Aku bangga sebagai orang Banjar, suku asli yang tinggal di bagian
selatan Pulau Kalimantan. Islam mengakar kuat di sini. Banyak ulama yang
terlahir di tanah Banjar. Salah satunya adalah Syaikh Muhammad Arsyad
Al-Banjary, pengarang kitab Sabilal Muhtadin. Tanah Banjar juga
merupakan kelahiran salah seorang pahlawan nasional yang terkenal dengan
mottonya saat melawan penjajah “haram manyarah waja sampai kaputing”,
yaitu Pangeran Antasari.
Sejak berdirinya Kerajaan Banjar pada abad ke-16, Kalimantan
Selatan menjadi salah satu titik kekuatan Islam yang tak mudah ditembus
kristenisasi. Wasiat ulama-ulama Banjar terdahulu pun dipegang teguh oleh
generasi penerusnya sampai sekarang. Islam benar-benar dijaga dan tidak mudah
dilecehkan di sini.
Westernisasi memang terus dilakukan musuh-musuh Islam di berbagai
tempat, tidak terkecuali di Kalimantan Selatan. Mereka tidak bisa langsung
berhadapan dengan Islam. Cara yang paling jitu adalah dengan merusak generasi
mudanya, menjauhkan mereka dari agama. Ini memang mengkhawatirkan. Namun, saat
ini benteng keislaman yang dibangun ulama-ulama Banjar masih cukup kuat untuk
menahan gempuran westernisasi tersebut.
Sementara wilayah tetangga, terutama Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat sudah mengalami kristenisasi yang cukup parah. Bahkan, pernah
terjadi pengusiran anggota FPI oleh warga salah satu dari kedua provinsi tersebut.
Akhirnya, anggota FPI yang ingin mengadakan pembekalan itu harus mendarat di
Kalimantan Selatan.
Dulu, pernah terjadi peristiwa berdarah di Kalimantan Tengah,
tepatnya di Sampit. Pertikaian antara orang Dayak sebagai penduduk asli dengan
orang Madura tak terelakkan. Waktu itu aku baru lulus SD. Kejadiannya tepat di
bulan Februari 2001. Ceritanya saja membuatku merinding, apalagi menyaksikan
langsung kejadiannya.
Orang-orang Madura yang bisa selamat harus mengungsi keluar dari
Sampit. Kalimantan Selatan salah satu tempat pengungsian yang bisa menerima
mereka. Kata orang, sejumlah truk berisi pengungsi Madura sudah memasuki
Kalimanta Selatan. Mereka meminta perlindungan tokoh-tokoh Banjar. Kudengar keselamatan
mereka telah dijamin Guru Zaini, salah seorang ulama karismatik Kalimantan
Selatan. Jadi, orang Dayak tidak akan berbuat macam-macam terhadap orang Madura
yang sudah memasuki wilayah Kalimantan Selatan.
Aku tidak ingin berkisah panjang lebar tentang peristiwa Sampit tersebut.
Selain tidak menyaksikan langsung kejadiannya, peristiwa itu sudah berlangsung
lama. Sekarang kedua belah pihak sudah hidup berdampingan dalam damai. Kita hanya
berharap peristiwa semacam itu tidak terjadi lagi. Cukuplah berpegang teguh
pada peribahasa “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” agar saling
menghormati satu sama lain.
Mari kita kembali ke tanah Banjar-ku. Kalimantan terkenal dengan
sungai-sungainya yang luas. Kami sudah biasa bermain di sungai. Naik sampan
atau jukung sangat mengasyikkan. Kami juga sering bermain rakit yang
terbuat dari pelepah rumbia kering. Menyenangkan. Anda pasti ingin naik rakit
buatan itu, mengayuhnya dari hilir ke hulu.
Masih banyak hal-hal menarik yang bisa ditemukan di tanah
kelahiranku. Tidak cukup untuk diceritakan di sini. Kalimantan memang sangat
luas sebagai pulau terbesar di Indonesia. Jadi, banyak tempat yang belum
terjelajahi. shah wa
Kampung Damai, 6 Juli 2018
Nur Wahid Al-Banjary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar