Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis dunia. Tanpa cahaya, tak mungkin terlukis alam semesta. Tanpa cahaya tak terlukis pula keindahan cinta. Tanpa cahaya, dunia hanya bisa diraba namun tak bisa diterjemahkan kata. Tanpa cahaya, hidup pun tak bermakna. Tanpa cahaya, tak ada cinta. Cahaya adalah karunia Tuhan yang begitu berharga. Cahaya adalah tanda cinta Allah untuk kita.

Minggu, 18 Juni 2017

Bajong Banyu, Tradisi “Perang” Warga Magelang Menjelang Ramadhan

Bulan suci Ramadhan akan tiba sebentar lagi. Beberapa hari lagi kita akan mendengarkan bedug berbuka puasa hingga bunyi kentungan di waktu sahur. Masyarakat Muslim sangat menantikan kedatangan bulan yang penuh berkah ini. Tidak terkecuali warga Muslim di Magelang. Mereka memiliki tradisi yang cukup unik menyambut kedatangan bulan yang dinanti, yaitu tradisi bajong banyu.
Tradisi ini dilakukan masyarakat Magelang yang tinggal di Dusun Dawung, Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Disebut bajong banyu karena tradisinya berhubungan dengan air. Menurut laporan rimanews.com (14/6/2015), warga beramai-ramai saling melempar air dengan suasana yang penuh dengan kehangatan dan kekeluargaan. Mereka tampak seperti anak kecil yang suka lempar-lemparan air atau perang air. Tak masalah, karena mereka sangat menikmatinya.
Bajong banyu digelar sangat meriah. Ada kirab puluhan warga berpakaian adat Jawa yang menambah kemeriahannya. Selain itu, dari pantauan suaramerdeka.com (18/6/2017), sebelum bajong banyu dimulai, warga terlebih dahulu disuguhi tarian tradisional. Setelah itu, mereka beramai-ramai menuju sumber mata air dengan berjalan kaki. Bunyi gamelan atau gending Jawa terdengar mengalun mengiringi perjalanan mereka.
Sesampai di mata air Tuk Dawung, warga serempak berdoa lalu mengambil air suci yang mereka sebut dengan air Pawitra. Air dimasukkan ke dalam sejumlah kendi dan dibawa ke lapangan desa. Orang-orang yang membawa air Pawitra disambut dengan tarian lambang kegembiraan dan rasa syukur warga kepada Tuhan. Mereka bersyukur karena keberadaan sumber mata air Tuk Dawung sangat membantu warga dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Setelah tarian usai, warga memulai “perang”. Ini bukan perang yang Anda takuti itu. Ini hanyalah perang air. Sebelum “perang” benar-benar dimulai, wadah air seperti plastik, ember, dan gayung sudah disiapkan. Air Tuk Dawung mereka masukkan ke dalam wadah tersebut lalu “perang” pun dimulai. Ratusan warga yang hadir di arena “berperang” saling melempar air hingga masing-masing basah kuyup. Beginilah tradisi mereka menyambut bulan Ramadhan.      
Wajah ceria anak-anak hingga orang dewasa menjadi pemandangan yang membuat kita tersenyum dan hati pun terasa lapang. Seakan-akan, tak ada kebencian yang menyelimuti hati masing-masing. Menurut pengakuan warga kepada suaramerdeka.com, tradisi yang mereka lakoni tiap tahun itu merupakan simbol penyucian diri. Meskipun tampak “berperang”, mereka kemudian saling memaafkan sehingga hati menjadi suci dan bersih menjelang Ramadhan. Ibadah puasa pun bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Demikianlah, tradisi sederhana namun begitu bermakna. Tradisi “perang” menjelang Ramadhan ini tidak untuk merajut permusuhan. Tak ada yang marah saat terkena lemparan air yang dibungkus plastik kecil itu. Malah, senyum dan tawa tak hentinya mereka tunjukkan kepada para penonton. Kita yang menonton pun seakan tertarik untuk terlibat dalam “peperangan”. Air yang dilempar berguna untuk menyucikan hati yang kotor dan menyegarkan semangat silaturahim dan saling memaafkan. Ramadhan tiba, hati pun gembira tanpa adanya ganjalan dosa. shah wa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar