Jauh hari
sebelum pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta putaran pertama yang berlanjut dengan
putaran kedua, banyak kalangan yang memprediksi pasangan calon (paslon) nomor
urut 2, Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saiful Hidayat atau Ahok-Djarot, menang
dengan mudah. Kala itu, elektabilitas Ahok-Djarot begitu tinggi, hingga
sejumlah partai lawan politiknya kesulitan menentukan paslon yang tepat untuk
menandinginya.
Namun,
seiring berjalannya waktu yang diwarnai berbagai perubahan konstelasi politik
di Jakarta, muncullah dua paslon penantang yang tak terduga, yaitu paslon nomor
urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (Agus-Sylvi), dan paslon nomor
urut 3, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno (Anies-Sandi). Paslon
nomor urut 3 yang akhirnya menjadi penantang serius bagi paslon nomor urut 2.
Agus-Sylvi kalah telak, sementara perolehan suara Ahok-Djarot dan Anies-Sandi
berselisih tidak terlalu jauh pada putaran pertama.
Anies-Sandi benar-benar
menjadi menjadi batu sandungan bagi Ahok-Djarot. Perlahan, tapi pasti,
elektabilitas Anies-Sandi meroket menjelang hari H Pilkada DKI Jakarta putaran
kedua. Berbagai lembaga survei pun sempat mengunggulkan Anies-Sandi sebelum
pemungutan suara berlangsung. Akhirnya, prediksi sejumlah pihak terbukti,
Ahok-Djarot dikalahkan Anies-Sandi, meski penilaian ini masih berdasarkan versi
hitung cepat lembaga-lembaga survei terpercaya.
Sebagai
politikus berjiwa besar, Ahok-Djarot mengakui kekalahan ini. Ahok sendiri
mengaku mendapat pelajaran berharga dari penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta
yang diikutinya. Mungkin itu juga yang menjadi penyebab kekalahannya. Kepada
media, Ahok mengaku mendapat tiga pelajaran penting dari kekalahannya
sebagaimana dilansir mediaindonesia.com (19/4/2017).
Pertama,
jangan sembarangan bicara. Kata Ahok, sebagai pejabat publik ia semestinya
menjaga ucapannya alias tidak asal bicara. Pelajaran pertama ini merujuk pada
kasus penodaan agama yang menimpanya. Betul sekali Pak Ahok, tergelincir lidah
itu lebih berbahaya daripada tergelincir kaki.
Kedua, jangan
arogan dan mengumbar amarah di depan umum. Ahok memang kerap terlihat
marah-marah selama menjadi wakil gubernur maupun setelah menjadi gubernur
menggantikan Joko Widodo. Bahkan, kemarahannya itu sering dipertontonkan di
depan masyarakat banyak dan disiarkan di televisi. “Pejabat publik jangan marah
depan umum, itu pelajaran kedua,” kata Ahok kepada mediaindonesia.com.
Pelajaran
terakhir, yang ketiga, nasihat orang perlu didengarkan. Menurut Ahok, selama
ini dia memang seringkali tidak mendengarkan nasihat dari partai pengusung,
termasuk nasihat Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, yang memintanya menjaga
sikap dan etika. Iya, betul sekali, Pak. Kita semua adalah masyarakat yang menjaga
sikap dan etika dalam segala lini kehidupan. Jadi, nasihat Pak Surya Paloh itu
sangat betul sekali.
Ahok
menyadari ketiga hal itu sebagai penyebab kekalahannya. Ia legawa dan berharap
paslon terpilih bisa membangun Jakarta menjadi lebih baik dan berkemajuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar