiran anggota FPI oleh warga salah satu dari kedua provinsi tersebut. Akhirnya, anggota FPI yang ingin mengadakan pembekalan itu harus mendarat di Kalimantan Selatan.
Dulu, pernah terjadi peristiwa berdarah di Kalimantan Tengah, tepatnya di Sampit. Pertikaian antara orang Dayak sebagai penduduk asli dengan orang Madura tak terelakkan. Waktu itu aku baru lulus SD. Kejadiannya tepat di bulan Februari 2001. Ceritanya saja membuatku merinding, apalagi menyaksikan langsung kejadiannya.
Orang-orang Madura yang bisa selamat harus mengungsi keluar dari Sampit. Kalimantan Selatan salah satu tempat pengungsian yang bisa menerima mereka. Kata orang, sejumlah truk berisi pengungsi Madura sudah memasuki Kalimanta Selatan. Mereka meminta perlindungan tokoh-tokoh Banjar. Kudengar keselamatan mereka telah dijamin Guru Zaini, salah seorang ulama karismatik Kalimantan Selatan. Jadi, orang Dayak tidak akan berbuat macam-macam terhadap orang Madura yang sudah memasuki wilayah Kalimantan Selatan.
Aku tidak ingin berkisah panjang lebar tentang peristiwa Sampit tersebut. Selain tidak menyaksikan langsung kejadiannya, peristiwa itu sudah berlangsung lama. Sekarang kedua belah pihak sudah hidup berdampingan dalam damai. Kita hanya berharap peristiwa semacam itu tidak terjadi lagi. Cukuplah berpegang teguh pada peribahasa “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” agar saling menghormati satu sama lain.
Mari kita kembali ke tanah Banjar-ku. Kalimantan terkenal dengan sungai-sungainya yang luas. Kami sudah biasa bermain di sungai. Naik sampan atau jukung sangat mengasyikkan. Kami juga sering bermain rakit yang terbuat dari pelepah rumbia kering. Menyenangkan. Anda pasti ingin naik rakit buatan itu, mengayuhnya dari hilir ke hulu.
Masih banyak hal-hal menarik yang bisa ditemukan di tanah kelahiranku. Tidak cukup untuk diceritakan di sini. Kalimantan memang sangat luas sebagai pulau terbesar di Indonesia. Jadi, banyak tempat yang belum terjelajahi. shah wa

Kampung Damai, 6 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary

Tidak ada komentar:

Posting Komentar